Monday, May 3, 2010

Re: [Milis_Iqra] Diskusi tentang Tuhan [Untuk Rizal Lingga]

Jawaban saya ini ditujukan kepada Rizal lingga dan Henry Danil sekaligus.,

Katakanlah bahwa saya tidak sepenuh hati untuk berbicara tentang Tuhan dari sisi filsafat karena saya tahu hal tersebut hanya akan membuat topik perdiskusian menjadi semakin bertele-tele dan melebar kemana-mana sehingga dialog mengenai esensi kebenaran dari Tuhan itu sendiri melalui dua kacamata agama yang berbeda tidak akan sampai pada titik temunya. Namun sisi lemah saya adalah paling benci untuk mengecewakan orang yang sudah meminta pertolongan dengan sangat. Dalam hal ini adalah anda yang begitu inginnya pembahasan ketuhanan ini dimulai dari sisi filsafat.

Baiklah, saya akan bikin mudah saja dialog kita ini --sebagaimana  banyak dari tulisan inipun sebenarnya mungkin sudah sering lalu lalang dimilis ini sejak bertahun-tahun yang lalu--. Fakta dilapangan mengatakan kepada kita bahwa manusia dari jaman kejamannya selalu memilki Naturaliter Religiosa atau instink untuk beragama, (agama dalam tanda petik).

Misalnya dalam kondisi gawat yang mengancam eksistensinya seperti terhempas ombak di tengah samudera dan pertolongan hampir mustahil diharapkan, hati manusia akan menyuruh untuk mengharapkan suatu keajaiban, demikian juga ketika seseorang sedang dihadapkan pada persoalan yang sulit, sementara pendapat dari manusia lainnya berbeda-beda, ia akan mengharapkan petunjuk yang jelas yang bisa dipegangnya.  Percaya atau tidak, naluri atau instink ini selalu ada pada setiap diri manusia sekalipun ia seorang yang tidak percaya pada eksistensi tuhan sekalipun dan tuhan dalam keyakinan dan agama manapun. 

Orang-orang yang egonya tidak terkendali berusaha menepis instink tersebut dengan menolak semua hal-hal yang bersifat gaib atau tidak kasat mata, terlebih lagi fenomena adikodrati yang ada disekitar dirinya. Padahal, sekuat apapun ia meniadakan instinknya tersebut, instink itu tetap akan ada dan bersemayam didalam hatinya serta akan keluar pada suatu saat melalui berbagai caranya. Baik itu secara disadari ataupun tidak oleh ybs. Harapan dalam diri manusia akan adanya  intervensi kekuatan-kekuatan tertentu [entah harapan akan munculnya sebuah keajaiban yang kebetulan atau apapunlah itu] intinya yang diharapkan bisa membantu disaat ia berada pada posisi kritis diberbagai segmennya dan itu membuat tujuannya tercapai adalah bukti tak terbantahkan bahwa jiwa manusia secara fitrah merupakan makhluk yang "bertuhan". Terlepas tuhan dalam defenisi dan bentuk apapun adanya itu. Seorang atheis yang sedang jatuh cinta, tentu dia berharap bahwa sang cinta tidak akan bertepuk sebelah tangan. Harapan itu yang notabene ada pada segmennya hati-emosional sebenarnya juga merupakan keinginan atas adanya campur tangan dari kekuatan lain diluar dirinya yang menggerakkan cinta sang pasangan pada dirinya.

Dimasa lalu, kita melihat orang-orang primitif banyak yang lari pada animisme sebagai wujud dari cara mereka menyalurkan instik beragamanya. Baik tuhan-tuhan itu berupa dewa laut, dewa petir, jimat, pusaka atau bahkan pohon-pohon besar tertentu yang dianggap mampu melindunginya dan dianggap memiliki kekuatan tertentu.  Ini sekali lagi memberikan gambaran bagi kita bahwa sejak dulu, sejak dari tahun waw, manusia sudah mempercayai akan keberadaan alam lain yang tidak kasat mata dan dapat memberikan pengaruh terhadap dunia manusia yang nyata. Hanya saja cara dan pemahaman mereka terhadap alam lain itu berbeda satu dengan yang lain, namun secara umum kita bisa menyimpulkan bahwa manusia meyakini akan keberadaan Kekuatan yang lebih berkuasa diatas manusia. Pada masa lalu itu, keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sering membuat mereka cepat lari pada sesembahan yang mereka percayai itu sendiri; setiap ada fenomena alam yang tak bisa mereka mengerti misalnya saat ada petir, gerhana matahari atau gempa bumi atas yang lainnya mereka akan menyebut itulah tuhan mereka, sesembahan mereka sebagai tempat berlindung dari semua malapetaka yang diakibatkannya.

Persepsi tentang gambaran "Tuhan" pada imajinasi manusia dimasa lalu --bahkan masa sekarang ini-- sering terjebak  oleh dominasi subyektif dari perasaan atau emosi yang dilatar belakangi situasi dan kondisi. Hal ini menjadi latar belakang dari timbulnya icon atau perlambangan yang dianggap dapat mewakili perwujudan Tuhan dimana sang manusia tersebut dapat mencurahkan serta melampiaskan sensasi emosional dirinya secara lahiriah (dikenal juga sebagai aspek emotif). Misalnya ketika ia sedang sakit dan membutuhkan obyek yang menjadi tempat ia berkeluh kesah, merasa rindu dan ingin agar kerinduannya terobati secara fisik, merasa resah dan gelisah sehingga ia membutuhkan tempat untuk berbagi cerita dan beragam fenomena kehidupan lainnya yang sejenis. Manakala ia memiliki sebuah obyek yang dianggapnya bisa menggantungkan diri, harapan atau juga tumpuan dan itu berupa sesuatu yang sifatnya nyata, (bisa disentuh, bisa dilihat) maka ia akan relatif merasa lebih tenang secara lahiriah manakala menatap atau memegang icon alias simbol ketuhanan semacam patung, rosario, gambar dan lain sebagainya itu. Emosi diri yang meluap-luap dan tidak terkendali bisa menjebak orang pada konsep yang keliru dalam pemanfaatan simbol-simbol tadi sehingga mengarah pada pemujaan dan pengkultusan terhadap Tuhan yang bisa disimbolkan. Dengan bahasa sederhana, manusia telah mengerucutkan akal pikirannya tentang Tuhan sebatas apa yang bisa ia indera saja. Ketika "Tuhan lahiriahnya" tadi terbantahkan secara ilmiah, patah, hilang, hancur, terbakar atau tertinggal serta hal-hal sejenisnya, maka pada saat yang sama simanusia akan mengalami fenomena depersonalisasi atau hilang arah dan menekan instink keberagamaannya itu tadi sekuat tenaganya.


Pencarian saya atas eksistensi tuhan dan validasi dari tuhan yang saya yakini itu sendiri sudah berakhir disuatu saat pada masa yang lalu dan itu bukan atas dasar yakin semata. Tuhan dan agama buat saya harus bisa saya cerna dengan akal saya, karena saya adalah manusia dan saya punya panca indera maka itulah standar baku paling utama yang saya manfaatkan untuk mencari Dia. Saya menolak orang yang berkata bahwa agamanya, tuhannya, doktrinnya hanya bisa di-"imani" dengan "iman", tidak bisa dirasionalkan, tidak dapat dicerna oleh akal. Tapi jika ybs merasa nyaman dengan apa yang saya sebut sebagai kesemuan itu, silahkan saja tetapi tidak untuk saya pribadi. Tuhan dan agama harus bisa saya mengerti dan Dia-pun harusnya mengerti keterbatasan saya untuk mengenal Dia. Jika Dia bertindak seolah tukang sulap atau dukun dengan seribu satu macam atraksi akrobatik yang membuat saya gila untuk mencernanya, maka saya akan bilang bahwa itu pasti bukan tuhan yang sebenarnya. Menyangkut fenomena mukjizat ini dan itu yang bersifat adikodrati, seperti yang sempat saya singgung dibeberapa pembahasan lalu, pasti ada jalan bagi kita untuk memahaminya sesuai batasan panca indera yang ada pada diri kita. Karenanya saya sepakat dengan salah seorang tokoh Kristen bernama St. Augustine yang mengatakan "Keajaiban yang bertentangan dengan alam tidak akan terjadi, ia melainkan hanya bertentangan dengan apa yang kita ketahui secara alami". Manusia mengalami berbagai tingkat dalam penguasaan ilmu pengetahuan, saya selalu percaya bila rahasia-rahasia mukjizat dapat disingkap seiring dengan perkembangan peradaban. Saya bukan penyembah akal tapi saya yakin Tuhan memberi manusia akal tidak lain adalah untuk dapat memahami cara Dia bekerja dan sekaligus membuktikan validasi eksistensi-Nya yang sesungguhnya.

Untuk kesekian kalinya saya katakan bahwa Agama yang benar, konsepsi tuhan yang mestinya benar adalah ajaran yang manusiawi dan sangat membumi, sebab agama tidak mungkin diturunkan untuk menjadi beban atau hanya menyibukkan diri manusia pada doktrinal semu dengan dalih tuhan yang serba maha dan pandai bermain akrobatik.

Saat Tuhan menurunkan wahyu-Nya, maka saat itu pula kita harus memahami wahyu tersebut untuk kita dan bukan untuk Tuhan. Karena memang Tuhan tidak punya kepentingan apapun dengan agama-Nya. Wahyu Tuhan ini turun kepada kita melalui berbagai proses dan metodenya hingga kemudian sampai kepada kita pada hari ini. Sebagai jembatan untuk memahami wahyu tersebut Tuhan telah menganugerahi akal kepada manusia. Dan akal itu adalah untuk berpikir, sehingga bisa sampai pada derajat keyakinan terhadap wahyu itu tadi.

Keyakinan disini tentu saja pada level manusia, bukan pada level Tuhan. Dengan akal dan keyakinan itulah kita paham mana yang benar dan mana yang salah, mana rasional dan mana irrasional, mana pendapat yang lemah dan mana pendapat yang kuat. Oleh karena itulah buat saya agama itu adalah akal, tidak beragama orang yang tidak berakal dan tidak mau mempergunakan akalnya.
Awal dari paham adalah mengerti, sementara awal dari mengerti adalah mau mencoba untuk mengerti, dan mau mencoba untuk mengerti itu baru ada setelah ada hal yang perlu dimengerti. Dan hal yang perlu dimengerti ini ada karena adanya kesamaan antara obyek yang memerlukan dimengerti tadi dengan kemampuan yang ada pada diri kita sebagai pihak yang akan mengartikannya.
 
Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolak ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional yang ada padanya. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikat dirinya. Hal ini diaminkan juga oleh Joseph deLoux yang selanjutnya dikembangkan oleh Daniel Goleman dan Robert Cooper melalui teori Suara Hati mereka.

Anda suka atau tidak dengan pembahasan saya diatas, maka itu adalah urusan anda dan bukan posisi saya buat memaksa anda meyakini apa yang saya yakini. Tetapi selama anda terus berdakwah dimilis ini tentang tuhan yang malih rupa kedalam wadag manusia, maka selama itu juga konsepsi ini akan saya pertanyakan dari semua sisi-sisi yang mestinya bisa anda jawab dengan gamblang dan dapat saya cerna dengan keterbatasan saya.

Sudah basi jika anda berkata bahwa saya tidak bisa lari dari konsep pemahaman mainstream Islam yang ada, bukti eksistensi milis ini dan keberadaan anda sejak lama tanpa diganggu, saya anggap cukup untuk memperlihatkan bahwa saya tidak seperti yang anda pikirkan. Berapa banyak perbedaan pemahaman saya dengan jemaah dimilis ini harusnya anda baca sendiri melalui perdebatan-perdebatan panjang saya dengan Dani Permana, Hendy, Whe-En, Sahmudin dan seterusnya dan sebagainya sejak milis ini berdiri ditahun 2006 lalu. Sekarang kita lihat siapa yang sesungguhnya memang berbeda dan konsisten dalam memegang independensinya dalam memahami agama .... saya ataukah anda, Lingga ?


2010/5/2 rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>

Sdr Armansyah,

Diskusi kita kali ini adalah tentang Tuhan. Maka setelah saya mengemukakan pandangan saya akan Tuhan dari segi filsafat dan agama Kristen, maka wajar saya mengharapkan uraian Armansyah tentang topik yang sama. Namun jawaban anda tidak seperti yang saya harapkan, karena anda lebih banyak berbicara tentang agama dan dogma. Tentu tidak salah, tapi bukan itu fokus diskusi kita kali ini. Tapi tak apalah, saya tanggapi juga dibawah ini.


--- On Wed, 4/21/10, Armansyah <armansyah.skom@gmail.com> wrote:

From: Armansyah <armansyah.skom@gmail.com>
Subject: Re: [Milis_Iqra] Diskusi tentang Tuhan [Untuk Rizal Lingga]Date: Wednesday, April 21, 2010, 7:52 AM


Rizal,

Dalam hidup ini kita semua punya parameter yang pasti untuk dapat menentukan benar atau salah dari suatu keadaan, parameter tersebut tidak lain dari akal, dengan akal kita dapat mengenal berbagai macam bentuk ekosistem yang ada, dengan akal misalnya kita bisa membedakan antara si A dengan si B, dengan akal pula kita bisa membedakan antara anjing dengan manusia … begitulah seterusnya dan siapapun sepakat bahwa secara akal pun kita bisa menilai sejauh mana sesuatu itu bisa bersifat benar dan sejauh apa pula sesuatu itu bisa disebut salah.

Tapi benarkah parameter yang kita tetapkan itu obyektif? Saya meragukannya. Karena cara kita berpikir pasti dibentuk dari pendidikan yang kita dapatkan. Kita merasa bahwa cara berpikir kita itu obyektif, namun jika tidak melalui kaidah-kaidah filsafat umum, obyektivitas itu pasti sulit dicapai. Kita  tidak merasakan lagi bahwa cara berpikir kita itu sudah diwarnai oleh pendidikan yang kita dapatkan.


Dalam hal agama serta ketuhanan, semua agama pasti mendogmakan agamanya saja yang paling benar, orang Islam bilang Islamlah yang paling benar, orang kristen bilang kristenlah yang benar, orang budha akan berkata budhalah yang benar dan demikianlah adanya klaim-klaim dari semua agama dan ajaran yang ada, tidak ada yang memproklamirkan ajarannya sesat, ajarannya salah … sangat egois memang, tetapi begitulah fakta dan begitulah sunnatullahnya.

Sampai disini saya setuju, bahwa mengenal Tuhan melalui jalan agama pasti subyektif. Namun saya tidak melihat bahwa Armansyah mengerti jalan filsafat untuk memahami Tuhan seperti yang saya uraikan pada tulisan saya. Saya tidak melihat bahwa anda memakai kaidah2 pemikiran filosofis untuk mengenal Tuhan, padahal melalui filsafat sebenarnya kita bisa melihat dan memahami fenomena Tuhan secara agak obyektif. Apakah kamu pernah mendapat pelajaran atau kuliah filsafat umum, Arman?

 

Kita tidak mungkin bisa membedakan mana dogma yang benar dan mana dogma yang salah dengan berdasarkan dogma juga (baca: Iman), artinya seseorang tidak bisa berdalih dibelakang kata " iman " untuk membenarkan dogma yang ia anut, sebab sekali lagi kata " iman " ini adalah bagian dari dogma yang ada, dan setiap pemeluk masing-masing agama bisa berkata yang sama, akibatnya jika dipaksakan dan dibenturkan secara emosional bisa dipastikan akan kacaulah apa yang disebut sebagai kebenaran yang sejati (toh akhirnya kebenaran menjadi sangat relatif dan subyektif padahal kebenaran itu sifatnya absolut atau pasti).

Nah, itulah dia, anda langsung saja berbicara tentang iman dalam pendekatan untuk mencoba memahami akan Tuhan. Tentu saja dengan cara demikian, obyektivitas pertemuan pola pikir untuk memahami Tuhan akan sulit tercapai. Saya menawarkan jalan filsafat karena ini adalah yang paling umum dan paling mendekat obyektif untuk berbicara akan Tuhan.

Benar bahwa kebenaran itu bersifat absolut dan pasti, tapi sangat sulit didekati jika tetap memakai kacamata iman agama masing-masing. Akan lebih mudah dipahami jika kita memakai jalan filsafat. Filsafat bisa menjaga jarak dengan pandangan subyektivitas dari sang subyek itu sendiri.



Akhirnya, semua doktrin keagamaan termasuk dogma ketuhanan sekalipun tidak berarti apa-apa jika tidak bisa dicerna secara ilmu melalui akal pikiran yang ada pada manusia, dan inilah sikap rasionalitas keber-agamaan yang saya anut. Konsep ini pernah digunakan oleh orang-orang Muktazilah dan juga sebagian komunitas Syiah pada masanya. Tetapi saya bukan bagian dari mereka meskipun ada kesamaan dalam hal metode pembelajaran agama yang digunakan.

Jika berbicara mengenai doktrin agama-agama, maka pasti semuanya akan sulit dicerna dengan akal pikiran. Semua agama doktrinnya pasti mengandung unsur2 yang adikodrati dan dengan demikian pasti tidak masuk akal, demikian Islam demikian juga Kristen. Jadi pendekatan akal pikiran tok, pasti akan gagal untuk memahami fenomena doktrin agama-agama. Adalah tidak adil jika anda menjadi tidak kritis karena tidak bisa melihat akan unsur2 yang tidak masuk akal dalam Islam tapi dengan mudah melihat unsur2 yang tak masuk akal dalam Kristen. Seperti dikatakan seseorang (Alm MAW Brouwer) bahwa ikan melihat segala sesuatu kecuali air.


Anda boleh berkata saya orang yang sombong atau apapun jenisnya, tidak jadi persoalan buat saya karena bagi saya Tuhan tidak akan membebani umat-Nya dengan hal-hal yang tidak bisa mereka mengerti dengan kondisi yang ada pada mereka. Kebenaran sejati hanya bisa didapatkan melalui jalan belajar, dan belajar identik dengan ilmu sementara ilmu merupakan tempatnya akal bekerja.

Saya tak pernah mengatakan bahwa Armansyah itu sombong. Tidak dahulu tidak juga sekarang. Yang saya katakan dengan agak sedikit kecewa adalah bahwa Armansyah ternyata kurang memahami jalan pikiran analitis secara filsafat umum.


Hanya melalui akal saja maka masing-masing klaim dari dogma agama-agama yang ada itu bisa dijustifikasi benar dan salahnya.

Disini saya tidak setuju Arman, klaim dogma agama-agama tidak bisa dinilai sepenuhnya dari akal belaka, karena agama-agama lebih banyak mengandung unsur metafisika adikodrati daripada hal-hal yang masuk akal. Sebenarnya, jika dikaji dari nalar, semua agama-agama tidak ada satupun yang masuk akal, karena kalau sepenuhnya masuk akal maka itu bukan lagi agama namanya, tapi etika dan falsafah hidup. Anda memakai kriteria yang tidak tepat dalam menilai agama-agama jika hanya dari akal pikiran belaka.

 

 
Hidup ini penuh dengan hukum-hukum keseimbangan, coba anda pelajari apa saja, pasti tidak akan anda dapati kepincangan dalam perputaran hukum-hukum alam tersebut.

Begitu pula dengan hal keimanan kepada Allah, mesti diraih dengan keseimbangan, yaitu antara akal (rasio logika + ilmu pengetahuan) dan hati.

Disini masih seperti diatas, saya tidak setuju agama-agama dinilai dari akal pikiran atau rasio belaka. Sebab kriteria dan parameternya dalam menilai sah atau tidaknya suatu pernyataan, memakai kaidah hukum yang berbeda. Saya tidak setuju rasio ditempatkan lebih tinggi dari agama. Rasio itu sepenuhnya berada dalam wawasan fisika dan agama sepenuhnya metafisika, dua ranah yang berbeda sama sekali. Berbicara tentang Allah, yang abstrak dan tak nampak itu, bagaimana menilainya dengan rasio yang dibatasi dengan logika?

 
 
Kebenaran adalah sesuatu yang bernilai absolut, mutlak.
Namun seringkali kebenaran ini menjadi relatif, bergantung kepada bagaimana cara masing-masing orang memberikan arti dan penilaian terhadap kebenaran itu sendiri, sehingga itu pula kebenaran sudah menjadi sesuatu yang bersifat subjektif.

Dalam hal ini kamu benar, bahwa "kebenaran" dengan tanda kutip, menjadi relatif dan subyektif jika dilihat dari sudut pandang agama-agama.



Bahwa untuk menjalankan ketentuan suatu agama terkadang harus dimulai dengan kata iman memang sering menjadi sesuatu hal yang tidak dapat terbantahkan.

Keadaan beriman sesorang umumnya berada dalam kondisi "jadi" dari seseorang itu (sebab ini akan kembali dari lingkungan mana ia dilahirkan).

Namun seiring dengan bertambah dewasanya cara kita berpikir, sangat pantas sekali apabila kita mencoba mempertanyakan sejauh mana kebenaran dari keberimanan yang kita peroleh dari kondisi 'jadi' tadi.

Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir, untuk menjadi cerdas bukan untuk jadi figuran dan sekedar ikut-ikutan.

Karenanya kita berdua tidak bisa mengatakan kondisi beriman tersebut ada karena lewat iman.
Pernyataan ini tertolakkan dalam dunia ilmiah dan bertentangan dengan penalaran saya selaku manusia yang fitrah.

Disini anda menyimpang lagi. Anda sudah berbicara tentang iman, padahal dari tadi saya menunggu uraian anda tentang Tuhan, tapi belum muncul juga. Dsini saya mengatakan apa yang anda katakan kepada saya: Fokuslah pada topik diskusi, Arman!



Menurut saya, sebenarnya seseorang memperoleh keimanannnya lewat dua jalur, ada yang lewat akal dan ada yang lewat nafsu (nafsu dalam hal ini adalah persangkaan atau praduga manusia).

Jika iman diartikan percaya, maka percaya juga bisa lewat akal atau persangkaan.
Misalnya apabila kita hendak melewati sebuah jembatan dari besi, tentu kita akan enteng saja melewatinya, karena persangkaan kita jembatan tersebut sudah kuat. Tetapi bila yang dilewati adalah jembatan dari kayu dan tali, paling tidak kita akan mengecek kekuatan jembatan tersebut terlebih dahulu (menginjak-injak dari pinggir terlebih dahulu dsb )

Dalam beragama pun demikian, terdapat orang-orang yang mencapai iman dengan akal, dan ada yang dengan persangkaan.

Misalnya yang dengan persangkaan adalah seorang islam yang tidak mampu menjawab pertanyaan " Mengapa anda memilih Islam ?", "Darimana anda tahu bahwa Islam itu benar ?", " jika dahulunya orang tua anda bukan Islam kira-kira apakah anda masih Islam ?", atau bisa juga "mengapa anda harus menjadi Kristen ?", "Darimana anda yakin bahwa Kristen itu benar ?"

Jadi bagi saya, Iman terhadap sesuatu itu tetap harus dibuktikan dulu apakah memang pengimanan tersebut sudah benar atau belum. Dan jalan untuk membuktikan kebenaran akan keimanan ini salah satunya dengan mengadakan penelaahan terhadap iman itu sendiri dengan mengadakan penyeimbangan dengan akal pikiran sebagai suatu anugerah dari Allah bagi manusia.

Pemahaman anda akan iman disini berbeda dengan pemahaman saya akan iman. Bagi saya iman itu pertama-tama adalah suatu keyakinan, yang tak perlu dibuktikan tapi perlu dihayati lebih dalam lagi. Namun wujud iman itu pada akhirnya tidak abstrak dan tak tentu, tapi pasti, pasti akan terjadi sekalipun belum terjadi sekarang ini. Akal tidak ada hubungannya dengan iman, dan akal tidak bisa dipakai untuk menghakimi iman.



Tuhan menjadikan alam semesta ini dengan ilmu-Nya, dan Dia telah mengukur keseimbangan masing-masing komposisi ciptaan-Nya itu secara proporsional dan adil. Demikian pula halnya dengan penciptaan manusia. Ini sudah dibahas oleh kitab anda sendiri di Genesis pasal 3 ayat 22 : "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat". Inilah fitrah awal manusia, mereka sudah disetting untuk memiliki ilmu. DImana dengan ilmu itu manusia menjadi mengerti dan dapat memisahkan kebaikan dengan kejahatan. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam al-Qur'an surah Asy-Syams ayat 7 dan 8 :

"Wa nafsin wama sawwaha, fa alhamaha fujuroha wa taqwaha"
Dan Nafs serta penyempurnaannya, dilhamkan kepadanya kefasikan serta ketakwaan…

Oleh karena itu juga maka II Timotius pasal 3 ayat 16 menyatakan bila kitab suci sendiripun termasuk hal-hal yang dapat dipelajari dengan ilmu : "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran".

Tuhan itu Maha Pintar, dan Dia ingin kita sebagai makhluk-Nya pun mencontoh kepintaran yang sudah Dia ilhamkan dan Dia ajarkan melalui ayat-ayat-Nya, baik itu yang sifatnya kontekstual ( seperti kitab suci ) ataupun global ( seperti alam semesta ini dan semua hal disetiap proses kausalitasnya ).; Karenanya, Tuhanpun pasti akan menyesuaikan dan membagikan ilmu-Nya sesuai tingkat yang bisa dicapai maupun bisa dipahami oleh kita yang memang notabene tidak berarti apa-apa dibanding Dia.

Maaf, Arman, saya keberatan untuk mengomentari tulisan anda lebih lanjut sebelum anda fokus  kepada topik debat kita, yaitu tentang Tuhan. Terlebih lagi anda sudah memakai ayat-ayat kitab suci Kristen dan Islam untuk berbicara tentang Tuhan padahal konteks ayat-ayat yang dipakai ini masih perlu kajian lebih mendalam tentang ketepatan pemakaiannya. Terus terang saya belum tahu apa konteks ayat-ayat alquran yang kamu pakai ini, jadi saya masih belum bisa menarik kesimpulan yang layak terhadapnya. Sedangkan mengartikan ayat diluar konteks merupakan pantangan bagi saya....



Tuhan misalnya mengilhamkan dan menurunkan ilmu matematika didunia ini tentunya selain untuk ilmu duniawiah, Dia juga punya misi khusus untuk membuat ilmu matematika itu sebagai salah satu jalan menggapai dan mengenal diri-Nya.; karena itu, bila dalam matematika kita mengenal satu ditambah satu sama dengan dua, maka itulah kepastiannya dan selamanya tidak akan mungkin berubah kecuali faktor-faktor atau operasionalnya dirubah menjadi perkalian atau sebagainya.

Kalau kita lihat kenyataan saat ini semua pengetahuan manusia yang didijitalkan maka semuanya akan melulu kombinasi 10101010 yang tak lebih dari pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan Allah Yang Maha Esa. Ketika Anda melihat televisi, mendengarkan radio, berselancar di internet, melihat situs porno, mengetikkan e-mail, menulis artikel, atau apapun aktivitas yang Anda lakukan dengan perangkat elektronik maka semua itu tak lebih dari sinyal-sinyal 10101010.

Dalam kenyataan yang lebih mengejutkan, tubuh kita dan otak kitapun tak lebih dari biokomputer yang menguraikan semua tangkapan sistem inderawi kita dalam kode-kode biner 101010 dari semua informasi dan pengetahuan yang kita ekstrak melalui cahaya yang tertangkap sinyalnya dari sekeliling kita. Apakah indera itu mata, telinga, hidung, kulit ataupun perasaan kita, semua itu tak lebih dari kode-kode biner atau suatu penauhidan atas Allah Yang Maha Esa.
 

Intinya sederhana saja, semuanya sekarang ini bisa diterjemahkan kedalam kode digital. Bahwa digitalisasi ini berasal dari Tuhan, pernyataan ini akan ditertawakan oleh mereka yang ateis dan agnostik. Anda langsung saja mengartikan ilmu pengetahuan sebagai berasal dari Tuhan, padahal keberadaan Tuhan itu sendiri belum jelas anda uraikan disini.



Allah itu ingin adanya keteraturan dalam semua proses hidup dan kehidupan didunia ini. Dan itu hanya bisa terjadi apabila Dia sendiri menjadikan segala sesuatunya itu secara logis dan bisa dimengerti atau bisa dipelajari.

Misalnya, kenapa Tuhan toh masih butuh waktu sekian hari untuk sebuah proses penciptaan alam semesta ? kenapa Dia tidak menjadikannya dengan sekali jadi saja ? apakah Dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya ?

Ya tentu tidak demikian, khan.
Itu semua menumbuhkan asumsi-asumsi kepada kita bahwa Allah itu ingin semuanya berjalan secara logis sehingga kehendak-kehendak-Nya itu bisa diterima dengan wajar dan membuat kita semakin kagum terhadap diri-Nya.

Tanpa anda sadari tapi wajar, pemahaman anda akan Tuhan disini kental sekali dengan nuansa teologis yang islami. Anda sudah berbicara kaitan alam semesta dan Allah sebagai "take for granted". Tanpa pengantar dan penjelasan, anda sudah berbicara akan Tuhan secara alam pikiran Islami. Tidak salah memang, namun seharusnya anda memberikan kata pembuka atau kata pengantar lebih dahulu, yang dari tadi saya tunggu, tak ada dan tak muncul disini.



Samalah misalnya kita ambil contoh lain tentang penciptaan diri Yesus, toh, Allah memulainya dari mengirimkan malaikat kepada Maria sang ibunda untuk memberikan kabar suka cita, lalu kemudian Maria melalui proses Parthenogenesenya menjadi hamil dan mulai mengandung sama seperti wanita-wanita lainnya mengandung dan ketika sudah tiba waktunya lahirlah bayi Yesus terus dengan semua proses perkembangan alamiahnya dia kemudian menjadi besar dan membutuhkan proses belajar dari ahli-ahli Taurat sampai kemudian sekian puluh tahun kemudian dia menjadi orang yang mampu menjadi seorang al-Masih dikalangan umatnya, Bani Israel.

Pernyataan diatas adalah merupakan iman Kristen, yang tak bisa dan tak perlu dibuktikan karena memang tak bisa dibuktikan secara akal. Namun kami percaya terjadi secara historis.



Semua itu melalui tahapan-tahapan, melalui proses demi proses … sehingga kalimah : tidak ada yang mustahil bagi Tuhan sudah sewajarnya kita tempatkan pada proporsi yang seharusnya dan tidak menyimpang dari kausalitas yang sudah Dia tentukan sendiri dalam menjaga keseimbangan tatanan-tatanan penciptaan-Nya.

"Allah adalah Allah yang suka akan ketertiban; Ia bukan Allah yang suka pada kekacauan. Seperti yang berlaku di dalam semua jemaat Allah." (1 Korintus 14:33 Bahasa Indonesia sehari-hari)

Intinya, iman yang buta tidak bisa dijadikan sandaran dalam beragama :

Dari segi rasio, iman itu akan selamanya buta dan tak bisa dibuktikan, karena itu merupakan kepercayaan agama. Makanya kita tak boleh merendahkan iman dibawah rasio tok. Arman.



Sekali lagi buat anda ingatlah pesan Paulus dibawah ini :

1 Telasonika 5:21 : "Hendaklah segala perkara kamu uji dan yang baik kamu pegang."

Kita hanya bisa sampai kepada Tuhan apabila jalan yang kita tempuh juga benar, dan untuk tahu benar tidaknya maka gunakan akal untuk menganalisanya, apabila sesudah dianalisa dengan akal kebenaran itu tertolakkan maka bisa jadi dia bukan kebenaran sejati.

Maaf, Armansyah, konteks I Tesalonika 5:21 bukan seperti yang kamu katakan, tapi berbicara mengenai nasihat-nasihat Paulus kepada jemaat Tesalonika. Dan tidak bisa dipakai sebagai ayat acuan untuk sampai kepada Tuhan. Kamu memakai ayat yang salah sebagai pendukung pendapatmu. Bacalah ayat 12 s/d 22 untuk memahami konteksnya yang benar.



Akal diberikan oleh Allah untuk berpikir, membedakan mana yang salah dan mana yang benar.

Tanpa akal, manusia tidak lebih dari sekedar hewan yang tidak pernah memikirkan benar salah tindakannya bahkan mungkin jauh lebih sesat daripada itu.

Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul kedunia untuk memberikan petunjuk kepada manusia agar memilih jalan kebenaran, dan petunjuk Allah itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang mau untuk berpikir tentang hakikat kebenaran sejati. Dan berpikir yang benar didalam penerimaan tersebut adalah berpikir yang tidak hanya merenung atau asal-asalan, namun berusaha untuk mengerti, mempelajari, menyelidiki, memahami serta mengamalkan.

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya." (Qs. al-Israa' 17:36)

Menisbikan peranan akal pikiran untuk menggapai keimanan sama sekali tidak layak kita terapkan, sebab hal ini akan menyamakan kedudukan kita dengan para penyembah berhala yang tidak pernah mau tahu tentang benar salahnya keimanan mereka, yang jelas mereka harus menerima dan yakin.

Sekali lagi saya katakan, rasio tidak layak dan tidak tepat dipakai untuk menilai dogma agama-agama, bukan hanya dogma Kristen, tapi juga dogma Islam. Kamu adalah ikannya, Islam adalah air dimana kamu berada. Kamu bisa menilai dogma agama kristen dari segi rasio, tapi pasti kamu tak bisa melihat kekurangan dogma Islam, lha kamu berada disitu, kok.



Ini hal yang harus anda sepakati dulu berdasar ilmu dan referensi kitab anda sendiri Lingga.,

Kenapa saya menolak Trinitas dan apakah saya terpengaruh oleh doktrin ketuhanan didalam Islam atau Yahudi ? Itu sudah jelas bahwa konsep ketuhanan trinitas tidak bisa saya terima dengan akal saya dan keterbatasan saya sebagai manusia. Saya hanya membodohi diri saja bila terus memaksakan diri untuk menerimanya secara bulat tanpa bisa dan boleh mengkritiknya.

Saya adalah seorang muslim, orang yang berserah diri pada Allah, Tuhan yang Maha Esa, tidak bisa disetarakan dengan apa dan siapapun, Tuhan yang bisa saya cerna dengan akal saya, karena itu saya bangga menjadi muslim dan akan tetapi mati sebagai seorang muslim : "Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (QS. Al-An'am [6] :162)

Saya tidak akan pernah menyembah makhluk manapun sebagai tuhan saya, tidak juga yesus yang anda pertuhankan itu. Sebab sudah tegas konsep Tauhid sejati :

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu
(Kitab Keluaran pasal 20 ayat 3 s/d 5)

Hukum yang terutama ialah: Dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa (Markus pasal 12 ayat 29)

Tidak perlu ditanggapi lebih lanjut Arman, kamu ngotot terus menerapkan rasio bagi dogma Kristen, sementara kamu tak mampu melihat dogma Islam dengan kekritisan yang sama. Saya sudah bilang berkali-kali bahwa rasio tak bisa dipakai untuk menilai iman karena ranahnya berbeda.



Tuhan secara filsafat adalah tuhan dalam bentuk yang terlalu bervariasi sebagaimana bisa dibaca melalui pendapat para filosof yang ada (sebut saja nama socrates, plato, aristoteles, descartes atau juga kant dan bandingkan semua konsepsi filsafat mereka tentang tuhan). Saya lebih memilih ranah akal atau rasio untuk memahami Tuhan dan menemukan eksistensi kebenaran Dia. Ini juga yang pernah ditempuh oleh ilmuwan besar dunia Isaac Newton (1642-1727) yang juga terkenal dengan karyanya yang mengkritik ajaran Trinitas dengan judul "An Historical Account of Two Notable Corruption of Scripture" artinya dalam bahasa Indonesia adalah "Sebuah catatan sejarah tentang dua penyelewengan pokok terhadap kitab suci". Newton pernah berkata :

Bagi mereka yang mampu, biarlah mereka mengambil kebaikan dari kontroversi tersebut. Untuk saya sendiri, saya tidak bisa mengambil apa-apa darinya. Jika dikatakan bahwa kita tidak boleh menentukan maksud dari kitab suci dan apa yang tidak bisa ditentukan oleh penilaian-penilaian kita, maka saya mengatakan bahwa bukanlah tempatnya dipertentangkan. Tetapi pada bidang-bidang yang dipertentangkan, saya menyukai untuk mengambil apa yang paling saya mengerti. Adalah sikap keras dan sisi takhayul dari manusia dalam masalah-masalah agama menjadi bukti misteri-misteri tersebut.

Yang lahir pertama kali didalam kecerdasan berpikir  manusia adalah filsafat. Rasio adalah alat yang dipakai untuk menganalisa segala sesuatu yang bisa dipikirkan oleh manusia. Selama kamu berkeras untuk menilai dogma agama Kristen dari segi rasio, menunjukkan ketidak-mampuanmu untuk bersikap obyektif dalam melihat suatu permasalahan. Tolong uraikan tentang Tuhan menurut apa yang kamu ketahui Arman. Menyerang suatu pendapat adalah biasa dalam debat, tapi langsung menyerang di awal diskusi  tanpa basa-basi menunjukkan kamu terlalu bernafsu menyerang diawal tanpa mengeluarkan jurus-jurus pembukaan lebih dahulu. Ingat Arman, kita masih berbicara tentang TUHAN, bukan dogma, bukan agama, bukan iman.







---------- Forwarded message ----------
From: henry danil <henry.danil@gmail.com>
Date: 2010/5/3
Subject: Re: [Milis_Iqra] Diskusi tentang Tuhan [Untuk Rizal Lingga]
To: milis_iqra@googlegroups.com


maaf saya ikut nimbrung. 
mengikuti diskusi anda berdua tentang tuhan saya jadi tertarik untuk ikutan. anda berdua mendiskusikan suatu objek dengan dua standar yang berbeda. saya fikir diskusi ini takkan bertemu. saya fikir sdr rizal ada benarnya untuk bertolak dari filsafat sebelum masuk pada sumber ajaran agama tertentu.
Tuhan adalah sesuatu yang tak pernah kita tahu sebelumnya. jadi adalah mustahil kita dapat memahami tuhan secara benar bila tidak ada informasi yang benar tentang tuhan.
saya ingin mengajak anda berdua sedikit berfilsafat dengan sebuah perumpamaan: "Katak di bawah tempurung". bertanya tentang tuhan, sama halnya bertanya pada katak tentang segala sesuatu yang ada di luar tempurung yang tidak pernah ia tahu sebelumnya. satu2nya cara yang memungkinkan katak itu tahu tentang segala sesuatu di luar tempurung bila ada informasi yang masuk kepadanya. 
Dari perumpamaan tersebut, disukusi tentang tuhan pada dasarnya adalah diskusi tentang kebenaran informasi yang ada tentang tuhan. menurut saya hanya ada 2 informasi tentang tuhan  yang mungkin benar, yaitu al qur-an dan bibel, karena kedua informasi tersebut di klaim datang dari tuhan. oleh karena itu, saya mengusulkan pada anda berdua untuk mendiskusikan bagaimana caranya dari kedua informasi tersebut kita tahu informasi yang dijamin benar. parameter apa yang dapat kita gunakan untuk menentukan kebenaran dari kedua informasi tersebut.
demikian, semoga kita dapat menjadi orang2 yang bijak dalam hidup ini.

--
Salamun 'ala manittaba al Huda



ARMANSYAH

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment