Tabiat Kebencanaan
Kamis, 28 Oktober 2010 00:00 WIB
INDONESIA dalam banyak hal adalah contoh ekstrem tentang disorientasi
terhadap realitas alam. Inilah negara dengan potensi kebencanaan
tertinggi di dunia, tetapi di sini hidup subur tabiat kebencanaan yang
amat rendah.
Alam dengan seluruh keperkasaan dan determinasinya tidak diupayakan
pemahaman, tetapi dilawan dengan segala kekonyolan. Tidak menghiraukan
peringatan untuk mengungsi dari rumah kendati Gunung Merapi hendak
meletus sehingga berujung kematian, misalnya, merupakan salah satu
bentuk kekonyolan itu.
Kekonyolan juga diperlihatkan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo. Banjir yang
melanda Jakarta dengan intensitas yang bertambah setiap tahun tidak
mau diakui sebagai hukuman alam terhadap kerakusan pelanggaran tata
ruang, tetapi cuaca ekstrem yang dipersalahkan.
Bencana yang terjadi setiap tahun, dan kali ini serentak dan beruntun,
dari Wasior di Papua, Mentawai di Sumatra Barat, hingga Merapi di
Yogyakarta, adalah pukulan-pukulan telak terhadap tabiat kebencanaan
kita yang amat rendah. Bencana-bencana besar tidak memberi efek
pembelajaran apa-apa.
Sebagai negara dengan gunung api aktif terbanyak di dunia, Indonesia
sesungguhnya adalah negara dengan masyarakat yang dipaksa siaga 24 jam
sepanjang tahun dan sepanjang masa. Tetapi, kita justru hidup di
tengah masyarakat dan negara yang bertabiat tenteram aman sentosa.
Coba tengok sistem kedaruratan yang lahir dari manajemen bencana.
Negara memiliki Badan Penanggulangan Bencana Nasional dengan
kewenangan yang tumpang-tindih. Bencana alam adalah pos anggaran
minimalis yang longgar terhadap korupsi. Sejumlah bupati dan gubernur
masuk bui karena seenaknya memakai dana bencana.
Negara bencana yang tersebar dalam ribuan pulau seperti Indonesia
menuntut pusat-pusat penanggulangan yang tersebar pula, lengkap dengan
seluruh fasilitas kedaruratan. Tidak boleh fasilitas kedaruratan itu
berada hanya di satu tempat. Kekurangan kantong mayat untuk membungkus
15 korban kapal motor Tersanjung yang tenggelam di perairan utara
Flores adalah contoh telanjang tentang manajemen kedaruratan yang
tidak tersebar dengan intensitas dan kegawatan yang sama.
Kita terbiasa dengan manajemen kedaruratan post factum. Setelah gunung
meletus, banjir menggasak, dan tsunami menyapu, seluruh otoritas
bergegas dalam serbakedaruratan dan, umumnya, melebihi dosis.
Para menteri berebutan mengunjungi lokasi, bahkan pada saat yang sama
tumpah ruah ke sana. Mentawai sebagai contoh. Pagi dikunjungi Wakil
Presiden, sore didatangi Presiden langsung dari luar negeri.
Hari-hari pertama setelah bencana, kita lebih sibuk mencari dan
menghitung mayat dan mengabaikan pertolongan pada yang hidup. Media
massa berlomba memberitakan angka kematian.
Padahal, yang jauh lebih penting adalah manajemen kedaruratan
prabencana. Janganlah membabat hutan. Janganlah melanggar tata ruang.
Janganlah membangun rumah di kaki dan pinggang gunung. Janganlah
membangun di bantaran sungai dan sejumlah jangan yang lain.
Tetapi, inilah negara yang dikelola dengan semangat lupa waktu dan
lupa tempat. Penguasa hanya omong banjir di musim hujan, omong
kebakaran di musim panas. Tetapi, lebih banyak lupa dan abai. Lalu
ketika bencana datang, dengan gampangnya menyalahkan alam.
Mereka kesal, tetapi tidak mampu berbicara banyak dan hanya mampu
mengatakan hajab sirajab bin mustajab
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment