Mengenal Ketinggian Allah
Allah yang menciptakan kita mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehingga kita dapat menghadap kepada-Nya dengan hati, do'a dan shalat kita. Orang yang tidak tahu di mana Tuhannya akan selalu sesat dan tidak akan mengetahui bagaimana cara beribadah yang benar. Sifat atas atau tinggi yang dimiliki Allah atas makhluk-Nya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lainnya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti "mendengar", "melihat", "berbicara", "turun" dan lain-lain.
'Aqidah para 'ulama salaf yang shalih dan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai keyakinan yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tanpa ta`wiil (menggeser makna yang asal ke makna yang lain), ta'thiil (meniadakan seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah), takyiif (menanyakan hakekat sifat-sifat Allah) dan tasybiih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuuraa:11)
Sifat-sifat Allah ini antara lain sifat atas atau tinggi tadi mengikuti Dzat Allah. Oleh karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut juga wajib sebagaimana juga iman kepada Dzat Allah.
Al-Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa` dalam firman Allah: "Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) bersemayam di atas 'Arsy." (Thaahaa:5)
Beliau menjawab: "Istiwa` itu sudah diketahui maknanya, yaitu "tinggi". Sedangkan bagaimananya, tidak diketahui. Beriman dengannya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid'ah."
Perhatikanlah jawaban Al-Imam Malik tersebut yang menetapkan bahwa iman kepada istiwa` itu wajib diketahui oleh setiap muslim. Tetapi bagaimana tingginya Allah itu hanya Allah saja yang mengetahui. Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Hadits -antara lain sifat ketinggian Allah yang mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat Al-Qur`an dan Hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan, keluhuran dan keagungan yang tidak boleh diingkari oleh siapa pun.
Ada sekelompok 'ulama yang datang belakangan yang sudah terpengaruh oleh filsafat yang merusak 'aqidah Islam, berusaha untuk mena`wilkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan dengan sifat Allah, sehingga mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang sempurna dari Dzat-Nya. Mereka bertentangan dengan metode 'ulama salaf yang lebih selamat, lebih tahu dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya pendapat yang mengatakan:
segala kebaikan itu terdapat dalam mengikuti jejak 'ulama salaf dan segala keburukan itu terdapat dalam bid'ahnya orang-orang khalaf (yang menyelisihi salaf).
Kesimpulan Mengenai Sifat-sifat Allah
Beriman kepada seluruh sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan Hadits adalah wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, sehingga kita hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada sifat yang lain. Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan percaya bahwa mendengar dan melihatnya Allah tidak sama dengan mendengar dan melihatnya makhluk, maka ia juga harus percaya bahwa Allah itu tinggi di atas langit dengan cara dan sifat yang sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat tingginya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab-Nya dan sabda-sabda Rasulullah. Fithrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut.
Allah Berada di atas 'Arsy
Al-Qur`an, hadits shahih dan fithrah yang bersih serta cara berfikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath'i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas 'Arsy. Dalil-dalil tersebut adalah:
1. Firman Allah Ta'ala:
"Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa` di atas 'Arsy." (Thaahaa:5) Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas 'Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-A'raaf:54, Yuunus:3, Ar-Ra'd:2, Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.
Para tabi'in menafsirkan istiwa` dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Al-Bukhariy, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan istiwa` dengan istaula (menguasai). (Lihat Syarh Al-'Aqiidah Al-Waasithiyyah, Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Ma'aarif)
2. "Apakah kalian merasa aman terhadap "Yang di langit" bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?" (Al-Mulk:16)
Menurut Ibnu 'Abbas yang dimaksud dengan "Yang di langit" adalah Allah seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauziy.
3. "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka." (An-Nahl:50)
4. Firman Allah tentang Nabi 'Isa: "Tetapi (yang sebenarnya), Allah mengangkatnya kepada-Nya." (An-Nisaa:158)
Maksudnya Allah menaikkan Nabi 'Isa ke langit.
5. "Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi." (Al-An'aam:3)
Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut: "Para ahli tafsir sepakat bahwa kita tidak akan mengucapkan seperti ucapannya Jahmiyyah (golongan yang sesat) yang mengatakan bahwa Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka terebut."
Adapun firman Allah: "Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada." (Al-Hadiid:4), maka yang dimaksud adalah Allah itu selalu bersama kita, dalam artian mendengar dan melihat kita, seperti diterangkan dalam tafsir Ibnu Katsir dan Jalalain.
6. Rasulullah mi'raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun 'alaih)
7. Rasulullah bersabda: "Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?" (Muttafaqun 'alaih)
8. Rasulullah bersabda: "Sayangilah orang-orang yang ada di bumi maka Yang di langit (yaitu Allah) akan menyayangi kalian." (HR. At-Tirmidziy)
9. Abu Bakr Ash-Shiddiq berkata: "Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di atas langit, Ia hidup dan tidak mati." (Riwayat Ad-Darimiy dalam Ar-Radd 'alal Jahmiyyah)
10. 'Abdullah Ibnul Mubarak pernah ditanya: "Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?" Maka beliau menjawab: "Tuhan kita di atas langit, di atas 'Arsy, berbeda dengan makhluk-Nya." Maksudnya Dzat Allah berada di atas 'Arsy, berbeda dan berpisah dengan makhluk-Nya dan keadaannya di atas 'Arsy tersebut tidak sama dengan makhluk.
11. Al-Imam Abu Hanifah menulis kitab kecil berjudul "Sesungguhnya Allah itu di atas 'Arsy." Beliau menerangkan hal itu seperti dalam kitabnya "Al-'Ilm wal Muta'allim."
12. Seseorang yang tengah shalat berucap di dalam sujudnya: "Subhaana Rabbiyal A'laa" (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).
13. Seseorang ketika berdo'a juga mengangkat kedua tangannya dan menadahkannya ke langit.
14. Anak kecil ketika ditanya: "Di mana Allah?", niscaya mereka akan segera menjawab berdasarkan fithrah mereka yang masih bersih bahwa Allah berada di atas langit.
15. Hewan buruan seperti kijang dan lainnya ketika hendak dibidik/dibunuh oleh sang pemburu, menengadahkan kepalanya ke langit meminta kepada Rabb-nya yang ada di atas langit agar menyelamatkannya. Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut tahu bahwa Rabb-nya di atas langit. Demikian juga hewan-hewan yang lainnya mengetahui bahwa Rabb mereka berada di atas langit. Kalau ada orang yang masih belum mengetahui di mana Rabb-nya maka dia lebih hina dan lebih rendah daripada hewan.
16. Akal yang sehat juga mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas langit. Seandainya Allah berada di setiap tempat, niscaya Rasulullah pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat berarti Allah juga di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha Suci Allah dari anggapan itu.
Kisah Seorang Wanita Penggembala
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah di atas langit adalah kisah seorang budak wanita penggembala. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Dari Mu'awiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata: "Dulu aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambing-kambingku di daerah Uhud dan Jawwaaniyyah.
Suatu hari aku menengoknya, tiba-tiba ada seekor serigala membawa pergi salah satu kambingnya. Sedangkan aku adalah seorang laki-laki dari Bani Adam. Aku bisa marah sebagaimana orang lain pun bisa marah. Maka aku pun memukulnya sekali.
Kemudian aku mendatangi Rasulullah, maka beliau menganggap besar perbuatan yang telah kulakukan.
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah aku merdekakan saja dia?" Beliau menjawab: "Bawa dia kepadaku!"
Maka setelah budak wanita tersebut dibawa ke hadapan beliau, beliau bertanya kepadanya: "Di mana Allah?" Dia menjawab: "Di atas langit." Beliau bertanya lagi: "Siapa aku?" Budak itu pun menjawab: "Engkau adalah Utusan Allah."
Setelah mendengar jawaban tersebut, beliau bersabda: "Merdekakan dia, karena dia adalah seorang wanita yang beriman." (HR. Muslim no.537)
Dari hadits dan kisah tersebut, kita bisa mengambil beberapa faidah, di antaranya:
1. Adalah kebiasaan para shahabat ketika menghadapi suatu permasalahan meskipun kecil, selalu merujuk kepada Rasulullah agar mereka mengetahui bagaimana hukum Allah di dalam permasalahan tersebut.
2. Wajibnya berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta'ala: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa`:65)
3. Pengingkaran Rasulullah terhadap shahabat tersebut yang memukul budaknya dan beliau menganggapnya sebagai perkara besar.
4. Memerdekakan budak hanya boleh dilakukan terhadap budak yang beriman, bukan budak yang kafir. Karena Rasulullah menguji budak tadi dan ketika beliau mengetahui bahwa budak itu beriman, beliau memerintahkan untuk memerdekakannya. Jadi seandainya dia kafir, beliau tidak akan memerintahkan hal tersebut.
5. Kewajiban bertanya tentang tauhid, di antaranya tentang tingginya Allah di atas 'Arsy-Nya. Mengetahui hal ini adalah wajib.
6. Disyari'atkannya memberikan pertanyaan: "Di mana Allah?". Hal ini adalah sunnah karena Rasulullah juga menanyakannya. Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan: "Tidak boleh bertanya di mana Allah!"
7. Disyari'atkannya (bahkan wajib untuk) menjawab bahwa Allah ada di langit (yaitu di atas langit). Karena Nabi membenarkan jawaban budak tadi dan juga karena sesuainya jawaban tersebut dengan Al-Qur`an yang mengatakan: "Apakah kalian merasa aman terhadap "Yang di langit" bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?" (Al-Mulk:16)
Yang dimaksud dengan "Yang di langit" adalah Allah, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu 'Abbas. Sedangkan makna fis samaa` (di langit) adalah 'alas samaa` (di atas langit).
8. Benarnya keimanan dapat terwujud dengan adanya persaksian terhadap Muhammad dengan risalah beliau.
9. Keyakinan bahwa Allah ada di atas langit adalah bukti yang menunjukkan benarnya keimanan dan keyakinan ini harus ada pada setiap orang yang beriman.
10. Hadits ini merupakan bantahan terhadap kesalahan orang yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, sedangkan yang benar adalah Allah bersama kita dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.
11. Permintaan Rasulullah agar budak itu dibawa ke hadapan beliau sehingga beliau dapat mengujinya menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, yaitu keimanan budak tersebut. Hal ini sebagai bantahan terhadap golongan shufi yang mengatakan bahwa Rasulullah mengetahui perkara ghaib.
Wallaahu A'lam.
Diringkas dari kitab Taujiihaat Islaamiyyah li Ishlaahil Fard wal Mujtama' dan Kaifa Nurabbii Aulaadanaa karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu dengan beberapa tambahan.
Sumber: Buletin Al Wala' Wal Bara' (www.salafy.or.id)
Keterangan tambahan:
Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita harus memenuhi syarat-syarat yaitu:
1. Menerima lafadz dengan maknanya secara dhahir.
2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta'thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemahkannya secara dhahir dengan alasan menyerahkannya kepada Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
6. Tanpa Takyif, yaitu tidak menanyakan seperti apa dan bagaimananya.
Berikut ini nukilan beberapa Imam Ahlus Sunnah dalam masalah ini :
A. DARI SAHABAT:
Berkata Abu Bakar Ash-Shiddiq : "Wahai manusia jika Muhammad adalah Ilah (sembahan) yang kalian sembah maka sungguh Muhammad telah meninggal. Akan tetapi jika Ilah kalian adalah Allah Yang di langit maka Ilah kalian tidak mati kemudian beliau membaca ayat :
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali 'Imran : 144)
Lihat : Ar-Rodd 'Alal Jamhiah hal. 44-45 no. 78 dan berkata Az-Dzahaby di kitab Al-'Uluw hal. 62 ini hadits shohih.
Perkataan para sahabat seluruhnya : Berkata Adi bin 'Umairoh radhiyallahu 'anhu : "Saya keluar hijrah kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam kemudian ia menyebutkan kisah yang panjang kemudian dalam kisahnya itu dia mengatakan : "Maka tiba-tiba beliau dan yang bersamanya (para shahabat), mereka bersujud di atas wajah-wajah mereka, dan mereka yakin bahwa Ilah mareka di atas langit maka sayapun masuk Islam dan mengikuti beliau". (Ijtimaul Juyusy : 90)
B. DARI TABI'IN :
Berkata Al-Auza'iy : "Kami berkata sedangkan para Tabi'in masih banyak tersebar : "Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi Penyebutan-Nya berada di atas 'Arsy-Nya dan kami beriman terhadap apa yang datang dari sunnah berupa sifat-sifat-Nya". (Al-Uluw hal. 102, Ijtima' hal. 96, Fathul Bary 12/4-6 dan Al-Asma` Wash shifat karya Al-Baihaqy 2/150)
C. PERKATAAN IMAM EMPAT :
Berkata Abu Hanifah :
"Siapa yang mengatakan : Saya tidak mengetahui Rabbku apakah Dia di langit atau di bumi, maka dia kafir, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:
"(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy." (QS. Thoha : 5)
dan Arsy-Nya di atas tujuh langit". Maka Abu Muti' Al-Hakam bin Abdillah Al-Balkhy mengatakan kepada beliau : "(Bagaimana hukumnya) Apabila ada yang mengatakan bahwa Allah di atas Arsy istiwa` akan tetapi dia mengatakan bahwasanya saya tidak mengetahui apakah Arsy itu di langit atau di bumi ?", beliau mengatakan : "Dia kafir sebab ia mengingkari akan keberadaannya di atas langit, karena sesungguhnya Allah Ta'ala berada di atas tempat yang paling tinggi dan Dia dimintai (do'a) dari atas dan bukan dari bawah". (Lihat : Al-Fiqhul Akbar riwayat Abu Muthi' hal. 40-44, Al-'Uluw hal. 101-102 dan Mukhtashor Al-'Uluw hal. 126)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah setelah membawakan atsar ini : "Pada perkataan Abu Hanifah -di sisi para shahabatnya- yang masyhur ini (terkandung pengertian) bahwa ia mengkafirkan orang yang tawaqquf (tidak menentukan sikap) yaitu orang yang mengatakan : "Saya tidak mengetahui Rabbku apakah di langit atau di bumi", maka bagaimanalagi (hukumnya) terhadap oyang yang menentang yang menafikannya (menolak Allah ada di atas langit) dan mengatakan : "(Allah) tidak ada di atas langit atau (dia mengatakan bahwa Allah) tidak ada di bumi dan tidak pula ada di atas langit???", (Beliau) berhujjah atas kekafirannya dengan firman Allah :
"(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy." (QS. Thoha : 5)
beliau berkata : "Dan Arsy-Nya di atas tujuh langitNya"."
Perkataan Imam Malik bin Anas :
Dari Yahya bin Yahya, beliau berkata : "Ketika kami berada di sisi Malik bin Anas maka datang seorang laki-laki kemudian dia mengatakan : "Wahai Abu 'Abdillah (kunyah Imam Malik)
"(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy." (QS. Thoha : 5)
bagaimana istiwa` ?". Maka Imam Malik menundukan kepalanya sampai beliau bercucuran keringat kemudian beliau mengatakan : "Istiwa` itu dipahami, kaifiyatnya (bagaimananya) tidak diketahui sedangkan beriman dengannya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah, dan saya tidak melihatmu kecuali seorang mubtadi'.". Maka Imam Malik memerintahkan agar orang itu dikeluarkan." Lihat : Syarh Ushul I'tiqod Ahlissunnah 2/398, Al-Asma` wa Ash-Shifat karya Al-Baihaqy 2/150-151, Ar-Rod 'Alal Jahmiyah karya Ad-Darimy hal. 33 dan Al-'Uluw hal. 102 dan selainnya.
Berkata Imam Syafi'iy :
Perkara dalam sunnah yang saya berada diatasnya dan yang saya melihat sahabat-sahabat kami yaitu para ahli hadits yang saya lihat dan saya mengambil (hadits) dari mereka seperti : Sufyan dan Malik dan selain keduanya (yaitu) : Berikrar dengan syahadat bahwa tidak ada Ilah yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah dan bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya di atas langit, mendekat kepada hamba-Nya sesuai kehendak-Nya dan bahwa Allah turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya. (Ijtima`ul Juyusy hal. 122 dan Mukhtasur 'Uluw hal. 176)
Adapun Imam Ahmad maka beliau ini dikenal dan tersohor dalam membela madzhab yang haq ini, bahkan beliau mengarang suatu kitab yang agung (yaitu) Ar-Rodd 'Alal Jahmiyah waz-Zanadiqoh.
Perkataan Abul Hasan Al-Asy'ary rahimahullah dalam kitabnya Ikhtilaful Mushollin wa Maqalatul Islamiyyin hal. 16 : "…Perkataan Ahlus Sunnah dan Ashabul hadits secara ringkas adalah Pengikraran terhadap Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan apa-apa yang datang dari Allah dan apa-apa yang diriwayatkan Ats-Tsiqot (rawi-rawi terpercaya) dari Rasulullah, mereka tidak menolak sedikitpun dari hal tersebut bahwa Allah itu Satu, Esa, Sendiri, Maha Tegak, tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia …, dan bahwa Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya Ta'ala :
"(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy." (QS. Thoha : 5)"
(Lihat juga Ikhtilaf Ahlil Qiblat fil 'Arsy hal. 211 dan Al-Ibanah Fii Usulid Diyanah).
Sumber: http://al-atsariyyah.com/perkataan-para-ulama-tentang-keberadaan-allah.html#more-3257
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment