pak hadi,
Berikut artikel bahwa niat itu adanya dalam hati,
semoga bermanfaat
jika ada pendapat silahkan dikemukakan
LAFADZ / BACAAN NIAT
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/9999
--------------------------------------------------------------------------------
Masalah hukum niat adalah wajib berasal dari hadist "innamal 'amalu bin
niyyati" (sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung dari niatnya), yg
diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai dasar pengerjaan suatu amal. Dan semua
ulama sepakat bahwa niat sebelum melakukan amal perbuatan ibadah adalah
wajib !
Tetapi yg dipermasalahkan adalah apakah MELAFADZKAN NIAT atau BACAAN NIAT itu
disyari'atkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, serta diikuti oleh
para sahabat dan ulama salaf ?
A. SIAPA PENGGAGAS LAFAZ NIAT?[1]
Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi'i, hal ini karena
Abu Abdillah Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi'I telah
menyangka bahwa Imam Asy Syafi'i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan
niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan
Imam Syafi'i yakni redaksi sebagai berikut:" Jika seseorang berniat menunaikan
ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak seperti
shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi
dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah
takbir) [al Majmuu' II/43]
An Nawawi (seorang ulama pembesar mazhab Syafi'i) berkata:"Beberapa rekan kami
berkata:"Orang yang mengatakan hal itu telah keliru.Bukan itu yang dikehendaki
oleh As Syafi'I dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat,melainkan yang dimaksud
dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu' II/43; lihat juga al
Ta'aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi berkata :"Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4
(mazhab), tidak juga Imam Syafi'i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz
niat.Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya saja sebagian
ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat.Dan
pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi'i.Imam An Nawawi rahimahullahu
berkata :"Itu tidak benar" (Al Itbaa' :62)
Ibn Qoyyim berkata :"Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak
mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak
mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama
sekali.Beliau juga tidak mengucapkan :
ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba'a raka'at imaaman aw
ma'muuman (artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena
Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka'at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan
adaa'aa atau qadhaa'an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha').
Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat.
Semua itu adalah bid'ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan
sanad yang sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi
yang gugur dalam sanadnya).Bahkan tidak juga dinukil dari seorang sahabat
nabi,para tabi'in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan
perkataan Imam Syafi'I radhiallahu anhu didalam masalah shalat.Redaksinya
sebagai berikut:
"Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa.Tidak ada seorangpun yang akan
memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR."
Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat.Padahal yang
dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan kata dzikir disini adalah TAKBIRATUL
IHRAM.Bagaimana mungkin Imam Syafi'I mensunahkan sesuatu yang tidak pernah
dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,tidak juga oleh para
khulafa'nya, dan para shahabatnya.Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang
mereka ajarkan,jika memang ada seseorang membawa berita satu huruf saja yang
berasal dari beliau,maka kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang
lebih sempurna dari petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil
dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma'aad I/201;Ighatsatul
Lahfaan I/136-139;I'laamul Muwaqqi'iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri [2] berkata :
"Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur'an dan Sunnah,
tidak pula dari ijma' dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk
perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran
Rasululloh Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam
segala amalan, yaitu hadist beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya
seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap
orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan."
Maksudnya bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan
ataupun mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau
bahwa beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak
shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan : "Sengaja aku berpuasa
di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…" dan
mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat
tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama
salaf, sebagai orang-orang yg mengerti dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam serta mereka adalah para mufassirin (penafsir)
makna ayat qur'an maupun hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini
secara umum meliputi niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).
B. HAKEKAT NIAT
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu'atur Rasaaili Kubra
I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar
kesepakatan para imam Muslimin dalam semua ibadah : bersuci (thaharah),
shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad dan yang
lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan
dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa
yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan
niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belum mencukupi menurut
kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan
dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di
dalam kitab 'Ighasatul Lahfan' bahwa : "Niat artinya ialah menyengaja dan
bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di
dalam hati, dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu
tidak pernah diberitakan dari Rasululloh Shalallahu 'alaihi wa sallam , begitu
juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini." [3]
Sedangkan hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN 'NAWAITU' (saya berniat).Ia
adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi
kadang-kdang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien,akan
mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik.Sebab ketika
hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk
cabang-cabang kebaikan.Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada
gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk menghadirkannya.Bahkan
dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah
payah. [4]
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri telah menjabarkan dgn panjang
untuk penjelasan hadist "innamal 'amalu binniyyati" dalam kitabnya "Fathul
Baari bi Syarh al-Bukhari" (kitab yg menjelaskan tentang sanad & syarh dari
hadist-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari), diantaranya yg bisa
diambil adalah :
"Amal perbuatan adalah tergantung niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn
sendirinya) membedakan apakah niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau
sunnah, dhuhur atau ashar, di qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah
masih perlu ditegaskan (kembali) jumlah rakaat sholat yang akan
dikerjakan ? ...Tapi pendapat yg kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan
jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yg berniat melakukan sholat
qashar, ia tidak perlu (lagi) menegaskan bhw jumlah rakaatnya adalah dua,
karena itu merupakan suatu hal yg pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah
dua !"
Dan beliau juga menjelaskan makna niat dari perkataan Imam Baidhawi : "Niat
adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan
manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yg membawa kpd
perbuatan yg diridhai Alloh dan mengamalkan segala perintah-Nya." [5]
1. MASALAH BACAAN NIAT DALAM SHOLAT
Masalah malafadzkan bacaan niat dalam sholat ini, tidak ada satu orang perawi
hadist pun dari 6 orang imam (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah) yang memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam
kitab "Musnad Ahmad" dan al-Hakim dalam kitab "Mustadrak", yang meriwayatkan
tentang bacaan niat sholat begini dan begitu, dan seterusnya dengan bermacam-
macam bacaan / lafadz sesuai dgn masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab 'Zaadul Ma'ad' :
"Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu 'alaihi wa sallambila berdiri untuk
bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu' lalu
bertakbir'Allohu Akbar', tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli
lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau
makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau
sebagainya." [6]
Kemudian beliau menambahkan : "Tidak mengucapkan apapun sebelumnya atau
melafadkan niatnya dan tidak pula hal tersebut dianjurkan oleh para tabi'in
atau imam para madzhab."
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam sholat dengan
berkata : "Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid'ah, tidak
ada yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal,
bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi'in yang
mengerjakannya." [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab Syafi'i) mengatakan di
dalam 'Raudhatu 'th-Thalibin' I/224, Al-Maktab Al-Islami : "Niat adalah
maksud. Orang yang shalat hendaklah menghadirkan di dalam ingatannya dzat
shalat itu sendiri dan sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah
dan Fardhiyah dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan
ini secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir." [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah
disebutkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah
seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : "Usholli
fardhu ... rak'ah Lillahi Ta'ala" atau ucapan sejenisnya.
Berkata : "Rasululloh Shalallahu 'alaihi wa sallam membuka sholat dengan kata-
kata'Allohu Akbar' (HR. Muslim dan Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat
sebuah isyarat bahwasannya ia belum pernah membuka sholat dengan ucapan
seperti yang mereka ucapkan 'Nawaitu an usholli…' (aku berniat sholat).
Bahkan telah disepakati bahwa hal ini adalah bid'ah. Dan mereka hanya
berselisih apakah bid'ah seperti itu baik atau buruk. Sedangkan kami
mengatakan bahwa setiap bid'ah di dalam ibadah itu adalah merupakan suatu
kesesatan.berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :"Setiap bid'ah
adalah sesat dan setiap sesat neraka tempatnya." [8]
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam 'Fiqqus Sunnah' bahwa : "Dan
ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci dan
sholat ini, telah dijadikan oleh syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-
orang yang diliputi was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran
tersebut, dan menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-
masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya,
pada hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara sholat." [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi'I (seorang pembesar
ulama mazhab Syafi'i), ia berkata : "Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum
tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan
(membuat bising) kepada jama'ah sholat, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang
mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya
dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta'ala tanpa didasari
ilmu. Al A'lam 3/194 [10]
Syaikh 'Alauddin Al 'Athhor , belau berkata : meninggikan (niat) suara hingga
menimbulkan kebisingan / gangguan kepada jam'ah sholat adalah haram secara
ijma', apabila tidak demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid'ah yang
keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya' , adalah haram dari 2
sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari
sunnah.Membenarkan (niat dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan
keyakinan demikian pada agama ini adalah kekufuran!!….dst. lih. Majmu Ar Rosail
al Kubro 1/254 [10]
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki, ia berkata : "Niat
termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya adalah bid'ah dan perbuatan itu juga
menganggu orang lain."[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, : "Apakah
seorang yang hendak shalat ada membaca sesuatu sebelum takbir ?" Beliau
menjawab, "Tidak ada !" [1]
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam madzhab Syafi'i) berkata, : "Juga
termasuk perbuatan bid'ah, adalah was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini
tidak dilakukan Rasululloh dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat
ketika shalat, melainkan hanya takbir." [1]
Imam Asy-SYAFI'I berkata : "Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan
tentang syariat atau kebodohan akal." [1]
Ibnu Jauzy berkata : "Diantara tipu daya iblis adalah menipu mereka dalam
niat shalat. Diantara mereka ada yang berkata, 'Sengaja aku shalat ini dan
ini,' kemudian ia mengulanginya lagi karena ia mengira niatnya telah batal,
padahal niatnya tidak gugur walaupun ia melafalkan apa yang tidak
dimaksudkannya."
2. MASALAH BACAAN NIAT DALAM SHAUM (PUASA) [11]
Sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam(yang artinya): "Barangsiapa yang
tidak berniat puasa pada malam harinya maka tidak ada puasa baginya." [HR An-
Nasa'I (4/196), Al-Baihqi (4/202), Ibnu Hazm (6/162)]
Niat itu tempatnya di hati, melafadzkannya adalah bid'ah yang sesat walaupun
manusia menganggapnya baik, kewajiban untuk berniat sejak malam itu khusus
bagi puasa wajib, karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah datang
ke Aisyah selain bulan ramadhan beliau berkata "Apakah engkau punya santapan
siang ? kalau tidak ada, aku berpuasa". [HR Muslim/1154]
Hal in juga dilakukan oleh para shahabat: Abu Darda', Abu Thalhah, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu 'anhum kita dibawah
bendera sayyidnya bani Adam.
Ini berlaku dalam puasa sunnah menunjukan wajibnya niat di malam hari sebelum
terbit fajar dalam puasa wajib, Wallahu Ta'ala A'lam.
3. MASALAH MELAFAZKAN NIAT DALAM HAJI DAN UMRAH [12]
Adapun melafadzkan niat hanya ada dalam ibadah Haji atau Umrah, itupun
hadistnya tidak shahih, sehingga lafadz niat yg diucapkan dihukumi sebagai
sunnah hanya pada kondisi apabila seseorang sedang menghajikan orang lain
(badal haji). Untuk keterangan lebih lengkap bisa dibaca sedikit fatwa dr
Syaikh Ibnu Utsaimin dibawah ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:Apakah boleh melafazkan niat
untuk melaksanakan umrah, haji, thawaf, atau sa'i?Dan kapan boleh mengucapkan
niat ?
Jawaban: Melafazkan niat tidak terdapat keterangan dari Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam baik dalam shalat (fardhu maupun sunnah),
thaharah, puasa, bahkan dalam semua ibadah yang dilakukan Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam termasuk haji dan umrah. Nabi Shalallahu 'alaihi
wa sallam ketika ingin haji atau umrah tidak mengatakan : "Ya Allah, saya niat
ingin demikian dan demikian".
Tidak terdapat riwayat dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam demikian itu dan
beliau juga tidak pernah memerintahkan kepada seorang pun dari sahabatnya".
Yang ada dalam hal ini hanya bahwa Dhaba'ah binti Zubair, semoga Allah
meridhainya, mengadu kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia ingin
haji dan dia sakit. Maka Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya :
"Artinya : Berhajilah kamu dan syaratkan, bahwa tempatku ketika aku tertahan.
Sebab yang dinilai oleh Allah untukmu, apa yang kamu kecualikan"
[Muttafaqun 'Alaihi]
Sesungguhnya perkataan di sini dengan lisan. Sebab akad haji sama dengan
nadzar. Dan bila manusia niat untuk bernazdar dalam hatinya maka demikian itu
bukan nadzar dan tidak berlaku hukum nadzar. Karena haji seperti nadzar dalam
keharusan menepatinya jika telah merencanakannya (niat), maka Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Dhaba'ah untuk mensyari'atkan
dengan mengatakan : "Jika aku terhalang oleh halangan apapun, maka tempatku
ketika aku terhalang". Adapun hadits yang menyatakan Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wa Sallam bersabda : "Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan
berkata : "Shalatlah kamu di lembah yang diberkati Allah ini, dan
katakanlah : " Umrah dalam haji atau umrah dan haji".
Maka demikian itu bukan berarti bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam
mengucapkan niat. Tetapi maknanya bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam
menyebutkan manasiknya dalam talbiyahnya. Karena Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa
Sallam tidak pernah mengucapkan niat. Talbiyah sebagaimana dilakukan orang-
orang yang haji dan umrah, yaitu :
"Artinya : Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah
dan tiada sekutu apapun bagi-Mu. Sesungguhnya puji, nikmat dan kekuasaan hanya
bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu. Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Aku
penuhi panggilan-Mu ya Allah, Rabb kebenaran"
Tempat niat di dalam hati, bukan di lisan. Adapun bagaimana cara niat haji
karena mewakili orang lain ? Caranya adalah agar sesorang niat dalam hatinya
bahwa dia akan haji atas nama fulan bin fulan. Demikian itulah niat.
Namun untuk itu dia disunnahkan melafazkan seperti dengan mengatakan :Labbaik
Allahumma Hajjan an Fullan " (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji
atas nama fulan), atau "Labbaik Allahumma 'Umratan 'an Fulan " (Ya Allah, aku
penuhi panggilan-Mu untuk umrah atas nama Fulan) hingga apa yang ada dalam
hati dikuatkan dengan kata-kata. Sebagaimana para sahabat juga melafazkan
demikian itu seperti diajarkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallamdan
mereka mengeraskan suara mereka. Ini adalah sunnah.
Dan dalam suatu riwayat dikatakan,bahwa Abdullah bin Umar mendengar seseorang
berkata ketika sedang berihram:"Ya Allah,sesungguhnya hamba ingin melakukan
haji dan umrah."Maka Ibnu Umar berkata kepadanya:"Apakah engkau memberitahukan
(niatmu) itu kepada orang lain? Dan bukankah Allah lebih mengetahui isi hatimu?
Padahal niat itu adalah kehendak hati dan tidak wajib dilafazkan dalam
beribadat." (riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jami'ul
Uluum wal Hikam:19) [4]
--------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah
Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual
Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2."Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar'iyah" (edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-
Fatwa Syar'iyah oleh Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman Al-
Mishri, terbitan Pustaka At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. "Ighasatul Lahfan", Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. "Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan
Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr. Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu Abi
Laila, hal 18 & 20.
5. "Fathul Baari bi Syarh Shahih al-Bukhari",(edisi Indonesia) Penjelasan
Kitab Shahih Bukhari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk
Abdul Aziz Abdullah bin Baz
6. "Zaadul Ma'ad", hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi
Indonesia) Duta Ilmu
7. "Syahdzaratil Balatin min Thayyibati Kalimati Salafinash Shalihin –
Betulkah Sholat Anda", hal 98, Imam Ahmad bin Hambal, cet. ke-X, (edisi
Indonesia) Bulan Bintang
8. "Shifatu Sholati Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad
Nashruddin Al-Albani, Maktabah Al Ma'arif Riyadh
9. "Fiqqus Sunnah", Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al-
Ma'arif
10. Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An Nawawiyah , Fati' Muhammad Sulthan , hal
31 , cet. II/1410 H , Darul Hijroh Linnasyr wa Attazi' Riyadh.
11. "Sifat Puasa Nabi", oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)
Pustaka Al-Haura
12. "Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia", Penyusun
Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan Pustaka Imam Asy-
Syafi'i, hal 98 - 104, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc99
--------------------------------------------------------------------------------
Disusun kembali oleh:
Abu Ismail – Karang Tengah@2003
email: Apriadi27@...
--------------------------------------------------------------------------------
Masalah hukum niat adalah wajib berasal dari hadist "innamal 'amalu bin
niyyati" (sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung dari niatnya), yg
diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai dasar pengerjaan suatu amal. Dan semua
ulama sepakat bahwa niat sebelum melakukan amal perbuatan ibadah adalah
wajib !
Tetapi yg dipermasalahkan adalah apakah MELAFADZKAN NIAT atau BACAAN NIAT itu
disyari'atkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, serta diikuti oleh
para sahabat dan ulama salaf ?
A. SIAPA PENGGAGAS LAFAZ NIAT?[1]
Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi'i, hal ini karena
Abu Abdillah Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi'I telah
menyangka bahwa Imam Asy Syafi'i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan
niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan
Imam Syafi'i yakni redaksi sebagai berikut:" Jika seseorang berniat menunaikan
ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak seperti
shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi
dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah
takbir) [al Majmuu' II/43]
An Nawawi (seorang ulama pembesar mazhab Syafi'i) berkata:"Beberapa rekan kami
berkata:"Orang yang mengatakan hal itu telah keliru.Bukan itu yang dikehendaki
oleh As Syafi'I dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat,melainkan yang dimaksud
dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu' II/43; lihat juga al
Ta'aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi berkata :"Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4
(mazhab), tidak juga Imam Syafi'i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz
niat.Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya saja sebagian
ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat.Dan
pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi'i.Imam An Nawawi rahimahullahu
berkata :"Itu tidak benar" (Al Itbaa' :62)
Ibn Qoyyim berkata :"Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak
mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak
mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama
sekali.Beliau juga tidak mengucapkan :
ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba'a raka'at imaaman aw
ma'muuman (artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena
Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka'at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan
adaa'aa atau qadhaa'an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha').
Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat.
Semua itu adalah bid'ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan
sanad yang sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi
yang gugur dalam sanadnya).Bahkan tidak juga dinukil dari seorang sahabat
nabi,para tabi'in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan
perkataan Imam Syafi'I radhiallahu anhu didalam masalah shalat.Redaksinya
sebagai berikut:
"Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa.Tidak ada seorangpun yang akan
memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR."
Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat.Padahal yang
dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan kata dzikir disini adalah TAKBIRATUL
IHRAM.Bagaimana mungkin Imam Syafi'I mensunahkan sesuatu yang tidak pernah
dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,tidak juga oleh para
khulafa'nya, dan para shahabatnya.Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang
mereka ajarkan,jika memang ada seseorang membawa berita satu huruf saja yang
berasal dari beliau,maka kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang
lebih sempurna dari petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil
dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma'aad I/201;Ighatsatul
Lahfaan I/136-139;I'laamul Muwaqqi'iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri [2] berkata :
"Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur'an dan Sunnah,
tidak pula dari ijma' dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk
perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran
Rasululloh Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam
segala amalan, yaitu hadist beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya
seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap
orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan."
Maksudnya bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan
ataupun mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau
bahwa beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak
shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan : "Sengaja aku berpuasa
di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…" dan
mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat
tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama
salaf, sebagai orang-orang yg mengerti dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam serta mereka adalah para mufassirin (penafsir)
makna ayat qur'an maupun hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini
secara umum meliputi niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).
B. HAKEKAT NIAT
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu'atur Rasaaili Kubra
I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar
kesepakatan para imam Muslimin dalam semua ibadah : bersuci (thaharah),
shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad dan yang
lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan
dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa
yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan
niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belum mencukupi menurut
kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan
dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di
dalam kitab 'Ighasatul Lahfan' bahwa : "Niat artinya ialah menyengaja dan
bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di
dalam hati, dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu
tidak pernah diberitakan dari Rasululloh Shalallahu 'alaihi wa sallam , begitu
juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini." [3]
Sedangkan hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN 'NAWAITU' (saya berniat).Ia
adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi
kadang-kdang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien,akan
mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik.Sebab ketika
hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk
cabang-cabang kebaikan.Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada
gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk menghadirkannya.Bahkan
dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah
payah. [4]
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri telah menjabarkan dgn panjang
untuk penjelasan hadist "innamal 'amalu binniyyati" dalam kitabnya "Fathul
Baari bi Syarh al-Bukhari" (kitab yg menjelaskan tentang sanad & syarh dari
hadist-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari), diantaranya yg bisa
diambil adalah :
"Amal perbuatan adalah tergantung niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn
sendirinya) membedakan apakah niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau
sunnah, dhuhur atau ashar, di qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah
masih perlu ditegaskan (kembali) jumlah rakaat sholat yang akan
dikerjakan ? ...Tapi pendapat yg kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan
jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yg berniat melakukan sholat
qashar, ia tidak perlu (lagi) menegaskan bhw jumlah rakaatnya adalah dua,
karena itu merupakan suatu hal yg pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah
dua !"
Dan beliau juga menjelaskan makna niat dari perkataan Imam Baidhawi : "Niat
adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan
manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yg membawa kpd
perbuatan yg diridhai Alloh dan mengamalkan segala perintah-Nya." [5]
1. MASALAH BACAAN NIAT DALAM SHOLAT
Masalah malafadzkan bacaan niat dalam sholat ini, tidak ada satu orang perawi
hadist pun dari 6 orang imam (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah) yang memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam
kitab "Musnad Ahmad" dan al-Hakim dalam kitab "Mustadrak", yang meriwayatkan
tentang bacaan niat sholat begini dan begitu, dan seterusnya dengan bermacam-
macam bacaan / lafadz sesuai dgn masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab 'Zaadul Ma'ad' :
"Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu 'alaihi wa sallambila berdiri untuk
bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu' lalu
bertakbir'Allohu Akbar', tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli
lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau
makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau
sebagainya." [6]
Kemudian beliau menambahkan : "Tidak mengucapkan apapun sebelumnya atau
melafadkan niatnya dan tidak pula hal tersebut dianjurkan oleh para tabi'in
atau imam para madzhab."
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam sholat dengan
berkata : "Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid'ah, tidak
ada yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal,
bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi'in yang
mengerjakannya." [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab Syafi'i) mengatakan di
dalam 'Raudhatu 'th-Thalibin' I/224, Al-Maktab Al-Islami : "Niat adalah
maksud. Orang yang shalat hendaklah menghadirkan di dalam ingatannya dzat
shalat itu sendiri dan sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah
dan Fardhiyah dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan
ini secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir." [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah
disebutkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah
seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : "Usholli
fardhu ... rak'ah Lillahi Ta'ala" atau ucapan sejenisnya.
Berkata : "Rasululloh Shalallahu 'alaihi wa sallam membuka sholat dengan kata-
kata'Allohu Akbar' (HR. Muslim dan Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat
sebuah isyarat bahwasannya ia belum pernah membuka sholat dengan ucapan
seperti yang mereka ucapkan 'Nawaitu an usholli…' (aku berniat sholat).
Bahkan telah disepakati bahwa hal ini adalah bid'ah. Dan mereka hanya
berselisih apakah bid'ah seperti itu baik atau buruk. Sedangkan kami
mengatakan bahwa setiap bid'ah di dalam ibadah itu adalah merupakan suatu
kesesatan.berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :"Setiap bid'ah
adalah sesat dan setiap sesat neraka tempatnya." [8]
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam 'Fiqqus Sunnah' bahwa : "Dan
ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci dan
sholat ini, telah dijadikan oleh syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-
orang yang diliputi was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran
tersebut, dan menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-
masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya,
pada hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara sholat." [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi'I (seorang pembesar
ulama mazhab Syafi'i), ia berkata : "Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum
tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan
(membuat bising) kepada jama'ah sholat, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang
mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya
dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta'ala tanpa didasari
ilmu. Al A'lam 3/194 [10]
Syaikh 'Alauddin Al 'Athhor , belau berkata : meninggikan (niat) suara hingga
menimbulkan kebisingan / gangguan kepada jam'ah sholat adalah haram secara
ijma', apabila tidak demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid'ah yang
keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya' , adalah haram dari 2
sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari
sunnah.Membenarkan (niat dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan
keyakinan demikian pada agama ini adalah kekufuran!!….dst. lih. Majmu Ar Rosail
al Kubro 1/254 [10]
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki, ia berkata : "Niat
termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya adalah bid'ah dan perbuatan itu juga
menganggu orang lain."[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, : "Apakah
seorang yang hendak shalat ada membaca sesuatu sebelum takbir ?" Beliau
menjawab, "Tidak ada !" [1]
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam madzhab Syafi'i) berkata, : "Juga
termasuk perbuatan bid'ah, adalah was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini
tidak dilakukan Rasululloh dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat
ketika shalat, melainkan hanya takbir." [1]
Imam Asy-SYAFI'I berkata : "Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan
tentang syariat atau kebodohan akal." [1]
Ibnu Jauzy berkata : "Diantara tipu daya iblis adalah menipu mereka dalam
niat shalat. Diantara mereka ada yang berkata, 'Sengaja aku shalat ini dan
ini,' kemudian ia mengulanginya lagi karena ia mengira niatnya telah batal,
padahal niatnya tidak gugur walaupun ia melafalkan apa yang tidak
dimaksudkannya."
2. MASALAH BACAAN NIAT DALAM SHAUM (PUASA) [11]
Sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam(yang artinya): "Barangsiapa yang
tidak berniat puasa pada malam harinya maka tidak ada puasa baginya." [HR An-
Nasa'I (4/196), Al-Baihqi (4/202), Ibnu Hazm (6/162)]
Niat itu tempatnya di hati, melafadzkannya adalah bid'ah yang sesat walaupun
manusia menganggapnya baik, kewajiban untuk berniat sejak malam itu khusus
bagi puasa wajib, karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah datang
ke Aisyah selain bulan ramadhan beliau berkata "Apakah engkau punya santapan
siang ? kalau tidak ada, aku berpuasa". [HR Muslim/1154]
Hal in juga dilakukan oleh para shahabat: Abu Darda', Abu Thalhah, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu 'anhum kita dibawah
bendera sayyidnya bani Adam.
Ini berlaku dalam puasa sunnah menunjukan wajibnya niat di malam hari sebelum
terbit fajar dalam puasa wajib, Wallahu Ta'ala A'lam.
3. MASALAH MELAFAZKAN NIAT DALAM HAJI DAN UMRAH [12]
Adapun melafadzkan niat hanya ada dalam ibadah Haji atau Umrah, itupun
hadistnya tidak shahih, sehingga lafadz niat yg diucapkan dihukumi sebagai
sunnah hanya pada kondisi apabila seseorang sedang menghajikan orang lain
(badal haji). Untuk keterangan lebih lengkap bisa dibaca sedikit fatwa dr
Syaikh Ibnu Utsaimin dibawah ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:Apakah boleh melafazkan niat
untuk melaksanakan umrah, haji, thawaf, atau sa'i?Dan kapan boleh mengucapkan
niat ?
Jawaban: Melafazkan niat tidak terdapat keterangan dari Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam baik dalam shalat (fardhu maupun sunnah),
thaharah, puasa, bahkan dalam semua ibadah yang dilakukan Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam termasuk haji dan umrah. Nabi Shalallahu 'alaihi
wa sallam ketika ingin haji atau umrah tidak mengatakan : "Ya Allah, saya niat
ingin demikian dan demikian".
Tidak terdapat riwayat dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam demikian itu dan
beliau juga tidak pernah memerintahkan kepada seorang pun dari sahabatnya".
Yang ada dalam hal ini hanya bahwa Dhaba'ah binti Zubair, semoga Allah
meridhainya, mengadu kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia ingin
haji dan dia sakit. Maka Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya :
"Artinya : Berhajilah kamu dan syaratkan, bahwa tempatku ketika aku tertahan.
Sebab yang dinilai oleh Allah untukmu, apa yang kamu kecualikan"
[Muttafaqun 'Alaihi]
Sesungguhnya perkataan di sini dengan lisan. Sebab akad haji sama dengan
nadzar. Dan bila manusia niat untuk bernazdar dalam hatinya maka demikian itu
bukan nadzar dan tidak berlaku hukum nadzar. Karena haji seperti nadzar dalam
keharusan menepatinya jika telah merencanakannya (niat), maka Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Dhaba'ah untuk mensyari'atkan
dengan mengatakan : "Jika aku terhalang oleh halangan apapun, maka tempatku
ketika aku terhalang". Adapun hadits yang menyatakan Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wa Sallam bersabda : "Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan
berkata : "Shalatlah kamu di lembah yang diberkati Allah ini, dan
katakanlah : " Umrah dalam haji atau umrah dan haji".
Maka demikian itu bukan berarti bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam
mengucapkan niat. Tetapi maknanya bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam
menyebutkan manasiknya dalam talbiyahnya. Karena Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa
Sallam tidak pernah mengucapkan niat. Talbiyah sebagaimana dilakukan orang-
orang yang haji dan umrah, yaitu :
"Artinya : Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah
dan tiada sekutu apapun bagi-Mu. Sesungguhnya puji, nikmat dan kekuasaan hanya
bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu. Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Aku
penuhi panggilan-Mu ya Allah, Rabb kebenaran"
Tempat niat di dalam hati, bukan di lisan. Adapun bagaimana cara niat haji
karena mewakili orang lain ? Caranya adalah agar sesorang niat dalam hatinya
bahwa dia akan haji atas nama fulan bin fulan. Demikian itulah niat.
Namun untuk itu dia disunnahkan melafazkan seperti dengan mengatakan :Labbaik
Allahumma Hajjan an Fullan " (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji
atas nama fulan), atau "Labbaik Allahumma 'Umratan 'an Fulan " (Ya Allah, aku
penuhi panggilan-Mu untuk umrah atas nama Fulan) hingga apa yang ada dalam
hati dikuatkan dengan kata-kata. Sebagaimana para sahabat juga melafazkan
demikian itu seperti diajarkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallamdan
mereka mengeraskan suara mereka. Ini adalah sunnah.
Dan dalam suatu riwayat dikatakan,bahwa Abdullah bin Umar mendengar seseorang
berkata ketika sedang berihram:"Ya Allah,sesungguhnya hamba ingin melakukan
haji dan umrah."Maka Ibnu Umar berkata kepadanya:"Apakah engkau memberitahukan
(niatmu) itu kepada orang lain? Dan bukankah Allah lebih mengetahui isi hatimu?
Padahal niat itu adalah kehendak hati dan tidak wajib dilafazkan dalam
beribadat." (riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jami'ul
Uluum wal Hikam:19) [4]
--------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah
Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual
Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2."Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar'iyah" (edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-
Fatwa Syar'iyah oleh Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman Al-
Mishri, terbitan Pustaka At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. "Ighasatul Lahfan", Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. "Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan
Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr. Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu Abi
Laila, hal 18 & 20.
5. "Fathul Baari bi Syarh Shahih al-Bukhari",(edisi Indonesia) Penjelasan
Kitab Shahih Bukhari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk
Abdul Aziz Abdullah bin Baz
6. "Zaadul Ma'ad", hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi
Indonesia) Duta Ilmu
7. "Syahdzaratil Balatin min Thayyibati Kalimati Salafinash Shalihin –
Betulkah Sholat Anda", hal 98, Imam Ahmad bin Hambal, cet. ke-X, (edisi
Indonesia) Bulan Bintang
8. "Shifatu Sholati Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad
Nashruddin Al-Albani, Maktabah Al Ma'arif Riyadh
9. "Fiqqus Sunnah", Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al-
Ma'arif
10. Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An Nawawiyah , Fati' Muhammad Sulthan , hal
31 , cet. II/1410 H , Darul Hijroh Linnasyr wa Attazi' Riyadh.
11. "Sifat Puasa Nabi", oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)
Pustaka Al-Haura
12. "Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia", Penyusun
Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan Pustaka Imam Asy-
Syafi'i, hal 98 - 104, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc99
--------------------------------------------------------------------------------
Disusun kembali oleh:
Abu Ismail – Karang Tengah@2003
email: Apriadi27@...
Whe~en
http://wheen.blogsome.com/
"Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS 20 : 25-28)
"Ya Allah jadikan Aku hamba yang selalu bersyukur dan penyabar"
http://wheen.blogsome.com/
"Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS 20 : 25-28)
"Ya Allah jadikan Aku hamba yang selalu bersyukur dan penyabar"
----- Original Message -----
From: "Hadi nur" <i.bonk2000@gmail.com>
Sent: Sunday, August 09, 2009 10:05 PM
Subject: [Milis_Iqra] Re: Macam-Macam Bid'ah di Bulan Ramadhan
> Ah Mba Wheen apa apa semua Jadi 'Bid,ah semua yang orang lakukan kalau
> tidak sama dengannya jadi bid,ah . Padahal Posisi bid,ah bukan masuk
> pada lima hukum pokok
> HARAM_WAJIB_SUNAH_MAKRUH_MUBAH
>
> Misalnya Membangunkan orang untuk sahur dikatakan bid,ah masuk pada
> hukum Pokok yang mana apakah HARAM_WAJIB_SUNAH_MAKRUH_MUBAH ?
>
> Ada tidak larangan melafazkan niat dari hadist dan dari quran?
> Kemudian bagaimana memberitahu kan kepada anak anak kita tentang
> urusan niat ini kalau tidak boleh diLafazkan!
>
> Mohon maaf soalnya kita kita yang sering melafalkan niat ini hanya
> orang orang biasa yang ilmu tidak setinggi dan tidak semumpuni ilmunya
> Mba Wheen. Kalau kita ini kadang sudah dilafalkan saja masih suka
> lengah, maklum kita ini orang yang tingkatannya masih dibawah!
>
> Padahal Bab niat itu termasuk Bab yang penting dalam semua urusan
> sebab semua urasan tergantung pada niatnya!.......
>
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
No comments:
Post a Comment