Thursday, August 13, 2009

[Milis_Iqra] Re: RAHASIA DIBALIK DZIKIR JAHAR



Pada 13 Agustus 2009 15:08, Whe~en (gmail) <whe.en9999@gmail.com> menulis:
Benar dan salah dalam syari'at ini bukanlah ada di pendapat seseorang
tetapi mengacu kepada Al Qur'an dan Assunnah
tidak masalah untuk saling menghargai pendapat masing2 sepanjang benar benar dilaksanakan.
Saya tidak akan menyalahkan Ahen dengan pilihan yang AHen pilih.
bukankah masing masing dari kita akan dimintai pertanggungjawabannya sendiri sendiri?


 
 
saya cuma menyampaikan bahwa apa yang Ahen sampaikan soal redaksi bid'ah hasanah itu salah
dan saya sudah memberikan referensi pendukung kenapa saya bilang itu salah.
seseorang yang menyalahkan seseorang harusnya punya bukti kan kalau dia benar.
dan itulah yang saya lakukan
adapun hasilnya diterima atau tidak
terserah juga kepada yang menerima.
yang penting saya bukan menghujat tetapi ada kajian ilmiah kenapa salah kenapa benar
bukan menurut perasaan, bukan menurut pendapat.

Saya pun sudah menyertakan artikel tentang bid'ah itu. Orang yang anti biasanya langsung menunjuk suatu hal yang "disangkanya" baru itu bid'ah..bid'ah.. dan bid'ah...
Masalah referensi, tidak semua orang tahu secara gamblang dari suatu dalil, baik itu dari hadis maupun Al-Qur'an. Makanya muncul bermacam-macam tafsir dari para ulama terkemuka.
 Contoh :

"Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya"

(Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).

Apakah hadis di atas asli, palsu, atau hanya buatan seseorang ? Dalam satu contoh dalil seperti ini saja sudah ada 2 "pendapat". Malah ada yang berani terang-terangan menyatakan "salah" karena tidak sesuai dengan penafsirannya.

Kalau dilihat secara kasar, maksudnya tanpa ilmu-hanya dari kalimat, mana hubungannya dengan sedekah ?


saya kutipkan lagi :

diperlukan hal-hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman. Inilah makna sebenarnya dari ayat:


... الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا ...

"Hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian"


Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini. Semua hal baru, yang baik, termasuk dalam kerangka syariah, sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya. Alangkah sempurnanya Islam.


Namun tentunya hal ini tidak berarti membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw. Atau bahkan menghalalkan apa-apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau saw: "Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan ...". Inilah yang disebut Bid'ah Dhalalah.


Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar umat tidak tercekik dengan hal yang ada di zaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid'ah dhalalah).


Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits di atas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid'ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi'in.


Siapakah yang pertama memulai Bid'ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?

Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah), yang Huffadh (penghafal) Alqur'an dan Ahli Alqur'an di zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, berkata Abu Bakar Ash-Shiddiq ra kepada Zayd bin Tsabit ra:

"Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur'an. Lalu ia menyarankan agar aku (Abu Bakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Al Qur'an. Aku berkata, "Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?" Maka Umar berkata padaku, "Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan". Ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Engkau (Zayd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur'an dan tulislah Al Qur'an!"


Zayd menjawab:

"Demi Allah, sungguh bagiku diperintah (untuk) memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung (yang ada), tidaklah seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur'an. Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?"


Maka Abu Bakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur'an".


(Shahih Bukhari hadits no. 4402 dan 6768)


Bila kita perhatikan konteks di atas Abu Bakar Shiddiq ra mengakui dengan ucapannya, "Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar". Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid'ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al Qur'an, karena sebelumnya Al Qur'an tidak terkumpul dalam satu buku. Tetapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal. Penulisan Al Qur'an adalah Bid'ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.












 
 
[Whe~en]
Maksudnya adalah saya menyampaikan teks asli tersebut darimana hadits diambil, sedangkan pendapat yang saya maksud adalah AHen memforward pendapat seseorang yang tidak mengutip teks aslinya bagaimana.

Pendapat yang saya ambil bukankah disertai dengan teks aslinya ? Saya pun tidak brani asal comot saja.

 
Masalah ini jelas berbeda sekali dengan bacaan tahlil karena dari segi pengartian saja sudah ada yang tidak benar.

tidak benar apanya ? Bukankah tahlil itu = pengucapan Laailaahaillalloh ? Sama dengan tahmid itu hamdalah/alhamdulillah ?
Ini bukan ibadah baru, justru bacaan yang ada yang sudah diketahui fadhilahnya yang diamalkan.
 
Kalau tidak boleh menyalahkan, salah satu dari kita pastilah salah, karena tidak ada arti dua yang bertentangan untuk hadits tersebut.
Nach soal benar salahnya, biarlah kita serahkan kepada ahlinya.  terutama yang tahu soal bahasa arab bagaimana arti sebenarnya.
Kadang kadang memang kita tidak bisa ambil satu dalil terus diaplikasikan apalagi jika kita tidak tahu tafsirnya dan bagaimana kondisinya.
Itulah kenapa tidak sembarang orang bisa menjadi ulama menurut saya.  Banyak cabang ilmu agama yang harus dikuasai agar tidak jatuh kepada salah penafsiran. 

Nah itu... kembali lagi kan "kepada ahlinya". Siapa ? Ya para ulama/ustad/guru-guru yang lebih ahli daripada kita. Karena ilmu kita belum mampu untuk menafsirkan, apalagi berfatwa, yaaa sementara kita ikut yang sudah ahli tadi.
 

Saya setuju masalah tidak ada paksaan thd orang yg berbeda dalil dan pendapat. Intinya, kita cari persamaan, misalnya menyembah 1 Tuhan,sholat 5 waktu, dsb.
 
[Whe~en]  saya tidak sekedar mencari persamaan, perbedaan tidak akan saya hindari karena dari perbedaan saya tahu mana yang benar mana yang salah.
kalau semua sama saya malah bingung mana yang harus dipelajari. :-D :-D

kalau saya, perbedaan akan saya hindari. Bagi saya cukup mengetahui kalau si A berbeda dengan saya, ya sudah, saya cari persamaannya, perbedaannya jangan diungkit-ungkit lagi. Bisa panjang urusannya.
 


Lalu kalau kita tidak tahu, berarti diam saja ? Saya khawatir, kalau kita diam saja, salah, menanyakan ke orang yg lebih tahu dari kita juga salah, nanti disangka ikut pendapat orang.
Kalau begitu apa perannya ulama, para ustad yang lebih tahu dari kita ? Bukankah kita suka minta pencerahan ttg dalil, misalnya ?
{whe~en}
loch kan Allah memerintahkan bertanya
Qs An Nahl(16) : 43
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui
 
Cuma permasalahannya, ketika ada perbedaan, pernahkah kita membuka diri dengan mengkaji mana yang dalilnya shahih mana yang tidak, terlepas dari pendapat fulan bin fulan.
Imam Ahmad-pun yang Ilmunya leih banyak daripada kita melarang kita taqlid tapi tetap melihat darimana dalil tersebut diambil.
Imam syafiipun berkata bahwa jika dalilnya shahih itulah mahzab beliau
Imam malik berkata jika pendapatnya sesuai dengan Al Qur'an dan Assunnah boleh diambil yang tidak sesuai tidak boleh diambil



Naah.. ulama2 di atas bukankah termasuk si fulan juga ? Hanya karena namanya sangat masyhur, jadi kita tidak memanggilnya fulan. Bukankah yang disampaikan di atas itu pendapat para ulama juga ?
 
jadi tetap kedudukan hukum tertinggi adalah Al Qur'an dan Assunnah.
jadi bagaimana mungkin kita lebih memilih pendapat fulan bin fulan
 
Ya mungkin saja, kalau tidak, kenapa jadi banyak aliran, golongan dan perbedaan ?
 
yang harus diingat tentusaja ulama ada yang baik ada yang tidak.
Kita bisa lihat banyak ulama berbeda aliran.  Peran mereka tentusaja sangat besar untuk menerangkan kesahihan suatu dalil, berdasarkan Al Qur'an dan Assunnah.
Jika tidak bisa, apakah masih kita sebut ustadz? ulama? 

Justru itu, seperti yg saya sebutkan tadi, salah satu contohya "menerangkan keshahihan", ternyata, ada juga ulama yg berubah fikiran ? Dari yg tadinya berpendapat hadis ini dha'if, menjadi shahih, cuma saya lupa lagi hadis yang mana.

 
 
Nah, itu Mbak Wheen tau, kalau kita tidak tau, ya bertanya. Maksud pendapat yg sering saya kemukakan disini adalah tafsir atau syarah dari orang yg ilmunya sudah mampu dipakai utk menerangkan maksud suatu dalil. Jadi bukan pendapat pribadi
 
[whe~en]  Iya mas, tapi sayangnya satu hal yang kita lupakan, jaman dulu para sahabat dan generasi sesudahnya benar2 mengkaji dahulu apa penafsiran suatu dalil.  Meraka menafsirkan tidak menurut hawa nafsu mereka.  Karena para sahabat diajar langsung oleh Rasulullah, jadi mereka bisa bertanya kepada Rasulullah langsung, jadi buat saya, apa bisa menafsirkan sendiri? tanpa mengambil penafsiran dari para sahabat yang diajar lagsung oleh beliau?


Apa buktinya kalau para ulama menafsirkan suatu dalil dengan hawa nafsu ? Bukankah para ulama yang menafsirkan itu punya ilmu macam2, misalnya ilmu nahwu,shorof, bhalaghah, dan sebagainya, yang kita-sebagai orang awam, setidaknya sampai saat ini tidak punya ilmu2 tsb utk mendukung penafsiran suatu dalil ?

 


 Tentu saja tidak asal milih. Buktinya, dari 2 kubu yg berseberangan, jumlahnya tidak sedikit, lalu masing2 kubu punya argumen masing2.

[Whe~en] bukankah kebenaran dalam Islam bukan ditentukan oleh jumlah AHen?

Saya tidak bermaksud membenarkan suatu kubu dari segi jumlah, tapi, maksud saya, kalau memang dikatakan salah, kenapa sampai banyak orang ? Saya jadi teringat cerita antara 2 orang yg sedang di perjalanan, ketika tiba waktunya shalat, di tempat mereka berhenti tdk ada air, lalu, mereka pun tayamum. setelah sholat dan melanjutkan perjalanan, mereka menemukan air yg bisa dipakai berwudhu, sedangkan waktu sholat masih ada. Maka salah seorang diantara mereka mengambil keputusan utk melakukan sholat lagi, mungkin maksudnya agar lebih afdhal, sedangkan yang satunya lagi, tidak sholat, krn merasa tadi sudah sholat dgn bertayamum terlebih dahulu.
Ketika ditanyakan kepada nabi, orang yg sholat itu mendapat 2 pahala (mgkn dgn ijtihadnya), sedangkan yang 1 x sholat mendapat 1 pahala.
Tentu saja itu terjadi di jaman nabi, dimana beliau bisa dijadikan tempat/sandaran untuk bertanya. kalau sekarang tidak ada lagi nabi, kepada siapa lagi kita bertanya ?



 





--
Follow me on twitter : http://twitter.com/nugraha212

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
  Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

No comments:

Post a Comment