Friday, April 16, 2010

[Milis_Iqra] Nikmatnya Menjadi Muslimah, Kehidupannya Sudah Dijamin

Betapa nikmatnya menjadi seorang muslimah, tidak perlu bekerja, namun
tetap diberi hak kepemilikan harta. Ya, Allah mengangkat dari
perempuan kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau
untuk mendukung kemampuan finansial diri dan keluarganya. Allah
menetapkan bahwa kewajiban tersebut adalah mutlak milik kaum laki-
laki. Dia menginstruksikan laki-laki agar bertanggungjawab memelihara
dan mengasuh perempuan di setiap fase kehidupan mereka.

Dalam Islam, ketika seorang perempuan masih kecil, maka dia berada
dalam pengasuhan dan tanggung jawab ayahnya. Tanggungjawab sang ayah
menjadi terangkat ketika anak perempuannya menikah atau meninggal
dunia (baik sang ayah atau anaknya). Jadi hak pengasuhan tidak
berhenti ketika anak perempuan memasuki usia tertentu, sebagaimana
dinyatakan banyak undang-undang (UU) bodoh yang diikuti kebanyakan
manusia.

Setelah seorang perempuan menikah, maka tanggung jawab pengasuhan dan
perawatan jatuh kepada suaminya, sepanjang dirinya berada di bawah
penjagaannya berdasarkan akad pernikahan. Kemudian apabila seorang
perempuan tidak memiliki ayah, dan belum bersuami, maka tanggung
jawabnya jatuh kepada saudara laki-lakinya yang menanggung peran
sebagai ayahnya ketika tiada. Lalu ketika dia tidak memiliki saudara
laki-laki, maka tanggung jawab jatuh kepada siapa pun kerabat laki-
laki yang terdekat dengannya, yaitu kerabat laki-laki yang akan
mewarisinya, dan dia pun akan mewarisi mereka.

Lalu apabila dia tidak juga memiliki kerabat laki-laki, maka kewajiban
untuk menjaga dan merawatnya jatuh kepada komunitas muslim. Dengan
demikian tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab komunal, dan
jika tidak ada orang yang menunaikan tanggung jawab itu, maka semua
akan berdosa.

Selanjutnya, jika seorang perempuan memiliki kekayaan, maka Islam
menjatuhkan darinya kewajiban untuk menanggung hidup seseorang. Dengan
kehadiran suaminya (atau ayahnya), dia tidak dikenakan kewajiban
membelanjakan hartanya untuk kebutuhan anak-anaknya, kecuali dia
memang mau melakukannya dengan niat beramal baik. Pun demikian,
seorang wanita tidak dikenakan kewajiban bekerja dalam rangka memenuhi
kebutuhan atau merawat diri dan anak-anaknya.

Tidak adanya kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan atau merawat
dirinya adalah semata-mata untuk menjaganya agar wanita tidak masuk ke
jurang kenistaan serta kehinaan. Ini mengingat, betapa banyaknya
pekerjaan yang dilakukan wanita demi meningkatkan taraf kehidupan,
namun ternyata meniscayakan penghinaan, pelecehan, dan penderitaan.

"Pelecehan seksual dalam lapangan pekerjaan sangatlah luas sekali
perkembangannya, sulit dipercaya dan dimengerti. Dari studi terhadap
2000 lembaga dan industri tampak jelas, bahwa daya tarik seksual (sex
appeal) menjadi salah satu persyaratan mutlak yang terselubung untuk
mendapatkan pekerjaan khususnya karyawati operator telepon, penerima
tamu, sekretaris, dan tukang ketik. Sampai pada penerimaan pegawai
Pemerintah Federal pun sudah menjadi ketetapan baku yang tidak
diumumkan," tulis DR. Muhammad Ali Al-Dar dalam bukunya Wanita Karir
dalam Timbangan Islam.

Selain itu, terangkatnya tanggung jawab bekerja di luar rumah dari
wanita adalah untuk menjaganya dari godaan dan percampuran dengan laki-
laki (ikhtilath). Segenap hikmah dari aturan-aturan Islam tersebut
merupakan bagian dari keistimewaan yang Allah ciptakan untuk ciptaan-
Nya.

…Seandainya wanita dituntut untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, ditambah lagi dengan tugas kehamilan, melahirkan, menyusui,
maka hal itu merupakan ketidakadilan baginya…

Seandainya wanita dituntut untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, ditambah lagi dia pun mesti menunaikan tugas kehamilan,
melahirkan, menyusui, maka hal itu menjadi kewajiban yang di luar
kemampuannya, serta merupakan ketidakadilan baginya. Selain itu,
pekerjaannya akan menyita waktunya dalam menjalankan tugas-tugas
alamiahnya seperti mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan
anak-anaknya. Hal ini sering terjadi di seluruh komunitas orang-orang
yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan
bagi hamba-hambaNya. Yakinlah bahwa Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu yang terbaik bagi makhluk-Nya.

Dalam komunitas non-muslim, laki-laki begitu senang dengan situasi
tersebut (wanita bekerja). Mereka merasa mendapatkan keuntungan lebih
dari para wanita dan menjatuhkan dari mereka sejumlah kewajiban yang
sejatinya mutlak milik mereka, seperti memenuhi kebutuhan keluarga,
dan lainnya. Tak pelak, sikap tersebut merupakan sikap egois para kaum
Adam.

Dan sedihnya, banyak wanita justru senang dengan keadaan mereka yang
harus mengombinasikan pekerjaan di luar rumah dengan tugas-tugas
alamiah mereka semisal mengandung, melahirkan, menyusui, dan lain
sebagainya.

Hal tersebut terjadi disebabkan hasrat tinggi mereka terhadap hiburan
dan kesenangan hidup, serta berbangga-bangga atas kedua hal itu, bukan
karena adanya nilai moral dalam hal pekerjaan mereka di luar rumah.
Tidak seperti yang digembar-gemborkan, bekerjanya wanita sama sekali
tidak memiliki nilai nyata dalam mendorong perekonomian. Alih-alih
mendatangkan kebaikan, yang ada malah mereka bersaing dengan kaum laki-
laki mendapatkan pekerjaan di luar rumah. Perempuan justru menjadi
penyebab meruyaknya pengangguran di kalangan laki-laki, sehingga
memicu terjadinya beragam tindak kriminal.

Selain itu, bekerjanya para wanita pun meningkatkan penggunaan
konsumsi kosmetik, pakaian, dan parfum yang menjadi barang-barang-
barang penting bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah. Dan
pastinya, semua hal itu masuk dalam kategori tabarruj yang dilarang
Islam. Tabarruj maksudnya adalah seorang wanita menampakkan
perhiasannya dan kecantikannya serta terlihat bagian-bagian yang
seharusnya wajib ditutupi, di mana bagian-bagian itu akan memancing
syahwat pria.

Lebih jauh lagi, setiap wanita yang bekerja di luar rumah, dalam
banyak kesempatan menjadi penyebab terbatasnya kesempatan bekerja bagi
laki-laki yang bisa bekerja di posisi perempuan. Sementara laki-laki
yang mengambil posisi seorang wanita di dalam rumah tangga tidak akan
bisa menggantikannya dalam melakukan berbagai tugas domestik.

Kita mungkin bertanya-tanya, apa nilai-nilai ekonomi, moral, atau
sosial dari bekerjanya wanita di pabrik-pabrik, militer, membersihkan
jalan, bandara, hotel, petugas keamanan, dan pekerjaan lainnya yang
sejatinya menistakan mereka? ingatlah bahwa kehidupan dunia fana dan
kehidupan akhiratlah yang abadi.

Semua itu terjadi dikarenakan manusia jauh dari Allah sehingga
menjalani kehidupan yang nestapa. Allah telah memeringatkan siapa saja
yang menjauhkan diri dari-Nya. Dia berfirman, "Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta. Berkatalah dia, "Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah
seorang yang melihat? Allah berfirman, "Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula)
pada hari ini kamu pun dilupakan" (Thaha 124-126).

Kendati Islam tidak mewajibkan wanita untuk bekerja demi memenuhi
kebutuhan hidupnya dan menetapkan laki-laki untuk bertanggungjawab
merawatnya di setiap fase kehidupannya, syariat pun tetap memberi
wanita hak (ketika dia telah dewasa dan kompeten) untuk memiliki dan
mengatur harta atau properti miliknya tanpa harus meminta izin kepada
ayah, suami, atau yang lainnya. Demikianlah Islam memuliakan wanita.
Dia tidak perlu bekerja, namun tetap memiliki hak kepemilikan dan
pengaturan harta.

Wanita memiliki hak untuk memiliki setiap bentuk properti; untuk
membeli dan menjual; untuk memberi hadiah dan sumbangan; dan segenap
bentuk pengeluaran serta belanja (tanpa pemborosan) lainnya, selama
mereka memiliki harta dan pendapatan dari sumber-sumber yang
ditetapkan syariat.

Namun apabila seorang wanita tidak kompeten, Islam tidak membedakan
antara laki-laki dan wanita. Laki-laki pun bisa dinyatakan tidak
kompeten sehingga terhalang hak kepemilikan dan pengaturan hartanya.
Dengan demikian, wanita pun bisa menjadi sosok yang secara hukum
syariat berhak mengatur kekayaannya.

Islam memberi wanita sejumlah sumber spesifik kepemilikan harta dan
kekayaan, seperti mas kawin, warisan, pemberian, dan segenap ketetapan
sah lainnya dalam kepemilikan harta. Bahkan, seorang istri dibolehkan
mengambil harta suaminya yang pelit, tanpa sepengetahuannya.

…Islam pun menetapkan seorang muslimah tidak berkewajiban
menanggung kehidupan siapa pun, namun demikian dia tetap mendapatkan
setengah dari bagian warisan yang diterima laki-laki…

Dari Aisyah, dia berkata, "Hindun binti 'Utbah, istri Abu Sufyan
menemui Rasulullah SAW seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit (kikir), tidak memberikan
nafkah kepadaku dengan nafkah yang mencukupi untukku dan anakku
kecuali dari apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.
Apakah aku berdosa karena hal itu?" Rasulullah SAW menjawab, "Ambillah
dari hartanya dengan cara 'ma'ruf' apa yang cukup buatmu dan
anakmu" (Muttafaq Alaih)

Islam pun menetapkan seorang muslimah tidak berkewajiban menanggung
kehidupan siapa pun, namun demikian dia tetap mendapatkan setengah
dari bagian warisan yang diterima laki-laki. Wajar mendapatkan
setengah bagian laki-laki dalam warisan, karena dia tidak harus
bertanggungjawab menanggung hidup siapa pun. Bahkan dengan bagiannya
itu, dia bisa melengkapi kekayaan laki-laki (suaminya) yang
bertanggungjawab untuk bekerja dan menyediakan kebutuhan hidup
keluarganya.

Dalam hal ini, Islam jelas menentang praktik UU jahiliyah yang
melarang wanita mendapatkan warisan di bawah kondisi apapun,
dikarenakan wanita tidak menanggung siapa pun atau tidak berperang
melawan musuh. Allah menetapkan dalam firman-Nya, "Bagi orang laki-
laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan" (An-Nisa' 7)

Tidak diragukan lagi, orang-orang yang mengklaim bahwa Islam tidak
adil kepada wanita karena memberi bagian setengah dari laki-laki dalam
warisan adalah orang-orang bodoh dan tidak memahami distribusi hak dan
kewajiban yang telah Allah tetapkan dalam hukum-Nya. Allah menyatakan,
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin ?" (Al-Ma'idah 50).

Dengan demikian, betapa nikmatnya menjadi muslimah. Dia tidak perlu
bekerja, namun tetap diberi hak kepemilikan dan pengaturan harta,
serta masih mendapatkan harta warisan. Betapa luhurnya pemuliaan Islam
kepada wanita, dan betapa payahnya penghargaan hukum di luar hukum
Islam kepadanya. [ganna pryadha/voa-islam.com]
http://www.voa-islam.com/teenage/proud-to-be-muslimah/2010/04/15/5116/nikmatnya-menjadi-muslimahkehidupannya-sudah-dijamin/

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment