Penulis : Veronica Colondam MSc dalam bidang drugs/alcohol: policy and
intervention dari Impe
IBU Widya menjerit histeris dan pecahlah tangis di suatu sore.
Kartika, anak perempuan satu-satunya dan baru saja merayakan ulang
tahun ke tujuh belasnya minggu yang lalu, mengaku terjerat narkoba.
Ayah Kartika pun (walau diam seribu bahasa) secara refleks mengepalkan
tangannya dan menahan dorongan untuk memukul Kartika saat itu. Tangan
ayah dilayangkan ke udara dan Kartika hanya bisa terpejam pasrah
menunggu nasib. Namun, kepalan ayah mendarat di atas meja dan membuat
Kartika tersentak dengan bunyi gebrakan itu.
Meskipun berhasil menahan diri tidak melukai si putri kesayangannya,
sang ayah tetap tidak tahu apa yang harus dia lakukan atau katakan.
Terlalu banyak pikiran. Terlalu banyak perasaan. Terlalu penuh
kekesalan yang membuncah dalam detik itu. Tidak tertahankan, sangat
kompleks dan tidak dapat diungkapkan.
Langkah apa yang harus segera dilakukan? Bagaimana menyembunyikan aib
ini? Kartika harus segera pindah sekolah, tapi atas alasan apa?
Bagaimana menyelamatkan martabat keluarga? Apa kita semua perlu pindah
rumah, bahkan pindah kota? Ribuan pertanyaan bertubi-tubi mendarat
dalam benak ayah belum juga berhasil diartikulasikan dalam kata-kata.
Ibu pun lelah menangis, tertunduk tanpa daya sambil menggeleng- geleng
kepala tanda kegagalan; gagal menjadi orang tua, gagal menjadi ibu
untuk Kartika, gagal menjadi istri yang menjaga rumah tangga dan anak-
anak. Kesalahan apa yang telah saya perbuat sehingga ditimpa
kemalangan ini? Bukankah dulu saya memutuskan berhenti bekerja dan
menjadi ibu rumah tangga untuk bisa mengasuh anak-anak secara lebih
intens? Apa kurang pengorbanan saya sampai putriku ini terjerat
narkoba? Kok bisa tidak terdeteksi selama ini. Ya Tuhan, apa yang
terjadi? Apa salah saya, Tuhan? Waduh, jangan-jangan banyak pembantu
yang selama ini saya pecat karena saya tuduh mencuri sebenarnya tidak
mencuri. Bisa jadi itu perbuatan Kartika semua? Oh tidaaak! Saya bukan
hanya membesarkan pecandu, melainkan juga seorang kriminal!
Perasaan sayang, benci, kasihan, dan keinginan untuk menyakiti anak
sendiri datang serentak. Tapi diam dalam keheningan yang dihasilkan.
Kata-kata tidak lagi cukup untuk mengungkapkan rasa marah, kecewa,
sedih, sayang, dan kasihan. Rasanya semua bahasa gagal menghasilkan
sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan hati saat itu.
Kartika pun melirih sambil bersimpuh di hadapan ayah dan ibunya,
terisak sambil tiada henti memohon pengampunan dari Tuhan dan orang
tuanya. Dalam keheningan ayah ibunya, Kartika merasa lebih tersiksa.
Kartika tahu bahwa dalam diam tersebut, dia telah amat sangat
menyakitkan hati, bukan saja itu, bahkan menghancurkan hidup mereka.
Apa yang telah kuperbuat Tuhan? Mengapa kenikmatan itu berujung
nestapa? Kalau saja saya tahu.
Sang kakak, Tino, sambil berlari kecil masuk ruang keluarga dan
mendapati sebuah rasa kecanggungan yang dingin di tengah panasnya
emosi sang ayah. Dalam hitungan detik Tino mengerti apa yang terjadi.
Reaksi muda Tino segera menginterogasi sang adik dan mulai mencari-
cari penyebab kenapa adiknya bisa kecanduan.
Apa penyebab Kartika terjerat narkoba? Siapa teman laknat penjerumus
Kartika? Sudah berapa lama mereka terjerat? Narkoba apa yang
dikonsumsi mereka? Siapa pemasok narkoba ini? Siapa yang terlibat? Di
mana mereka biasa memakai narkoba? Seribu pertanyaan bergulir lancar
dari mulut si abang. Terlihat sibuk mencari sebab dan berusaha
berpikir cepat untuk menanggulangi masalah, Tino mungkin satu-satunya
di ruangan itu yang bisa melampiaskan emosinya dalam kegaduhan kata,
terlebih ketika ayah dan ibu terlihat sangat terpukul dalam menghadapi
situasi ini.
Potret kehidupan
Cuplikan kejadian itu adalah sebuah potret rumah tangga masa kini.
Sebuah penelitian Household Survey (YCAB, 2004) di Jakarta menemukan
satu dari sepuluh rumah tangga pernah atau sedang mengalami masalah
narkoba.
Inilah kenyataan yang terjadi. Walau masalah keluarga tampaknya
merupakan masalah dari unit terkecil masyarakat Indonesia,
kenyataannya membuktikan lain. Penyalahgunaan dan pengedaran gelap
narkoba adalah bagian dari masalah sosial, ekonomi, dan pertahanan/
ketahanan bangsa. Apalagi ketika hal ini kita pandang dari tatanan
dunia.
Walau estimasi masalah narkoba dalam keluarga di Jakarta tampaknya
tidak terlalu besar, dalam skala nasional pada kenyataannya narkoba
telah merenggut kebahagiaan lebih dari 3 juta keluarga di Indonesia
(BNN, 2007). Di dunia, narkoba telah merasuk dan merusak kehidupan
lebih dari 200 juta orang (UNODC, 2008).
Sama seperti sekitar 12% anak usia SMP-SMU di Jakarta, Kartika
mengakui dia mulai bereksperimen dengan narkoba tidak lama setelah
lulus SD. Cerita 'karier' Kartika di dunia narkoba pun mirip dengan
sebagian besar pecandu pada umumnya; pertama mencoba rokok, berlanjut
melinting ganja, kemudian meningkat menelan pil ketika 'main' ke rumah
teman.
Narkoba suntik seperti putau dan sabu pertama kali digunakan di rumah
teman bersama temannya ketika, tentunya, orang tua temannya itu sedang
tidak ada di rumah. Paling sering dilakukan di saat pulang sekolah dan
ketika alasan 'belajar bareng' merupakan alasan terbaik yang selalu
direstui ibu Kartika tanpa banyak resistensi. Hal ini terjadi sampai
Kartika masuk SMU ketika penggunaan narkobanya sudah sangat sulit
dikendalikan.
Setelah mempelajari 'titik lemah' sang ibu yang tidak pernah berkata
tidak untuk hal-hal yang berhubungan dengan pelajaran sekolah, Kartika
pun jadi keasyikan untuk memanfaatkan kelemahan sang ibu tersebut.
Anehnya, ibunya tidak pernah sekalipun menelepon ke ibu teman Kartika
tempat mereka 'belajar'. Penyesalan datang terlambat!
Tampaknya kepercayaan sang ibu terhadap Kartika menjadi bumerang!
Menjadi bumerang yang menghantam balik jika tidak disertai dengan
pemantauan dan pengawasan yang seimbang. Sebenarnya, inilah bentuk
kepercayaan yang bertanggung jawab yang perlu dilakukan orang tua
terutama ketika anak memasuki usia remaja.
Karier narkoba
Kisah Kartika itu ternyata banyak kemiripan dengan apa yang digali
pada lebih dari 670 pecandu narkoba di 14 panti rehabilitasi di Pulau
Jawa. Dari penelitian ini diketahui bahwa 74% dari pecandu mengakui
memiliki ibu yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga, sama seperti
ibu Kartika.
Didapati 98% pecandu adalah perokok dan merokok terlebih dahulu baru
mencoba ganja, sebelum meningkat ke pil-pil amfetamin. Dan 70% dari
mereka berakhir dengan narkoba suntik seperti sabu dan putau. Rata-
rata pecandu memulai kebiasaan merokok mulai di bangku SMP (atau akhir
SD) dan bergulir dalam 'karier narkoba' sampai masuk SMU.
Seperti Kartika, teman merupakan faktor pendorong, walaupun ia juga
mengakui bahwa dia memang sengaja mencari kelompok teman tertentu yang
cenderung mendukung pemenuhan rasa penasarannya, rasa ingin tahunya
yang besar terhadap rokok, pil, dan putau.
Kelompok itulah yang menjadi kelompok 'sosial pendukung' yang
memfasilitasi pemuasan keingintahuan Kartika. Inilah peran peer-
approval dalam pergaulan, melebihi peer pressure seperti apa yang
dipercayai banyak orang tua.
Pengaruh peer-approval akan jauh lebih dahsyat jika di diri anak pada
dasarnya sudah terdapat faktor internal dalam diri anak yang
menggiring terbentuknya niat dasar pada anak untuk (misalnya)
bereksperimen dengan rokok atau narkoba. Memang, musuh terbesar kita
adalah diri kita sendiri!
Terlambat tahu
Pertanyaannya, mengapa orang tua Kartika yang terakhir tahu?
Kejadian ini ternyata bukan dialami orang tua Kartika saja.Mayoritas
dari pecandu yang diwawancarai dalam penelitian di atas mengakui orang
tualah tempat terakhir mereka mengadu ketika tidak lagi ada jalan
keluar, ketika merasa mentok dan pada saat mereka butuh perawatan atau
rehabilitasi.
Tapi ke mana orang tua selama anak 'berkarier' dalam narkoba? Mengapa
hal ini bisa terjadi selama bertahun-tahun dan terlepas dari
pengetahuan dan perasaan orang tua? Kebanyakan ibu rumah tangga yang
seharusnya ada di rumah ternyata malah tidak berhasil memantau
kegiatan anak. Apa yang terjadi? Fenomena apa yang dihadapi masyarakat
kini? Apakah ini yang namanya kurang perhatian, kurang komunikasi?
Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Pertama, pada waktu seorang anak
menjalani 'karier narkoba', ia tidak menampakkan perubahan fisik yang
berarti jika belum sampai ke tahap kecanduan.
Ibu yang tidak bekerja bisa saja berada secara fisik di rumah, tapi
sering 'tidak hadir' dalam kehidupan anak. Atau, terlalu banyak
kegiatan di luar rumah membuat kurangnya kedekatan hubungan dengan
anak seperti yang banyak terjadi di kota besar.
Kalau urusan perhatian, rasanya, tidak ada orang tua yang tidak
memperhatikan anaknya. Tapi, kenyataannya bisa saja apa yang
diperhatikan tidak tepat sasaran. Mengapa tidak tepat sasaran? Bisa
jadi karena ada perbedaan persepsi dan kesenjangan harapan antara anak
dan orang tua.
Perhatian orang tua yang misalnya diarahkan kepada sekolah anak,
sementara anak berteriak untuk diperhatikan dalam urusan pergaulannya.
Mungkin anak berharap orang tuanya bicara tentang bagaimana menentukan
calon pacar, dari membicarakan batasan pergaulan, hal-hal seputar
seks, hingga narkoba. Sementara itu, orang tua melulu bertanya tentang
cita-cita sejak si anak masuk SD, pelajaran favorit, guru favorit,
kesulitan pelajaran apa, ingin les apa, dan lain sebagainya. Bahkan
ada juga orang tua yang cenderung menghindar jika anak mulai bertanya
tentang seks, kemudian untuk mengecilkan topik pergaulan, dan
menekankan prestasi. Tentu saja hal ini memunculkan kesenjangan dalam
berkomunikasi.
Dalam hal komunikasi, apa yang sering terjadi adalah adanya perbedaan
persepsi antara anak dan orang tua. Persepsi mengenai makna komunikasi
orang tuaanak kadang terdistorsi oleh pengalaman masa lalu ketika
mereka dibesarkan orang tua mereka. Kita sebagai orang tua sering lupa
bahwa berkomunikasi itu tidak hanya berbicara, tapi ada elemen
mendengar.
Mengenal anak
Kuncinya adalah mengenal anak. Sering kali orang tua mengira mereka
sudah mengenal anak mereka. Padahal, riset membuktikan orang tualah
yang kini menjadi orang terakhir yang tahu jika anak mereka terkena
masalah. Sebagian besar remaja (78%) di Jakarta mengakui mereka
biasanya curhat (mencurahkan isi hati) ke teman jika ada masalah
berdasarkan Survei Faktor Risiko (YCAB, 2002), dan bukan orang tua.
Menyedihkan untuk orang tua, tapi untuk dapat merebut hak curhat ini,
rasanya orang tua perlu mengenal anak dengan baik sebagai langkah awal
membuka jalur komunikasi yang diinginkan.
Untuk mengenal anak yang sesungguhnya, orang tua perlu mengetahui
kepribadian, perasaan, dan kebiasaan mereka sejak dini dengan
memperhatikan kecenderungan perilaku anak dan sifat mereka; apakah
anak saya mempunyai perilaku deviasi (menyimpang dari norma-norma yang
ada) atau terlalu 'kaku'? Cenderung antisosial atau malah terlalu
'gaul'? Pemberontak atau penurut? Pendiam atau ceria? Terlalu
bergantung kepada teman atau cenderung tidak mempunyai banyak teman?
Hubungan yang dekat dengan anak membuat orang tua mawas diri terhadap
perubahan sikap dan perilaku anak, serta peka terhadap kebutuhan akan
perhatian dan perasaan mereka serta jeli melihat bakat/hobinya.
Membebaskan anak dari narkoba
Ada setidaknya lima hal yang perlu diperhatikan orang tua bukan saja
untuk membesarkan anak bebas narkoba, tapi supaya tidak menjadi orang
terakhir tahu jika anaknya terkena masalah. Hal tersebut yaitu (1)
selalu membangun dan membina hubungan dengan anak, (2) terlibat aktif
dalam hidup anak, (3) berkomunikasi efektif, (4) membuat dan
menegakkan peraturan, dan (5) mengajarkan anak keterampilan sosial
(life skills).
Mengenal anak adalah langkah pertama untuk membangun hubungan dengan
anak. Mengenal anak mencakup pengenalan akan kepribadian dan kondisi
psikologis dan emosi anak.
Dalam banyak situasi, orang tua merasa mengenal anak, tapi hal-hal
yang 'dikenal' orang tuanya itu cenderung tidak lagi cocok dengan
kondisi anak terkini. Pengenalan perlu senantiasa diaktualkan agar
tidak terjadi kesenjangan persepsi anak-orang tua.
Hal ini dapat ditempuh melalui komunikasi dan terlibat aktif dalam
kehidupan anak. Mulai dari hal-hal remeh yakni anak merasa
diperhatikan dan dihargai seperti membawakan kudapan saat anak
berkumpul dengan teman-temannya atau menyaksikan dan memberi semangat
pada pertandingan sepak bolanya.
Suatu survei di Amerika Serikat menyatakan tradisi makan bersama
(setidaknya lima kali dalam seminggu) dapat secara drastis
meningkatkan hubungan anakorang tua yang berarti mengurangi risiko
anak jatuh dalam narkoba.
Setelah mengenal anak Anda, mengerti kebutuhan emosinya dan dinamika
kepribadiannya. Sekarang saatnya untuk berperan aktif dalam hidup
anak. Berperan aktif berarti terlibat dan melibatkan diri dalam
kehidupan anak setiap harinya.
Ada sebuah penelitian yang menemukan anak akan cenderung beraktivitas
positif jika ia memiliki orang tua yang terlibat aktif dalam hidup
keseharian. Anak yang beraktivitas positif akan mempunyai kemungkinan
yang lebih kecil untuk menggunakan narkoba.
Menurut para ahli ilmu komunikasi, berkomunikasi yang baik berarti
mengambil waktu untuk mendengar dan berempati, mengambil waktu untuk
bicara pada saat yang tepat, dan memakai pendekatan hati dan bukan
nalar saja pada saat berbicara dengan anak.
Peneliti Allen et al (2002) dari Universitas Minesota menyatakan
membuat batasan-batasan dalam hidup anak sama seperti membangun 'pagar
di sepanjang jembatan'. 'Pagar' ini adalah pagar kasih yang melindungi
anak Anda dari bahaya fisik dan bahaya psikologis di kehidupan sehari-
hari.
Seorang ahli perkembangan anak, Ellen Galinsky, dari Ohio State
University menambahkan, 'pagar' ini sebenarnya membuat anak merasa
aman dan nyaman, bahkan dicintai. Dan bukan sebaliknya, seperti
dikekang atau dibatasi.
Lebih jauh, Allen et al juga menuliskan tujuan utama membuat peraturan
atau batasan adalah supaya anak memiliki kemampuan untuk pengendalian
diri (self-control) dan pengarahan diri (self-direction). Kedua hal
ini sangat penting dalam menumbuhkan rasa berharga pada diri anak
(selfworthiness).
Self-worthiness dapat ditimbulkan melalui pemupukan dan peningkatan
kepercayaan diri (self esteem dan self confidence). Selain itu,
keterampilan hidup yang perlu diajarkan adalah asertif, pengambilan
keputusan, bagaimana mengatasi konflik, mengatasi masalah, dan lain-
lain.
Menjadi orang tua adalah ibadah. Kelima hal yang dibahas ini hanya
merupakan hal ringkas yang mudah-mudahan dapat menginspirasi kita
semua untuk 'beribadah' dalam membesarkan anak kita.
Integritas dan teladan kita sebagai orang tua sangat dibutuhkan anak.
Jadilah teladan, jadilah panutan. Kelak kita dapat menjadi yang utama
dan terutama dalam hidup anak kita.
Dr milis SELAMATKAN ANK KITA DARI NARKOBA (SAKDN) oleh Meirza Amran
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
No comments:
Post a Comment