Saturday, August 15, 2009

[Milis_Iqra] Shah Rukh: Saya Ditahan Karena Bernama Muslim

 
Shah Rukh: Saya Ditahan Karena Bernama Muslim
Minggu, 16 Agustus 2009 | 05:24 WIB

NEW DELHI, KOMPAS.com-Pemerintah India menuntut pemerintah AS untuk menjelaskan mengapa mahabintang Bollywood Shah Rukh Khan ditahan selama dua jam di bandara Newark, New Jersey.

Shah Rukh yang dibebaskan setelah Kedubes India di AS turun tangan mengaku marah dan dipermalukan. Aktor yang berada di AS untuk mempromosikan film bertema rasis mengatakan ia ditahan karena mempunyai nama Muslim.

Pada Juli, America's Continental Airlines meminta maaf kepada mantan Presiden India APJ Abdul Kalam karena menggeledahnya sebelum naik pesawat.

Dubes AS untuk India Timothy J Roemer mengatakan Kedubes AS berupaya memastikan apa yang terjadi dalam kasus ini. "Shah Rukh Khan, aktor dan ikon global adalah tamu yang diterima di AS. Banyak orang Amerika menyukai film-filmnya," kata Roemer, Sabtu (15/8) melalui seorang juru bicaranya.

Kabar penahanan Khan menjadi berita utama di televisi India. Khan (44) membintangi lebih 70 film dan terus menjadi bintang terkenal di India dalam beberapa tahun terakhir. Dia di AS untuk mempromosikan film barunya.

 

 

 

 

 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
  Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

[Milis_Iqra] koq artinya jadi "membuat - buat kebiasaan baru"??????????

Kupas tuntas hadist "ومَنْ سَنَّ في الإِسْلامِ سُنَّةً"

 

Hadist ini di terjemahkan oleh artikel yang di forward A Hend, bunyinya seperti ini : ""Barangsiapa membuat-buat kebiasaan baru yang baik dalam Islam"

 

Pertanyaan saya adalah

Apakah lafazh "Sanna/ سَنَّ " diartikan "membuat-buat kebiasaan baru" ?

 

Saya masih belum mengerti dari arah mana jika lafazh "Sanna/ سَنَّ"  diartikan demikian, Mungkin A Hendy dan yang lainnya yang memiliki pengetahuan bahasa Arab bisa membantu saya?

Biar yang benar itu terlihat benar dan yang salah terlihat salah?

 

Karena saya khawatir kesalahan dalam penerjemahan bisa salah persepsi dalam memahami sebuah hadist? JIKA dalam penerjemahan saja sudah salah, maka seterusnya pun akan salah, apalagi dibarengi dengan penafsiran yang mengikuti hawa nafsu.

 

MOHON penjelasannya?

OOT : Saya teringat kasus ini saja, yaitu pada Subject "[Milis_Iqra] Re: Bid'ah yang dipermasalahkan (KULLA)" dikirim Tue, Jun 30, 2009 at 12:24 PM

 

[Hendy]

Pada firman Allah yang berbunyi : وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ .Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: "Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluq hidup".


[Dani ] Mungkin karena kebodohan saya, jadi saya seperti bingung ketika ada yang menterjemahkan lafazh "Kulla" pada Surha : Al Anbiyya ayat 30 ini, dalam kopasnya A hendy tertulis "
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ" yang diplintir artinya menjadi "Kami Ciptakan dari air Sperma, Sebagian Makluk Hidup" MasaAllah, sampai sebegitu jauhnya mengartika lafazh Ayat, padahal hal itu adalah Firman Allah yang tidak seharusnya di pelitir artinya.

PEMBAHASAN

Ayat itu ada pada surah Al An Biyya ayt 30, berikut adalah detail ayatnya  

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ

 

Artinya versi Depag : "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? "

Kesalahan fatal artikel yang A Hendy kopas ADALAH Ayat ini berbicara tentang masalah kebesaran ayat-ayat Allah dan menjabarkan bagaimana dahulunya langit dan Bumi itu bersatu kemudian di pisahkan keduanya dan air itu merupakan sumber kehidupan bagi SEGALA SESUATU yang hidup.


Ibnu Katsir, menjelaskan sebuah Hadist dari Imam Ahmad, sebagai berikut:  

وَقَالَ الْإِمَام أَحْمَد عَنْ أَبِي هُرَيْرَة قَالَ قُلْت يَا رَسُول اللَّه إِنِّي إِذَا رَأَيْتُك طَابَتْ نَفْسِي وَقَرَّتْ عَيْنِي فَأَنْبِئْنِي عَنْ كُلّ شَيْء قَالَ " كُلّ شَيْء خُلِقَ مِنْ مَاء " قَالَ قُلْت أَنْبِئْنِي عَنْ أَمْر إِذَا عَمِلْت بِهِ دَخَلْت الْجَنَّة قَالَ " أَفْشِ السَّلَام وَأَطْعِمْ الطَّعَام وَصِلْ الْأَرْحَام وَقُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّاس نِيَام ثُمَّ اُدْخُلْ الْجَنَّة بِسَلَامٍ"

 Berkata Imam Ahmad, diriwayatkan dari Abu Hurairah : " Aku bertanya kepada Rasulullah shalallhu 'alaihi wasallam, "Sesungguhnya jika aku melihatmu maka tenanglah jiwaku dan segarlah pandanganku. Beritahukalah kami tentang segala sesuatu ." Beliau menjawab, " Segala sesuatu telah diciptakan dari air ." Aku bertanya, "Beritahu kami tentang sesuatu, jika aku mengerjakannya maka aku akan masuk surga."Beliau bersabda." Sampaikan salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi (persaudaraan), dan bangunlah di tengah malam tatkala manusia sedang tidur, kemudian masuklah ke surga dengan damai."


Sumber : http://quran.al-islam.com/Tafseer/DispTafsser.asp?nType=1&bm=&nSeg=0&l=arb&nSora=21&nAya=30&taf=KATHEER&tashkeel=0

Jadi artikel yang A Hendy copy Paste itu sudah jauh dari kebenaran sama sekali, ayat itu TIDAK BERBICARA masalah Sperma,

 


From: Milis_Iqra@googlegroups.com [mailto:Milis_Iqra@googlegroups.com] On Behalf Of Whe~en (gmail)
Sent: Thursday, August 13, 2009 10:58 AM
To: Milis_Iqra@googlegroups.com
Subject: [Milis_Iqra] Re: RAHASIA DIBALIK DZIKIR JAHAR

 

ini saya copy paste dari diskkusi di milis ini juga koq

AHen bisa cek di Riyadush Shalihin sendiri

 

 

عَنْ أَبَي عَمروٍ جَرير بنِ عبدِ اللَّه ، رضي اللَّه عنه ، قال : كُنَّا في صَدْر النَّهارِ عِنْد رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَجاءهُ قوْمٌ عُرَاةٌ مُجْتابي النِّمار أَو الْعَباءِ . مُتَقلِّدي السُّيوفِ عامَّتُهمْ ، بل كلهم مِنْ مُضرَ ، فَتمعَّر وجهُ رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، لِما رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقة ، فدخلَ ثُمَّ خرج ، فَأَمر بلالاً فَأَذَّن وأَقَامَ ، فَصلَّى ثُمَّ خَطبَ ، فَقالَ :  {يَا أَيُّهَا الناسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الذي خلقكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدةٍ }  إِلَى آخِرِ الآية: { إِنَّ اللَّه كَانَ عَليْكُمْ رَقِيباً} ، وَالآيةُ الأُخْرَى الَّتِي في آخر الْحشْرِ :  { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمنُوا اتَّقُوا اللَّه ولْتنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمتْ لِغَدٍ} تَصدٍََّق رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاع بُرِّه مِنْ صَاعِ تَمرِه حَتَّى قَالَ : وَلوْ بِشقِّ تَمْرةٍ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كادتْ كَفُّهُ تَعجزُ عَنْهَا ، بَلْ قَدْ عَجزتْ ، ثُمَّ تَتابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْميْنِ مِنْ طَعامٍ وَثيابٍ ، حتَّى رَأَيْتُ وجْهَ رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، يَتهلَّلُ كَأَنَّهُ مذْهَبَةٌ ، فقال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « مَنْ سَنَّ في الإِسْلام سُنةً حَسنةً فَلَهُ أَجْرُهَا، وأَجْرُ منْ عَملَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ ينْقُصَ مِنْ أُجُورهِمْ شَيءٌ ، ومَنْ سَنَّ في الإِسْلامِ سُنَّةً سيَّئةً كَانَ عَليه وِزْرها وَوِزرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بعْده مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزارهمْ شَيْءٌ » رواه مسلم .

قَوْلُهُ : « مُجْتَابي النَّمارِ » هُو بالجِيمِ وبعد الأَلِفِ باء مُوَحَّدَةٌ . والنِّمَارُ : جمْعُ نَمِرَة، وَهِيَ : كِسَاءٌ مِنْ صُوفٍ مُخَطَّط . وَمَعْنَى « مُجْتابيها » أَي : لابِسِيهَا قدْ خَرَقُوهَا في رؤوسهم . « والْجَوْبُ » : الْقَطْعُ ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى :  { وثَمْودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بالْوَادِ }  أَيْ : نَحَتُوهُ وَقَطَعُوهُ . وَقَوْلهُ « تَمَعَّرَ » هو بالعين المهملة ، أَيْ : تَغَيرَ . وَقَوْلهُ: « رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ » بفتح الكاف وضمِّها ، أَيْ : صَبْرتَيْنِ . وَقَوْلُهُ : « كَأَنَّه مَذْهَبَةٌ» هـو بالذال المعجمةِ ، وفتح الهاءِ والباءِ الموحدة ، قَالَهُ الْقَاضي عِيَاضٌ وغَيْرُهُ . وصَحَّفَه بَعْضُهُمْ فَقَالَ : « مُدْهُنَةٌ » بِدَال مهملةٍ وضم الهاءِ وبالنون ، وَكَذَا ضَبَطَهُ الْحُمَيْدِيُّ ، والصَّحيحُ الْمَشْهُورُ هُوَ الأَوَّلُ . وَالْمُرَادُ بِهِ عَلَى الْوَجْهَيْنِ : الصَّفَاءُ وَالاسْتِنَارُة .

171. Dari Abu 'Amr Jarir bin Abdullah ra., ia berkata : "Suatu siang kami bersama-sama Rasulullah sholallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah serombongan orang tak beralas kaki, berkemul kain wol yang dilubangi pada bagian kepala dan bersenjatakan pedang. Mereka kebanyakan dari suku Mudhar, bahkan semuanya dari suku Mudhar. Melihat kemiskinan yang mereka derita, berubahlah wajah Rasulullah sholallahu 'alaihi wasallam, beliau kemudian masuk rumah dan segera keluar lagi, kemudian menyuruh bilal untuk mengumandangkan adzan dan ikamah, sesudah menyelesaikan salatnya beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, daripadanya Allah menciptakan istri, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya, kalian saling meminta satu sama lain, serta peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian." Beliau juga menyampaikan firman Allah yang lain yang artinya : "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu semua kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). "Seusai beliau berpidato, ada seseorang yang bersedekah dengan sebagian dinarnya, dirham, pakaian, satu gantang gandul dan dengan satu gantang kormanya sehingga Jarir mengatakan : "Bahkan tidak ada yang ingin ketinggalan sekalipun hanya bersedekah dengan separuh biji kurma." Kemudian datanglah seorang sahabat Anshar yang membawa pundi-pundi besar, hampir saja ia tidak kuat untuk mengangkatnya, yang diikuti oleh para sahabat yang lain. Akhirnya, saya melihat wajah Rasulullah sholallahu 'alaihi wasallam tampak sangat gembira sehingga berkilauan seperti emas, beliau kemudian bersabda :

"Siapa saja yang yang pertama memberi contoh prilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikitpun."  (HR Muslim), Lihat Riyadhus Sholihin No. 171 disini http://www.al-eman.com/Islamlib/viewchp.asp?BID=245&CID=4#s12

Keterangan :

Sabda Nabi sholallahu 'alaihi wasallam Mujtabin nimar, yaitu dengan jim dan sesudah alif ada ba' bertitik satu. Annimar adalah jama'nya Namirah (Jadi Namirah itu mufrad), artinya pakaian dari bulu yang bergaris-garis (bagaikan macan lurik), sedang makna Mujtabiha ialah mengenakannya sesudah melubangi di bahagian kepala orang-orang yang memakainya. Ini berasal dari kata Al-jaub, artinya memotong, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Dan kaum Tsamud yang memahat dan memotong (menembus) batu-batu besar di lembah (tanah rendah)."

Sabda beliau sholallahu 'alaihi wasallam Tama'-'ara, dengan 'ain muhmaiah, artinya berubah (wajah serta sikapnya).

Adapun kata Rawi (yang meriwayatkan Hadis ini): Ra-aitu kaumaini, boleh difathahkan kafnya dan boleh pula didhammahkan, artinya "Saya melihat dua buah tumpukan atau dua buah gundukan."

Sabda Nabi sholallahu 'alaihi wasallam: Ka-annabu mudzhabah, itu dengan menggunakan dzal mu'jamah dan fathahnya ha' serta ba' muwahhadah. Demikianlah yang dikatakan oleh al-Qadhi 'lyadh dan lain-lain. Tetapi sebahagian alim-ulama ada yang menulisnya lalu diucapkan Mud-hanah dengan menggunakan dal muhmaiah dan dhammahnya ha' serta nun. Demikian ini yang dibenarkan oleh al-Humaidi. Tetapi yang shahih serta masyhur ialah yang pertama. Adapun artinya menurut kedua macam itu sama saja yakni bersih serta bercahaya.

trus dibahas juga begini ahen:

bahasa Arabnya : {مَنْ سَنَّ في الإِسْلام سُنةً حَسنةً} artinya seharusnya "Siapa saja yang melakukan sunnah (prilaku) yang baik dalam Islam"

Gimana ahen?

koq artinya jadi "membuat - buat kebiasaan baru"??????????

Copy paste saja juga susah kan?

kalo ga pas bisa dikomplain :-D

 

 

Whe~en
http://wheen.blogsome.com/
 
"Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS 20 : 25-28)
"Ya Allah jadikan Aku hamba yang selalu bersyukur dan penyabar"

----- Original Message -----

From: Ndy Ndy212

Sent: Thursday, August 13, 2009 10:34 AM

Subject: [Milis_Iqra] Re: RAHASIA DIBALIK DZIKIR JAHAR

 

 

2009/8/13 Whe~en (gmail) <whe.en9999@gmail.com>

Lach bukan masalah pendapat siapa kale

biasa dicari di kitab aslinya kalau mau

saya cuma info, pernah dibahas 2 kali di milis ini :-D, kebetulan yang posting satu orang hal yang sama, gitu saja

masa diulang lage?

 

gini kang Hendy,

saya jelaskan, itu bukan pendapat

tapi soal redaksi haditsnya

soal asbabul wurudnya

dipostingannya begitu

tapi sebaiknya sich kang hendy cari kitabnya langsung

biar ga nurut pendapat si fulan dan si fulan :-) :-)



 



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
  Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

[Milis_Iqra] Re: Macam-Macam Bid'ah di Bulan Ramadhan

 

(addin) Mas darmawan yang baik, ketika mas Dermawan merasa kurang pas dengan tulisan biru diatas bukannya berarti mas Dermawan juga merasa pendapatnya yang lebih benar daripada pak Andri..??

Demikian masukan dari saya ........terimakasih

 [A Hed]

Berarti semua pendapat,baik dari kita sendiri, ataupun menukil dari kalimat2/pendapat para ulama, semuanya belum tentu benar ??

 

[Dani] semuanya belum tentu benar, bisa saya jawab “iya dan tidak”, Namun kita harus meneliti pendapat itu bukan asal telan.

 

 



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
  Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

[Milis_Iqra] Re: Bid’ah dholalah dan mazmumah

 

[A Hen]

Sabda Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh Imam ad Dailami dalam kitab Musnad al Firdaus:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إلاَّ بِدْعَةً فِى عِبَادَةٍ.

Setiap bid'ah itu adalah sesat, kecuali bid'ah dalam memperkuat ibadah.

1.                               Jika saudara mendalami ilmu bahasa Arab, niscaya anda akan memahami bahwa hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid'ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid'atinadalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat 'am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.

2.                              Andaikata ada, maka yang patut diikuti sudah barang tentu adalah sabda Nabi saw. Akan tetapi saudara harus menyadari bahwa tidak seorangpun dari para ulama yang sebenarnya berani memberikan fatwa, kecuali berdasarkan nash al Quran atau hadist Nabi saw.

[Dani] Ada satu hal yang menggelitik kaidah ini memenag benar yakni ", sehingga dlalalah-nya adalah bersifat 'am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian"

Kata yang saya garis bawahi diatas, bisa di berikan contoh A Hendy ?  

 

Lafazh "ضَلاَلَةٌ" adalah lafazh umum, jadi pengecualiannya gimana?

 

Ada yang kurang dalam tulisan tersebut yaitu kaidah : "Lafazh yang umum tetap di gunakan jika tidak ada pengecualian". Bisa di jabarkan A Hendy? Dari lafazh "ضَلاَلَةٌ" tersebut?



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
  Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

[Milis_Iqra] Hadith Kontradiktif dan Solusinya


Hadith Kontradiktif dan Solusinya

Pendahuluan

Sebagai sumber hukum Islam kedua, hadith untuk sampai tampil dalam bentuknya yang sempurna1 terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otensitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase perkembangannya2, para generasi periwayatan (tabaqat)3 dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu hadith benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.

Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara' dan metode istimbath hukumnya maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan/ta'arud (semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara' (al-Qur'an dan hadith) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan diantaranya.4Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى(3)
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى(4)

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".5

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu".6

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

"Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya".7

Pengertian Hadith Kontradiktif ( تعارض الحديث )

Secara etimologi (bahasa), kata "al-Ta'arud" terbentuk dari kata dasar "'Arada" yang berarti "menghalangi", "mencegah", atau "membandingi". Adapun kata "al-I'tirada" berarti "mencegah" atau "menghalangi". Asal arti kata ini, bermula dari adanya sebuah bangunan atau lainnya, seperti kayu penghalang atau gunung yang menghalangi atau mencegah orang-orang yang melintasi sebuah jalan. Sehingga dalam hal ini, kata "al-I'tirad" diartikan mencegah atau menghalangi.8 Sehingga dapat disimpulkan kata "al-Ta'arud" berarti saling mencegah, saling menentang atau saling menghalangi.

Secara terminologi (istilah), "al-Ta'arud" menurut al-Zarkashi didefinisikan sebagai

تقابل الدليلين على سبيل الممانعة

"Perbandingan dua dalil dengan sifat cara saling mencegah".9

Sedang menurut al-Asnawi:

تقابل الأمرين يمنع كل منهما مقتضى صاحبه

"Berbandingnya dua hal (perkara), dimana masing-masing pernyataannya saling bertentangan."10

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa "Ta'arudu al-Hadith" adalah dua hadith (atau lebih) yang secara lahiriah tampak bertentangan (karena saling mencegah) dalam pernyataannya.

Sedang para ahlu-manthiq, lebih sering menggunakan istilah "al-Tanaqud" sebagai ganti "al-Ta'arud". Mereka mendefinisikan al-Tanaqud dengan:

اختلاف قضيتين بالإيجاب والسلب و الكلية والجزئية بحيث إذا صدقت أحدا هما كدبة الأخرى

"Perbedaan dua premis (pernyataan), misalnya yang satu bersifat ijab dan yang lain bersifat salb, atau yang satu bersifat universal (umum) dan yang lain bersifat spesifik dimana apabila salah satunya benar, maka yang lain pasti salah".

Abd al-Aziz al-Bukhari dalam kitabnya "Kasyf al-Asrar" menjelaskan:

"Sebenarnya, dalam hal ini keduanya bermakna sama. Al-Tanaqud (pertentangan) dalam suatu ucapan (pernyataan) menurut berbagai istilah adalah perbedaan dua ucapan yang satu meniadakan dan yang lain menetapkan. Apabila salah satu ucapan benar, maka ucapan lainnya pasti salah. Inilah esensi dari pertentangan (al-Ta'arud)".11

Macam-macam Ta'arudul al-Hadith

Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Wafaa12 disebutkan bahwa ta'arud (dalil-dalil yang dapat bertentangan) dapat terjadi pada:

Pertentangan antara dua dalil qath'i

Yang dimaksud dengan dalil qath'i di sini adalah dalil-dalil syara' yang bersifat pasti, seperti al-Qur'an dan hadith-hadith mutawatir (antara ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an, antara ayat al-Qur'an dengan hadith mutawatir dan antara hadith-hadith mutawatir). Contoh hadith yang berbunyi:

ألا أخبركم بخير الشهداء ألذ يأتي بالشهادة قبل ا ن يسألها 

"Apakah aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi, yaitu seorang yang memberikan kesaksian sebelum diminta."13

Dengan hadith:

ان خير أمتي قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلو نهم ثم ان من بعدهم قوما يشهدو
ولا يستشهدون ويخونون ولا يؤتمنون 

"Bahwa sebaik-baik umatku adalah golonganku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka yaitu sekelompok manusia yang memberikan kesaksian tanpa dimintai, tidak berkhianat dan dapat dipercaya".14

Secara lahiriah (dzahir), kedua hadith tersebut saling berlawanan Karena hadith pertama harus dipahami hanya khusus pada urusan hak-hak Allah. Dan hadith kedua harus dipahami hanya sepanjang hak-hak manusia. Hadith pertama yakni jika ada seorang saksi memberikan kesaksian yang sebenarnya, dimana orangnya (pelaku) tidak mengetahui kesaksian tersebut, kemudian saksi tersebut mendatanginya dan menyampaikan kesaksiannya atau ia (pelaku) meninggal sebelum sampai kesaksian tersebut dan ahli waris (pelaku) mengingkarinya. Dan hadith kedua, yakni jika seseorang menpunyai saksi selain saksi pertama tersebut, maka ia tidak boleh mengajukan saksi kedua.

Pertentangan antara dalil qath'i dengan dalil dzanni

Yaitu pertentangan antara dalil-dalil syara' yang bersifat pasti (seperti al-Qur'an dan hadith mutawatir) dengan dalil yang bersifat praduga (seperti hadith ahad). Seperti hadith:

لا صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب

"Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al-Fatihah".15

Dengan hadith:

من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة

"Barang siapa shalat berjama'ah, maka bacaan imam juga bacaannya."16

Maksud hadith pertama adalah meniadakannya keutamaan shalat, bukan menetapkan sah tidaknya shalat (hadith kedua).

Pertentangan antara dua dalil dzanni

Yaitu pertentangan antara hadith-hadith ahad. Seperti hadith:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى حين انكشفت الشمس مثل صلاتنا يركع ويسجد

"Bahwasanya Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana dengan ruku' dan sujud sebagaimana shalat kita, pada saat terjadi gerhana matahari"17

Dengan hadith:

ان النبي صلى الله عليه وسلم جهر في صلاة الكسوف بقراءته وصلى أربع ركعات فى ركعتين أربع سجدات

"Bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya dalam shalat gerhana matahari. Beliau shalat dua rakaat dengan empat ruku' dan empat sujud".18

Hadith pertama menunjukkan bahwa cara m,elakukan shalat gerhana adalah dengan satu kali ruku' dan satu kali berdiri (i'tidal) sebagaimana shalat fardhu. Hadith kedua menunjukkan bahwa cara melaksanakan shalat gerhana adalah dengan dua kali ruku' dan dua kali berdiri (i'tidal) dalam setiap rakaat.

Mayoritas ulama lebih mengunggulkan hadith kedua, berdasarkan alasan bahwa hadith tersebut didukung oleh banyak sanad, termasuk riwayat Bukhari Muslim dalam kitab shahihnya. Sebagian ulama lain mengkompromikan kedua hadith ini dengan melihat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Karena gerhana terjadinya berkali-kali, maka boleh melaksanakan shalat gerhana dengan salah satu cara yang telah tersebut di atas.

Syarat-Syarat al-Ta'arud

Selanjutnya, Dr. Muhammad Wafaa memberikan batasan-batasan tentang terjadinya al-Ta'arud dengan syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal dan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena bila tidak saloing berlawanan, maka tidak ada pertentangan.
  2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh (halal)-nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu si istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar dua hukum yang saling berlawanan. Karena orang yang menerima hukum halal dan haram berbeda.
  3. Masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan terswebut sama. Karena mungkin saja terdapat dua ketentuan hukum yang saling bertentangan dalam obyek yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti, khamr dihalalkan pada masa permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah masa menstruasi (haid) dan diharamkan menggaulinya pada masa menstruasi.
  4. Hubungan kedua dalil yagng saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek dan masa, namun hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebut bagi laki-laki lain selain suaminya.
  5. Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur'an dengan hadith ahad, karena dari segi asal (tsubut)-nya al-Qur'an adalah qath'i sedang hadith ahad dzanni. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara hadith mutawatir dengan hadith ahad. Hadith mutawatir harus harus lebih diutamakan, karena dari segi dhalalahnya, hadith mutawatir lebih kuat dari hadith ahad. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara nash dan dhahir, karena nash penunjukannya bersifat qath'i dan dhahir bersifat dzanni. Karenanya nash harus lebih diutamakan daripada dhahir.19

Metode menghilangkan Ta'arud al-Hadith

Ilmu yang membahas dan mengkaji hadith-hadith yang tampaknya saling bertentangan di sebut dengan ilmu Mukhtalif al-Hadith wa Mushkiluh. Dr. Muhammad 'Ajaj al-Khatib mendefinisikan ilmu ini dengan:

العلم الذي يبحث في الأحاديث آلتي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينه كما يبحث فى الأحاديث التي يشكل فهمها أو تصورها فيدفع أشكالها ويوضح حقيقتها

"Ilmu yang nmembahas hadith-hadith yang tamaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping membahas
hadith yang sulit di pahami dan di mengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakekatnya".20

Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu ini sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah SAWwafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadith, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadith yang tampaknya saling bertentangan dan menghjilangkan kesulitan dalam memahaminya.

Dalam menghilangkan ta'arudul hadith, para ulama sepakat menggunakan beberapa metode berikut ini.

Jam'u (mengkompromikan)

Definisinya adalah:

التوقف بين الدليلين المتعارضين على وجه يزيل تعارضهما 

"Menyelaraskan atau menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan suatu cara yang dapat menghindarkan pertentangan tersebut (sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya dan atau dapat diamalkan secara bersama-sama)".21

Macam-macam jama':

Mentakhshis 'Am-nya

Dalam kitab "al-Minhaj" dan syarahnya, menurut madzab Syafi'iyah, apabila terjadi pertentangan antara lafad 'am dan khash, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin salah satunya lebih khash (khusus) daripada lainnya secara mutlak. Kedua, mungkin ke-'am-annya dan ke-khash-annya hanya terletak pada satu sisi saja.

Apabila kondisi pertama terjadi maka lafad khash lebih diunggulkan dan diamalkan daripada lafad 'am-nya. Karena lafad khash masih dapat merealisasikan apa yang terkandung dalam lafad 'am. Mengamalkan lafad khash berarti mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafad 'am berarti mengamalkan ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafad khash.

Apabila kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka itulah yang diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka seorang mujtahid dapat memilih mana diantara keduanya yang diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan. Contoh, hadith nabi:

"Barangsiapa yang lupa melaksanakan shalat, maka shalatlah di kala ingat".22

Bersamaan dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu karahah (Makruh).23 Apabila ditinjau hadith pertama bersifat umum. Namun bila ditinjau dari segi shalatnya, hadith ini bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian shalat saja, yaitu shalat qadla' Apabila ditinjau dari segi shalatnya, maka hadith kedua bersifat umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka hadith kedua bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu waktu makruh. Dari sinilah madzab Syafi'i mengunggulkan hadith pertama. Sehingga mereka memperbolehkan mengqada' shalat yang tertinggal pada waktu karahah.

Mentaqyid muthlaq-nya

Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafad muthlaq dapat dipahami secara muqayyat. Artinya, lafad muthlaq yang terdapat pada salah satu hadith yang bertentangan harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadith satunya. Sebagaimana contoh hadith yang berarti:

Dari Nafi' dari Umar ra. Bahwasanya rasulullah SAW. Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau gandum kepada setiap muslim yang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.24

Bukhari juga meriwayatkan hadith lain tanpa menyebutkan lafad: "setiap muslim". Turmudzi berkata,

Lebih dari satu rawi yang meriwayatkan hadith tersebut dengan tanpa menyebut lafad setiap muslim.

Dalam kedua hadith tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitrah, dan ketentuan hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitrah. Mutlaq dan muqayyadnya terdapat pada sebab hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya (muzakki). Pada hadith pertama, wajib zakat dibatasi dengan sifat Islam (muslim), sedang hadith kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan sifat tersebut. Artinya, lafad mutlaq yang terdapat pada hadith kedua harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadith pertama. Sehingga zakat fitrah tidak diwajibkan kecuali pada orang muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya ulama berperndapat bahwa zakat tidak diwajibkan kepada selain orang Islam. Begitu pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang non Islam.

Nasakh (Menggugurkan salah satunya)

Dengan menggunakan pertimbangan:

  • Salah satu nash yang datang terakhir diketahui secara konkret sehingga dalil (hadith) yang terakhir bisa menasakh dalil (hadith) yang awal.
  • Bila tidak dapat diketahui mana yang awal dan mana yang akhir maka dicarikan dalil pendukung bagi keduanya sehingga dapat diketahui kekuatan hukum diantara keduanya dan yang paling kuat dipilh.
  • Memilih salah satunya dengan jalan mentarjihnya.25

Tarjih

Al-Amidi mendefinisikan tarjih dengan

اقتران أحد الصالحين للدلالة على المطلوب مع تعارضهما بما يوجب العمل به وإهمال الأخر

"Membandingkan salah satu dari dua dalil yang patut dijadikan dasar hukum yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang mengharuskannya untuk diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya".26

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengamalkan dalil yang lebih unggul adalah wajib bila dihubungkan dengan adanya dalil yang tidak unggul (lemah), karena dalil yang lemah tidak boleh diamalkan, baik pengunggulan (tarjih) tersebut bersifat qath'i maupun dzanni. Wajib mengutamakan dalil yang lebih unggul dari dua dalil dzanni yang saling bertentangan jika ada unsur yang mengutamakannya. Sebagaimana mereka lebih mengunggulkan hadith yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Tentang wajibnya mandi jinabah, sekalipun bukan karena telah melakukan coitus, yaitu hadith:

الماء من الماء 

"Kewajiban mandi (besar) itu karena keluarnya air (sperma)".27

Alasan ditarjihnya hadith ini adalah karena istri-istri Nabi SAW. Lebih tahu terhadap perbuatan beliau daripada orang lain. Para ulama juga lebih mengutamakan hadith yang dfiriwayatkan oleh Aisyah ra. Berikut ini:

Bahwasanya Nabi SAW. Pernah mandi jinabah pada pagi hari saat beliau berpuasa"28

Daripada hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

Bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: "Barangsiapa pada saat terbit fajar (pagi hari) dalam keadaan jinabah maka puasanya tidak sah".29

Adapun pentarjih-an hadith, para ahl Ushul memberikan beberapa pertimbangan di dalamnya, meliputi:

  1. Tarjih berdasarkan keadaan perawi
    • Tarjih berdasarkan jumlah rawi
    • Tarjih berdasarkan keluhuran rawi
    • Tarjih berdasarkan kefaqihan rawi
    • Tarjih berdasarkan pengetahuan rawi dalam Bahasa Arab
    • Tarjih berdasarkan kelebihan pengetahuan dalam Ilmu Fiqh dan Bahasa Arab
    • Tarjih berdasarkan kesempurnaan Akidah rawi
    • Tarjih berdasarkan rawi sebagai pelaku peristiwa
    • Tarjih berdasarkan seniortitas rawi
    • Tarjih berdasarkan kedhabithan rawi
    • Tarjih berdasarkan kemasyhuran sifat adil dan tsiqah rawi
    • Tarjih berdasarkan nama rawi
    • Tarjih berdasarkan keadaan saat menerima hadith
    • Tarjih berdasarkan adanya hubungan langsung antara rawi dengan riwayatnya
    • Tarjih berdasarkan masa keis;laman rawi
    • Tarjih berdasarkan keadaan riwayat
    • Tarjih berdasarkan cara penerimaan hadith
    • Tarjih berdasarkan kepribadian rawi
    • Tarjih berdasarkan cara (dasar) periwayatan
    • Tarjih berdasarkan pergaulan
  2. Tarjih berdasarkan usia periwayatan rawi
  3. Tarjih berdasarkan tata cara periwayatan
  4. Tarjih berdasarkan waktu periwayatan
  5. Tarjih berdasarkan redaksi hadith
  6. Tarjih berdasarkan kandungan hukum hadith
  7. Tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal30

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, terdapat beberapa kesimpulan berkaitan dengan ta'arudul hadith yang dapat dijadikan pelajaran:

  1. Bahwa Ta'arud al-Hadith adalah dua hadith atau lebih yang secara lahiriah terlihat bertentangan dalam pernyataannya.
  2. Pertentangan dalam dalil-dalil syara' tersebut pada hakekatnya tidak terjadi karena dalil-dalil tersebut datang dari Allah.
  3. Dalam Istimbath al-Hukm, seorang mujtahid membutuhkan penguasaan Ilm Mukhtalif al-Hadith wa Musykiluh (Ilmu yang mempelajari Ta'arud al-Hadith)
  4. Dalam menghilangkan ta'arud al-Hadith terdapat metode Jam'u (mengkompromikan) dan Tarjih.
  5. Metode Jam'u dan Tarjih, membutuhkan beberapa persyaratan dan pertimbangan-pertimbangan tersendiri.

Bibliografi

Abdurrahman, M.,
Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000),
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim,
Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3, Bairut: Dar al-Ma'rifah, tt.
Ash-Shiddieqy,M. Hasbi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Al-Bukhari, 'Alauddin ibn Abd al-Aziz,
Kasyfu al-Asrar 'an Ushul al-Bazdawi juz 3, Bairut: Dar al-Kutub al-'Arabi, 1974.
Al-Khatib, Muhammad 'Ajaj, Dr.,
Ushul al-Hadith, terj. Dr. H.M Qadirun Nur Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Al-Shan'ani, Muhammad ibn Ismail,
Subul al-Salam juz 1, Mesir: Musthafa al-Halabi, 1960
Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad,
Nail al-Authar juz 8, Kairo, tt.
Team Pustaka,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Wafaa, Muhammad, Dr.,
Ta'arud al-Adillati al-Syar'iyati min al-Kitabi wa al-Sunnati wa al-Tarjihu Bainaha, Terj. Muslich, S., Bangil, Al-Izzah, 2001.
Al-Zubaidi, Muhibuddin Abi Faidhial-Sayyid Muhammad Murtadha,
Taj al-'Arusi min Jawahiri al-Qamusi, Kairo: Mathba'ah al-Khairiyah bi Jamaliyah, 1306 H.

1 Kodifikasi hadith mencapai puncaknya pada abad III Hijriyah. Banyak karya-karya monumental bermunculan, seperti al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Abu Dawud (w. 316 H), al-Tirmizi (w. 279 H), al-Nasa'i (w. 302 H) dan Ibnu Majah (w. 273 H). Proses pencarian hadith terus berlangsung sampai abad ke-VI meskipun tidak lagi intensif. Lihat M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000),5-6, dan Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 72.

2 Hadith sejak masa pertumbuhannya hingga sekarang telah mengalami 7 periode perkembangan:

  • Masa wahyu dan pembentukan hukum (masa Rosul)
  • Masa pembatasan riwayat (masa Khulafa al-Rasyidin)
  • Masa perkembangan riwayat (masa sahabat kecil dan tabi'in besar )
  • Masa pembukuan hadith
  • Masa pen-tashih-an hadith
  • Masa menapis kitab-kitab hadith dan menyusun kitab-kitab jami' yang khusus
  • Masa membuat syarh, membuat kitab tahrij, mengumpulkan hadith-hadith hukum dan membuat kitab-kitab jami' umum serta membahas kitab-kitab hadith zawaid.

Lihat M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 46-47.

3 Berdasarkan klasifikasi Ibnu Hajar al-Asqalani ada 12 tabaqat periwayatan hadith dimulai dari masa shahabat hingga akhir pada masa periwayatan. Klasifikasi tabaqat ini didasarkan pada kelompok yang memiliki riwayat dalam al-kutub al-Sittah. Lihat Team Pustaka, Membahas...,

4 Dr. Muhammad Wafaa, Ta'arud al-Adillati al-Syar'iyati min al-Kitabi wa al-Sunnati wa al-Tarjihu Bainaha, Terj. Muslich, S.Ag (Bangil, Al-Izzah, 2001), 1.

5 Q.S an-Najm: 3-4

6 Q.S al-Ahzab: 21.

7 Q.S an-Nisa': 82.

8 Muhibuddin Abi Faidhial-Sayyid muhammad Murtadha al-Zubaidi, Taj al-'Arusi min Jawahiri al-Qamusi (Kairo: Mathba'ah al-Khairiyah bi Jamaliyah, 1306 H),48.

9 Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith fi al-Ushul juz 3, 251. Lihat juga Ta-arud al-adillati..., terj. 25.

10 Ibid.,

11 Syaikh 'Alauddin ibn Abd al-Aziz al-Bukhari, Kasyfu al-Asrar 'an Ushul al-Bazdawi juz 3 (Bairut: Dar al-Kutub al-'Arabi, 1974), 76.

12 Ta'arud al-Adillati...,terj. 35-73.

13 HR. Muslim dan lainnya dari Zaid ibn Khalid al-Juhni (Lihat: Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Kairo: tt., Nailu al-Authar juz 8),33.

14 HR. Bukhari dan Muslim dari Imran ibn Hushain (Lihat ibid).

15 HR. Jama'ah dari Ubadah ibn Shamit (Jama'ah adalah 7 imam dan Imam Ahmad).

16 Diriwayatkan oleh Thabrani dari Abi Said al-Khudri. Diantara perawi hadith tersebut ada Harun al-Abdi, ia matruk. Disebutkan dalam Muntaqa al-Akhbar bahwa hadith tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi namun semuanya lemah.

17 Jami' al-Ushul juz 6, 186 hadith ke 4281. Ibn Abi Hatim mengatakan hadiyh ini cacat karena terputus (Lihat Nail al-Authar juz 3, 376)

18 Nail al-Authar juz 3, 376.

19 Dr. Muhammad Wafa, Ta'arud al-Adillati..., terj.,68-71

20 Dr. Muhammad 'Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, terj. Dr. H.M Qadirun Nur (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 254.

21 Ushul al-Hadith, terj. 126.

22 HR. Bukhari Muslim dan lainnya dari Anas ibn Malik (Lihat: Nail al-Authar juz 2), 28 .

23 Dari Uqbah ibn Amr, ia berkata: Rasulullah SAW melarang kita melakukan shalat atau mengubur jenazah dalam tiga waktu: ketika matahari terbit hingga agak tinggi, ketika matahari mencapai titik kulminasi hingga tergelincir dan matahari terbenam". (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan urmudzi) Lihat Nail... juz 3, 104.

24 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3 (Bairut: Dar al-Ma'rifah, tt), 369.

fn25. Ta'arud..., terj., 101.

26 Ta'arud..., terj., 183.

27 Lihat al-Shan'ani Muhammad ibn Ismail, Subul al-Salam juz 2, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1960), 84.

28 HR. Bukhari, Muslim dan lainnya, dari Aisyah dan Ummi Salamah ra.Bahwasanya Nabi SAW.(pernah) berhadath besar pagi-pagi karena melakukan kewajiban sebagai suami yang tanpa mengeluarkan sperma, kemudian beliau melanjutkan puasa ramadhannya. (Lihat Jami' al-Ushul juz 6), 383 hadith ke 4567.

29 Ibid, 384 hadith ke 4567.

30 Lihat Dr. Muhammad Wafaa, Ta'arud..., Terj.,196-276.

--
Follow me on twitter : http://twitter.com/nugraha212

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
  Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---