Sunday, September 13, 2009

[Milis_Iqra] Kapan Kita Lebaran ?

Kapan Kita Lebaran ?
Oleh : Armansyah

Penentuan awal bulan (bulan baru) ditandai dengan terlihatnya wujud
bulan seperti sabit untuk pertama kali setelah proses konjungsi atau
ijtimak. Ijtimak sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti
berkumpul. Dalam hal ini yang dimaksud Ijtimak adalah peristiwa dimana
Bumi, Bulan dan Matahari berada sejajar dalam garis meridian yang
sama. Ijtimak terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula
satu bulan sinodis. Setiap siklus 30 tahun pada sistem penanggalan
Hijriyah, maka 11 tahun dijadikan tahun kabisat (dimana pada tahun
kabisat ini bulan Dzulhijjah dijadikan 30 hari) sehingga jumlah hari
dalam satu tahunnya berjumlah 355 hari. Sistem penanggalan ini juga
memiliki 11 hari yang lebih cepat dari kalender Masehi, hal ini karena
sistem tersebut menggunakan siklus sinodis bulan. Satu kali putaran
sinodis dari bulan adalah 29.530588 hari atau tepatnya lagi adalah
selama 29 hari 12 jam 44 menit 03 detik.

Siklus sinodis bulan bervariasi. Usia bulan yang mencapai 30 hari
bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (terbitnya hilal) di titik
apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi dimana pada saat
yang bersamaan bumi justru berada pada jarak terdekatnya dengan
matahari (Perihelion). Sebaliknya, satu bulan yang berlangsung 29 hari
adalah tepat saat terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat
bulan dengan bumi) dengan bumi berada di titik terjauhnya dari
matahari (aphelion). Karena itulah seperti yang sudah kita singgung
tadi bila hari-hari dalam satu bulan Hijriyah selalu berubah-ubah (29
– 30 hari). Semua ini menyusaikan dengan kedudukan Bulan, Bumi dan
Matahari. Akibat dari peredaran bulan mengelilingi bumi maka permukaan
bulan yang bercahaya kelihatan berubah dari hari ke hari dari bentuk
sabit yang sangat halus bertambah menjadi lebih besar hingga menjadi
purnama dan kembali tampak mengecil menjadi seperti sabit halus lagi

Bila pada sistem Kalender Masehi yang menganut Solar Year (penanggalan
berbasis matahari) sebuah hari dan tanggal baru dimulai pada pukul
00.00 waktu setempat, namun pada sistem Kalender Hijriyah yang
menganut Lunar Year (penanggalan berbasis bulan) sebuah hari dan
tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut (kurang
lebih sekitar pukul 18:00). Pada saat terjadinya ijtimak, bulan tidak
dapat terlihat dari bumi, karena permukaan bulan yang nampak dari bumi
tidak mendapatkan sinar matahari. Dengan terbenamnya bulan sesaat
sesudah terbenamnya matahari dalam penglihatan dibumi dikenallah
istilah Bulan Baru. Sebagai konsekwensi maka keesokan harinya sudah
harus dinyatakan sebagai awal tanggal pertama bulan Hijriyah
berikutnya.

Berdasar kriteria inipula sejumlah organisasi massa Islam di Indonesia
dan juga dunia menetapkan sistem penanggalan Hijriyah. Konsepsi ini
dikenal pula dengan istilah Wujudul Hilal (ijtimak qoblal qurub).
Melalui pembelajaran yang mendalam tentang perjalanan bulan ini maka
kita sebenarnya sudah dapat menyusun kalender Hijriyah termasuk
penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun
yang akan datang. Hal ini menjadi praktis tanpa harus melakukan proses
rukyat atau melihat fisik bulan secara langsung dengan mata lahiriah
manusia.

Kontroversi yang seringkali muncul kepermukaan adalah menyangkut
kedudukan bulan setelah ia mengalami Ijtimaknya. Beberapa ulama
seperti Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya "Shafwatut Tafasir" dan
Sayyid Quthub melalui "Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an" mengulas surah
Al-Baqarah ayat 189 tadi sebagai penampakan bulan sabit dari bumi oleh
manusia. Artinya keadaan bulan itu harus benar-benar bisa dilihat
dengan jelas sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan. Apabila bulan
baru itu tidak bisa dilihat atau menimbulkan keraguan maka jumlah
bulan yang sebelumnya harus digenapkan menjadi 30. Pemahaman seperti
ini selanjutnya menuntun kepada konsepsi penglihatan bulan sabit
setelah ijtimak harus secara lahiriah atau rukyat bil fi'li.

Meski demikian, bisa tidaknya hilal tersebut dilihat atau diamati
secara visual akan sangat bergantung pada waktu dan tempat pengamatan
itu sendiri. Kebergantungan terhadap waktu adalah terkait dengan saat
terbenamnya matahari dan kemunculan hilal serta usia dari hilal
tersebut, yaitu adanya selang waktu penampakan hilal dari saat
ijtimak. Selang waktu ini akan berakibat pendaran iluminasi dari
cahaya Bulan tidak cukup kuat teramati karena dia masih terlalu suram
dibandingkan pendaran cahaya matahari yang baru terbenam. Sedangkan
kebergantungan terhadap tempat sangat erat kaitannya dengan posisi
geografis orang yang melihatnya dibumi. Selain itu kendala cuaca dan
awan juga ikut menentukan penampakan secara langsung. Beranjak dari
sini maka timbullah kriteria tentang derajat bulan tertentu agar ia
bisa tetap dapat dirukyat secara visual oleh manusia dibumi dari
beberapa tempat yang berbeda.

Dengan tidak mengurangi penghormatan kita terhadap orang-orang yang
memegang teguh pandangan diatas, maka sebenarnya apa yang dimaksud
dengan melihat bulan sabit setelah ijtimak terjadi sehingga
menghasilkan kepastian dan kejelasan mengenainya memiliki maksud untuk
membuktikan sudah masuknya bulan baru atau syahida asy-syahr. Secara
keilmuan, khususnya Astronomi modern yang sudah sampai pada taraf
sedemikian majunya seperti jaman kita sekarang ini hal tersebut
jelas-jelas bisa dilakukan tanpa kita harus melakukan rukyat secara
lahiriah. Dengan kata lain maka kita bisa merukyat bil'ilmi atau
bil'aqli. Tindakan ini tidak harus disikapi secara frontal sedemikian
rupa sehingga seolah-olah kita maupun orang-orang lain yang
melakukannya telah keluar dari garis ketentuan agama, hanya karena
perbuatan ini tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.

Sabda-sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berkaitan
dengan penentuan bulan baru pada masanya yang merujuk pada visualisasi
secara lahiriah bila kita lihat secara jujur dan pikiran terbuka (open
minded) sama sekali tidak bertentangan dengan penetapan untuk hal yang
sama dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan hasil kemajuan teknologi
modern.

Bagaimana bisa kita berpendapat seperti itu, maka inilah argumentasi kita :

Nabi Muhammad Saw bersabda, "Sesungguhnya kami ini segolongan umat
yang ummi, kami tidak pandai menulis dan tidak bisa menghitung,
sebulan itu ada yang begini dan begini, yaitu kadang-kadang 29 hari
dan kadang-kadang 30 hari". (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain)

Hadis diatas bisa kita lihat sebagai sebuah pengakuan yang jujur dari
pribadi Nabi Muhammad Saw mengenai status peradaban umatnya saat itu.
Dimana mereka disebutkan tidak pandai dalam hal ilmu pengetahuan
(termasuk baca, tulis dan menghitung). Jadi, jika ternyata umat beliau
sekarang ini sudah lebih pandai dalam hal tersebut ketimbang umat
dimasa lalu, maka seyogyanyalah kepandaian ini dipergunakan dalam
kerangka menetapkan apa-apa yang sebelumnya sering menjadi keraguan
akibat keterbatasan yang ada. Hadis tersebut menjadi parameter lain
untuk kita bila Nabi Muhammad Saw secara tidak langsung mengakui
adanya metode lain diluar dari apa yang biasa beliau dan umatnya
gunakan untuk penentuan bulan baru. Memang tidak menutup kemungkinan
bahwa dimasa Nabi Saw hidup, ada orang-orang tertentu yang bisa
melakukan proses penghitungan bulan atau merukyat bil'ilmi, akan
tetapi karena cara dan bentuk kepastian dari metode ini belum bisa
disebut akurat akibat keterbatasan kondisi peradaban dimasa itu maka
Nabi Saw belum menggunakan metode seperti ini.

Masalah ini erat kaitannya dengan situasi dan kondisi masyarakat pada
waktu itu, yakni mereka pada umumnya tidak dapat menulis dan
menghitung. Ini berarti jika kondisi yang disebutkan dalam hadits
tersebut tidak ditemukan lagi, maka tidak ada keharusan melakukan
rukyat dan sebagai alternatifnya adalah kebolehan melakukan hisab.
Jadi, ke-ummi-an umat merupakan 'illat dari perintah ditetapkannya
rukyat. Dengan demikian, yang menjadi al-ashl adalah rukyat yang
secara jelas telah ditetapkan oleh nash hadis. Kemudian obyek yang
akan ditentukan hukumnya adalah status hisab, karena penetapan hisab
secara eksplisit memang tidak ditegaskan oleh nash hadis tersebut.
Oleh karena itu, hisab berposisi sebagai al-far'u dalam kasus ini.
Sedangkan yang menjadi hukm al-ashl adalah keharusan melakukan rukyat
dalam menentukan bulan baru. Lebih jauh mungkin perlu dipertegas juga
bahwa 'illat (sebab) selalu berjalan bersama ma'lul (musabab) dalam
keberadaannya maupun ketiadaannya. Hal ini berarti untuk kasus kita
diatas, apabila umat Islam telah keluar dari kondisinya yang ummi dan
telah mampu menulis dan berhitung, maka dangan sendirinya hisab dapat
diberlakukan. Disini saya juga akan mengutip dari bukunya Buya Hamka
"Pandangan Hidup Muslim" terbitan Bulan Bintang Djakarta 1966 halaman
142 :

"Kalau misalnya hiduplah Nabi kita Muhammad Saw dijaman kita ini,
agaknya akan beliau suruhkanlah Bilal bin Rabah melakukan azan dengan
memakai loadspeaker dan mikrofon. Akan beliau suruhkan agaknya Mu'az
bin Djabal menyebarkan Islam kenegeri Yaman, bahkan keseluruh dunia
dengan memakai radio".

Penulis sependapat dengan almarhum Buya Hamka tersebut, bahkan mungkin
Nabi Saw pun akan melakukan dakwah beliau dengan memanfaatkan email,
milis, handphone, chat, telekonfrens, buku, brosur dan sebagainya
sesuai bentuk-bentuk penyampaian informasi yang sudah kita kuasai
dijaman sekarang. Hal ini selaras pula dengan apa yang disampaikan
oleh Bapak M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya "Pedoman Puasa",
terbitan Bulan Bintang Djakarta 1960 halaman 53 :

"Perintah berpuasa sesudah melihat bulan dengan mata kepala adalah :
Lil Irsyad bukan Lil Idjab yaitu melihat bulan dengan mata kepala
hanyalah salah satu jalan memulai puasa tetapi bukan satu-satunya
jalan. Ini hanya jalan yang ditempuh oleh umat yang belum pandai
berhisab. Karenanya sangat menggelikan hati kalau orang berpuasa yang
fanatik kepada lahir perintah, terus menetapkan bahwa dialah (rukyat
bil fi'li) satu-satunya jalan buat memulai puasa".

Didalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim serta Imam Ahmad yang
bersumber kepada Ibnu Umar disebutkan bila Nabi Saw bersabda,
"Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari, maka janganlah kamu
berpuasa sampai kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sampai
kamu melihatnya. Jika mendung, "kadarkanlah" olehmu atasnya (Fa in
ghumma 'alaykum faqdurulah)".

Imam Nawawi (1983, juz 7, hal. 190) mengatakan bila umumnya
hadis-hadis tersebut diatas membagi pemahaman tentang perlunya melihat
hilal (bulan sabit) bagi orang yang akan berpuasa maupun mengakhirinya
(yaitu berhari raya). Adapun menyangkut bilangan bulan yang disebut
didalam hadis, yakni 29 hari, ini menurutnya berlaku dalam kondisi
cuaca yang baik. Sementara dalam kondisi yang tidak baik karena tidak
memungkinkan melihat hilal, maka tetap saja puasanya harus
disempurnakan menjadi tiga puluh hari. M. Hasbi Ash Shiddieqy masih
dalam buku yang sama (hal. 49) menyatakan bahwa ulama berbeda pendapat
dalam mengartikan perkataan faqdiru atau "perkirakanlah". Jumhur ulama
dari madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi'i berpendapat bahwa artinya
sempurnakan menjadi 30 hari sebagaimana riwayat dalam hadis lain dari
Muslim yang berbunyi "Faqduru lahu tsalatsina" atau "kadarkanlah
untuknya 30 hari", sementara yang lainnya berpendapat pergunakanlah
hisab. Menurut Ibn Suraij, Muthrab Ibn Abdillah, Ibnu Qutaibah dan
lain-lain sebagainya, maksud dari kata tersebut adalah mereka
mengukurnya dengan suatu hitungan yang berdasar manzilah-manzilah
(lintasan orbitnya). Istilah faqdiru sendiri bisa diartikan sebagai
ukuran sesuatu. Kata ini memiliki makna yang sama dengan kata taqdir,
yang merupakan derivasi dari kata kerja qaddara yang artinya
menetapkan batas atau kadar tertentu. Arti seperti ini dapat dijumpai
dalam al-Qur'an surat al-Mursalat ayat 23, dalam konteks penciptaan
manusia, yaitu: "Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah
sebaik-baik yang menentukan"

Selaras dengan ini, penulis pada kesempatan ini ingin merujuk pada
salah satu firman Allah : "Wahai masyarakat Jin dan Manusia, jika
kalian sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, silahkan
lintasi, tapi kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan sulthon".
(QS AR-Rahman (55) :33)

Istilah "sulthon" bisa diterjemahkan sebagai kekuatan, dan dalam hal
ini merujuk pada kekuatan akal, yaitu bagaimana memaksimalkan
kemampuan akal yang ada untuk mampu menciptakan peradaban yang cerdas,
berilmu pengetahuan tinggi sehingga memungkinkan untuk mengeksplorasi
seluruh alam semesta ini untuk kemaslahatan hidup selaku Khalifah
Tuhan dibumi. Kita maklum bila ilmu hisab atau ilmu Astronomi,
merupakan salah satu masterpiece manusia yang tentu saja bisa
digunakan untuk berbagai tujuan termasuk menentukan perhitungan waktu
atau penanggalan sebagaimana di-isyaratkan oleh ayat-ayat yang sudah
banyak kita kutipkan dibagian atas sebelum ini. Karena itulah kita
akan kembali kepada konsep Iqra, konsep membaca, baca dan bacalah
terus. Analisa dan teruslah menganalisa, temukanlah, manfaatkanlah
semua potensi yang ada dalam diri ini. Tidak heran bila ayat ini
justru yang turun pertama kepada Rasulullah Saw.

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia ciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah karena Tuhanmu itu sangat mulia Yang
mengajar dengan Qalam. Dia mengajar manusia apa yang mereka tidak tahu
(QS AL-Alaq (96) : 1 s/d 5)

Perintah berpikir adalah perintah Allah dalam al-Qur'an, salah satunya
silahkan lihat kembali akhir surah Yuunus ayat 5 : "Liqowmi ya'lamun"
yang artinya, "Dia menjelaskan ayat-ayatNya bagi kaum yang mau
mengetahui". Ayat tersebut berlaku secara menyeluruh tanpa terkecuali,
entah itu dalam aspek kehidupan beragama maupun bermasyarakat. Akal
diberikan oleh Allah untuk berpikir, membedakan mana yang salah dan
mana yang benar. Tanpa akal, manusia tidak lebih dari sekedar hewan
yang tidak pernah memikirkan benar salah tindakannya bahkan mungkin
jauh lebih sesat daripada itu.

Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul kedunia untuk memberikan
petunjuk kepada manusia agar memilih jalan kebenaran, dan petunjuk
Allah itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang mau untuk berpikir
tentang hakikat kebenaran sejati. Dan berpikir yang benar didalam
penerimaan tersebut adalah berpikir yang tidak hanya merenung atau
asal-asalan, namun berusaha untuk mengerti, mempelajari, menyelidiki,
memahami serta mengamalkan dan alat untuk itu semua adalah akal.
Menisbikan peranan akal pikiran untuk menggapai keimanan sama sekali
tidak layak kita terapkan, sebab hal ini akan menyamakan kedudukan
kita dengan para penyembah berhala yang tidak pernah mau tahu tentang
benar salahnya keimanan mereka, yang jelas mereka harus menerima dan
yakin. Jika sudah begini untuk apa wahyu diturunkan ? Untuk apa para
Nabi dan Rasul diutus ? Untuk apa Tuhan menciptakan manusia ? Untuk
apa Tuhan melimpahkan akal ? serta untuk apa Tuhan menjadikan
kebenaran dan kebatilan ?

Menyangkut berbuka puasa pada setiap harinya, orang diberi tuntunan
supaya melihat tanda tenggelamnya matahari, dan waktu imsak sehabis
makan sahur orang supaya melihat terbitnya fajar sebagaimana
dinyatakan dengan jelas didalam al-Qur'an pada surah Al-Baqarah ayat
187, "Wakuluu wa(i)syrabuu hattaa yatabayyana lakumu (a)lkhaythu
(a)l-abyadhu mina (a)lkhaythi (a)l-aswadi mina (a)lfajri … dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar".

Nyatanya, dijaman kita sekarang ini hampir bisa dipastikan bila semua
orang Islam telah menunaikan sholatnya tidak lagi melihat kedudukan
matahari begitupun mengakhiri waktu sahurnya berdasarkan jadwal yang
telah ada dan dicetak melalui brosur, surat kabar, papan pengumuman
dan lain sebagainya yang semua itu merupakan hasil perhisaban. Mari
bersama ini, penulis mengajak setiap diri, khususnya yang mengharamkan
hisab agar melakukan introspeksi. Masihkah diri kita mengikuti
tuntunan Allah dan Nabi seperti yang kita sampaikan itu ? Orang
dijaman sekarang sudah lebih banyak mengikuti keputusan atau penetapan
ahli hisab dimana mereka mengatur ketentuan waktu sholat, waktu
berbuka dan berimsak setiap hari melalui jam, jadwal, program komputer
semacam "shollu" dan sebagainya. Oleh karena itu, jika diantara kita
masih banyak yang bersikeras bahwa penetapan untuk awal puasa dan awal
syawal harus dengan ru'yat bil fi'li alias melihat visual bulan secara
langsung, maka penulis mengusulkan hendaknya mereka dalam mengerjakan
sholat yang lima waktu setiap hari atau berbuka puasa dan berimsak
harus benar-benar melihat matahari dan sebagainya sebagaimana
diterangkan sebelumnya sebagai hal yang dicontohkan dan diperintahkan
oleh Nabi. Ini agar kita tidak pincang dalam berpikir dan konsisten
dengan apa yang dipermasalahkan.

Allah berfirman dalam al-Qur'an, "Dia menyingsingkan pagi dan
menjadikan malam untuk beristirahat, serta matahari dan bulan untuk
perhitungan (wa(al)sysyamsa wa(a)lqamara husbaanan). Itulah ketentuan
Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui." (QS AL-An'am (6) :96)

Ayat diatas diperkuat oleh ayat berikut :

huwa (al)ladzii ja'ala (al)sysyamsa dhiyaa-an wa(a)lqamara nuuran
waqaddarahu manaazila lita'lamuu 'adada (al)ssiniina wa(a)lhisaaba maa
khalaqa (al)laahu dzaalika illaa bi(a)lhaqqi yufashshilu (a)l-aayaati
liqawmin ya'lamuun(a)

Terjemahnya : Dia-lah yang menjadikan matahari terang dan bulan
bercahaya dan Dia menentukan orbitnya agar kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan. Tidaklah Allah menjadikan semua itu melainkan
dengan haq, Dia menjelaskan tanda-tandaNya bagi kaum yang mau
mengetahui (QS Yuunus (10) : 5)

Bila kita perhatikan kedua ayat diatas, maka bisa kila lihat dengan
jelas bahwa Surah al-An'am ayat 96 menggunakan lafadz "Qomar" dalam
menyebutkan bulan sebagai pasangan dari matahari demikian juga halnya
dengan surah Yunus ayat 5 juga menggunakan kata yang sama. Ini semua
tidak bisa kita pungkiri bahwa istilah Qomar tersebut sebagaimana
pernah kita jelaskan diawal Bab 3 ini lebih merujuk pada penyifatan
secara phisik, yaitu bulan selaku satelit bumi dan bukan bulan dalam
pengertian diluarnya. Dibuktikan pula dengan adanya kata ditentukan
orbit atau manzilah dari bulan tersebut sehingga membuat kita memang
harus terbakukan dengan pengertian tersebut.

Saat Allah menyatakan keduanya (yaitu matahari dan bulan, –
wa(al)sysyamsa wa(a)lqamara) bisa digunakan sebagai penentu bilangan
tahun dan perhitungan, disini kitapun mau atau tidak mau harus
mengartikannya kepada maksud sebagai dasar bagi perhitungan kalender
atau penanggalan sebagai penunjuk waktu bagi manusia. Artinya lagi
dalam menentukan penanggalan (khususnya disini menyangkut penanggalan
Hijriyah), maka kita harus merujuk pada perjalanan bulan mengelilingi
bumi sejauh 331 derajat 5, selama 29 hari 12 jam 44,04 menit 3 detik
(lihat lagi pembahasan yang sudah-sudah).

Dari arti harfiah kedua ayat ini, kita harusnya sudah bisa
berkesimpulan bahwa metode hisab atau secara Astronomis justru
mendapat penekanan dalam mengambil keputusan untuk penentuan waktu
dalam kehidupan manusia. Sekarang kita beranjak lagi pada surah
al-Baqarah yang memaparkan perintah berpuasa :

Bulan Ramadhan, yang bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir/membuktikan di bulan itu (faman
syahida minkumu (al)sysyahra), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut… (QS AL-Baqarah (2) :185)

Ayat ini menggunakan istilah "syahru ramadaana" untuk merujuk kepada
bulan Ramadhan, dia tidak menggunakan lafadz Hilal atau Qomar (dalam
bahasa Inggris disebut Moon). Bila kita menilik lebih jauh pada surah
al-Qur'an lainnya yang berbicara mengenai istilah sepadan seperti yang
ada pada surah An-Nisaa ayat 92, At-Taubah ayat 36, Al-Ahqaaf ayat 15
maka diperoleh data bahwa yang dimaksudkan dari kata Syahra adalah
bulan dalam makna perhitungan (dalam bahasa inggris disebut Month).

inna 'iddata (al)sysyuhuuri 'inda (al)laahi itsnaa 'asyara syahran fii
kitaabi (al)laahi yawma khalaqa (al)ssamaawaati wa(a)l-ardha

Terjemah : Sesungguhnya bulan disisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi (QS
AT-Taubah (9) :36)

wawashshaynaa (a)l-insaana biwaalidayhi ihsaanan hamalat-hu ummuhu
kurhan wawadha'at-hu kurhan wahamluhu wafishaaluhu tsalaatsuuna
syahran

Terjemah : Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada
ibu-bapaknya, ibunya sudah mengandungnya dengan susah payah dan
melahirkannya pula dengan susah payah, mengandungnya sampai
menyapihnya diusia tiga puluh bulan (QS AL-Ahqaaf (46) :15)

Dengan demikian maka pengertian dari Syahra adalah sebagai hasil dari
hisab yang dilakukan atas Qomar atau hilal, atau dalam bahasa
sederhananya, istilah syahra merupakan penanggalan yang diperoleh dari
hasil perhitungan perjalanan bulan dalam garis edarnya.

Analisa lainnya kita bawakan disini adalah contoh penggunaan
kalimat-kalimat seperti Syahrullah (bulan Allah) untuk menyebut bulan
Rajab, Syahr Qur'an (bulan diturunkannya al-Qur'an), Syahr al-'Ied
(bulan yang akhirnya disambut dengan hari Raya 'Ied), Syahr as-Shiyaam
(bulan puasa), Syahr ar-Rahmah (bulan penuh rahmat), Syahr as-Sabri
(bulan bersabar) dan sebagainya yang mana tidak dapat kita dalilkan
kepada pengertian bulan sebagai satelit bumi. Ringkasnya, penggunaan
kata bulan atau Syahr dicontoh kalimat-kalimat tersebut adalah bulan
dalam makna perhitungan atau kalendar (Month) dan bukan bulan dalam
bentuk wujud benda langit (Qomar/Moon).

Oleh karena itu maka penulis pada kesempatan kali ini ingin mengajukan
usulan bagi semua pihak untuk mulai melangkah maju meninggalkan
apa-apa yang sekiranya sudah bisa ditingkatkan pengetahuan dan
kepastiannya melalui perkembangan ilmu dan teknologi. Khususnya
mengenai konflik rukyat dan hisab, maka sewajarnya sudah kita merubah
cara lama yang mengandalkan rukyat bil fi'li menuju rukyat bil 'ilmi.
Bagaimanapun jarak pandang manusia memiliki keterbatasan dan
kelemahannya yang harus diakui. Kemampuan mata manusia untuk melihat
benda langit terbatas hanya sampai keredupan 8 magnitudo dalam skala
Astronomi. Dengan kemampuan deteksi mata manusia seperti itu, pada
jarak matahari dan bulan kurang dari 7 derajat, cahaya sabit (hilal)
tidak akan tampak sama sekali. Bila memperhitungkan faktor-faktor
pengganggu di atmosfer bumi, maka persyaratan itu bertambah besar dan
bermasalah.

Secara psikologis manusia dengan naluriahnya akan menyederhanakan
lingkungan visualnya untuk memudahkan pemahaman. Dalam setiap
komposisi bentuk, kita cenderung mengurangi subyek utama dalam daerah
pandangan kita ke bentuk-bentuk yang paling sederhana dan teratur.
Semakin sederhana dan teraturnya suatu wujud, semakin mudah untuk
diterima dan dimengerti. Penggunaan ilmu-ilmu hisab secara total dalam
penentuan awal dan akhir suatu bulan pada sistem penanggalan Hijriyah
terbukti merupakan metode paling akurat berkaitan dengan keteraturan
dan kemudahan hasilnya. Sejumlah kekacauan yang bisa timbul dari
ketidak akuratan teknik rukyat bil fi'li misalnya menyangkut
ketidakjelasan penyusunan agenda atau jadwal kerja. Dimana bila kita
hari ini tanggal 25 dan kita mau menentukan 8 hari kedepannya tanggal
berapa persisnya haruslah menunggu sampai bulan yang sedang dijalani
berakhir baru bisa menentukan tanggal berapa 8 hari dari sekarang itu.
Masyarakat modern sekarang ini telah menuntut penjadwalan yang tepat
dan rinci berkaitan dengan sidang-sidang maupun rapat-rapat yang akan
dihadirinya berkaitan dalam aktivitasnya sehari-hari. Semua
membutuhkan akurasi penyusunan agenda yang bisa diprediksi dan
dikalkulasikan secara baik sehingga kerjasama dengan client dapat
tercapai, kekecewaan akibat melesetnya perkiraan waktu dapat
diminimalisir, perpecahan ditengah umat menyangkut kapan berpuasa dan
harus berlebaran bisa dhindari serta hal-hal positip lainnya. Semua
itu susah dilakukan dengan konsepsi rukyat bil fi'li.

Penulis tidak menyarankan penggabungan rukyat bil fi'li dengan rukyat
bil 'ilmi, karena sekali lagi kita sampaikan metode ini hanya akan
menghasilkan kerancuan dan perpecahan. Kita sebaiknya beralih secara
total pada rukyat bil'ilmi. Memang ada berbagai macam cara di berbagai
negara dewasa ini untuk menentukan bulan baru melalui metode hisab
atau rukyat bil 'ilmu. Mulai dari penghitungan umur, ketinggian, atau
perbedaan matahari terbenam dan bulan terbenam, hasil kalkulasi, dan
seterusnya . Akan tetapi semua perbedaan yang ada tersebut pada
dasarnya bisa diselesaikan dengan mengembalikan konsep awal dari
ijtimak atau konjungsi bulan itu sendiri dan bukan berdasar kriteria
insaniah kita yang serba terbatas. Artinya perbedaan ini harusnya
tunduk pada kaidah ilmu-ilmu Astronomi sebab anatara ia dan Islam
harusnya memang tidak ada pemisahan. Islam sekali lagi bukan
penghambat ilmu pengetahuan (termasuk Astronomi) dan Islam bukan pula
bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Sehingga tidak lagi jadi
persoalan apakah usia hilal baru beberapa menit, ketinggian bulan yang
harus mencapai dua derajat kapan terjadinya konjungsi dan seterusnya.
Bagaimanapun, ketika terjadi pergeseran antara kedudukan matahari dan
bulan sehingga terbentuk hilal (sabit) tidak mungkin bisa mundur
kembali yang membuat kita harus menunggu sekian jam demi
memastikannya. Apabila bulan sudah masuk pada Ijtimak atau konjungsi
pada nol derajat maka artinya setelah hal tersebut terjadi merupakan
awal dari Bulan baru, itulah fakta kebenarannya. Pada fase sesudah
konjungsi sudah pasti hilal atau sabit bulan terbentuk dan sabit bulan
tersebut tidak harus dapat dilihat dengan mata telanjang, karena
kemampuan mata pastilah sangat terbatas. Kita bisa melihat sabit bulan
tersebut melalui ilmu pengetahuan, melalui proses hisab komputer,
melalui proses pencitraan satelit dan sejenisnya. Ketinggian minimal
untuk bisa melihat hilal dengan mata telanjang (tanpa alat bantu)
adalah 4 derajat diatas ufuk (dengan catatan bila beda azimut bulan
dan matahari saat itu sudah lebih dari 45 derajat tapi bila beda
azimutnya 0 derajat maka perlu ketinggian minimal 10,5 derajat).
Disinilah kita memulai memainkan rasionalitas terhadap paradigma
berpikir kita yang selama ini cenderung kaku dan membatu.

Terjadinya siang dan malam telah menyebabkan adanya perbedaan waktu di
permukaan Bumi kita ini. Dengan adanya pergerakan bumi dari utara
keselatan dalam garis ekliptiknya maka terjadi juga pergantian siang
dan malam sehingga matahari terlihat seolah terbit ditimur dan
terbenam dibarat, padahal matahari tidak pernah terbit maupun
terbenam. Manusia membuat persepsi yang demikian disesuaikan dengan
cara pandang yang mereka hadapi dan bukan berdasar kenyataan yang
sebenarnya. Oleh karena itu pula dibeberapa tempat dalam al-Qur'an,
ayat-ayatnya juga ditulis atau diwahyukan oleh Allah dengan mengikuti
persepsi dan pandangan mata manusia. Misalnya disebutkan bila bumi ini
bagai hamparan (Surah An-Naazi'aat ayat 30, Al-Ghasyiyah ayat 20) atau
kemudian dalam kisah Dzulkarnain pada Surah Al-Kahfi ayat 86
dinyatakan matahari terbenam diair yang hitam).

Dalam beberapa dekade belakangan ini, dimana terjadi silang pendapat
antara pemerintah selaku pihak yang berkuasa disuatu negara (dalam hal
ini khususnya dinegara kesatuan Republik Indonesia) dengan sejumlah
organisasi massa serta partai Islam maupun individu-individu tertentu
mengenai penentuan berbulan baru yang mencakup hari pertama Ramadhan,
hari pertama Idul Fitri serta hari pertama Idul Adha telah menumbuhkan
cukup banyak kebingungan ditengah masyarakat berbangsa dan bernegara.
Dalam hal ini, pemerintah sebagai pejabat yang berwenang tentu saja
menginginkan seluruh masyarakat yang ada dibawah otoritasnya agar
mengikuti ketetapan mereka menyangkut hal-hal tersebut. Sementara
kelompok yang berseberangan dengan pemerintahpun merasa bahwa mereka
sebagai warga negara yang hak-haknya harus dilindungi, memiliki hak
untuk menentukan sikapnya sendiri.

Sebagian ulama lokal maupun yang berasal dari Timur Tengah mencoba
mengajukan dalil-dalil yang dalam pandangan mereka rojih serta shahih
agar umat Islam secara keseluruhan menyepakati apa-apa yang menjadi
ketetapan maupun keputusan pemerintah dimana mereka berdomisili. Salah
satu diantara mereka adalah Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz yang
bahkan berpendapat sekalipun pemerintah dimana umat Islam tersebut
berada, menetapkan berpuasa sampai 31 hari lamanya . Sejumlah dasar
yang diajukan mereka diantaranya :

Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa
menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati
pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang
pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku. (HR. Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah)

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: "Seseorang (hendaknya) berpuasa
bersama penguasa dan jamaah umat Islam, baik ketika cuaca cerah
ataupun mendung." Beliau juga berkata: "Tangan Allah Swt bersama
Al-Jama'ah." (Majmu' Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz
25, hal. 117)

"Akan ada sepeninggalku nanti para penguasa yang mereka itu tidak
berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti caraku. Dan akan
ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan
namun berbadan manusia." Hudzaifah berkata: "Apa yang kuperbuat bila
aku mendapatinya?" Rasulullah Saw bersabda: "Hendaknya engkau
mendengar dan mentaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk
dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah dan taatilah." (HR.
Muslim dari Hudzaifah bin Al-Yaman).

"Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hari
ketika kalian semua ber Idul Fitri dan Idul Adha ketika kalian semua
beridul Adha" (HR. Tirmidzi)

"Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun
membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian."
Lalu dikatakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, bolehkah kami
memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?" Beliau bersabda:
"Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah
kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang
tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan
meninggalkan ketaatan." (HR. Muslim dari `Auf bin Malik)

Ibnu Umar berkata: Dari Nabi Saw, beliau bersabda: "Kewajiban seorang
muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai
ataupun yang tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan
maksiat. Bila dia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada
kewajiban untuk mendengar serta taat" (HR. Muslim)

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul
serta ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa (4) :59)

Dalam hal ini, penulis memiliki pendapat yang agak berbeda yang juga
memiliki dasar pemikiran dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Bahwa perbedaan
yang dimaksudkan oleh Rasul pada hadis-hadis beliau tersebut dalam
perspektif penulis bukanlah perbedaan yang menyangkut hukum-hukum
keagamaan yang sudah jelas dasar serta patokannya. Tidak ada siapapun
yang berhak untuk mengubah kaidah yang telah ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dalam urusan keagamaan. Sementara kita tahu masalah
berlebaran atau beridul Adha memiliki persinggungan dengan nash-nash
hukum yang sudah jelas.

Sabda Nabi Muhammad Saw :

Dari Anas, bahwa Nabi Saw melarang puasa lima hari dalam setahun,
yaitu : hari raya fithri, hari raya adha dan tiga hari tasryiq. (HR.
Daraquthni)

Dari Abu said dari Rasulullah Saw, bahwa ia melarang puasa dua hari,
yaitu pada hari raya fithri dan hari raya adha. (HR. Ahmad, Bukhari
dan Muslim)

Dalam satu lafal bagi Ahmad dan Bukhari dikatakan : Tidak boleh puasa
pada dua hari. Sementara bagi Imam Muslim dikatakan : Tidak sah puasa
pada dua hari.

Dari hadis-hadis diatas maka bisa kita pahami bahwa bila sudah masuk
hari idul fithri maupun adha kita sudah dilarang untuk melakukan
ibadah puasa, artinya kita harus segera menyegerakan diri untuk
berlebaran. Manakala misalnya kita mengikuti suatu ketetapan yang
mengharuskan berlebaran esok hari padahal kita sudah tahu hari ini
harusnya kita sudah berhari raya maka kita telah melanggar ketentuan
Allah dan Rasul-Nya.

Firman Allah :
Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. AL-Ahzaab (33) :36)

Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
jangan engkau berpaling darinya padahal kamu mengetahuinya. (QS
AL-Anfaal (8) : 20)
Maka apabila aku perintahkan kamu dengan sesuatu, hendaklah kamu
mengerjakan darinya sesanggup kamu. Dan apabila aku mencegah kamu dari
sesuatu maka kamu jauhilah dia. (HR. Muslim dan Nasa'I dari Abu
Hurairah)

Tentu kita maklum bahwa waktu berhari raya atau berpuasa hanyalah
akibat dari suatu sebab yang ada sebelumnya. Adapun penyebab perbedaan
yang terjadi sehingga menimbulkan kecenderungan untuk terjadinya
pelanggaran atas nash-nash yang terkait seputar hari raya akan kembali
lagi pada metode penentuan berbulan baru.

Sekarang kita akan coba mempersempit masalah dengan mengabaikan
perdebatan tentang hisab dan rukyat (bil fi'li) dan kita membahas
tentang adanya kesaksian sejumlah orang yang melakukan pengamatan
terhadap hilal secara langsung pada tempat-tempat tertentu. Pada
praktek dilapangan, seringkali kesaksian-kesaksian individu tersebut
ditolak oleh pihak yang berkuasa hanya karena dalam kalendar yang
berlaku dan sudah terlanjur beredar dimasyarakat tertulis hari raya
baru jatuh pada hari lusa dan bukan esok hari. Kita tidak akan
membahas mengenai pengaruh adanya perubahan kebijakan pemerintah
terhadap kondisi politik serta perekonomian negara, karena memang
ketetapan agama harusnya dinomor satukan dari semua kepentingan yang
ada.

Kitab hadis "Nailul Authar" yang berisi kumpulan hadis-hadis hukum
dari Nabi Saw hasil jerih payah Asy-Syaukani dari kitab Al-muntaqa
Ibnu Taimiyah memuat secara khusus masalah kesaksian atas hilal ini .
Kita bisa melakukan introspeksi diri kita sendiri dari hadis-hadis
tersebut, apakah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah
melanggar ataukah memang sudah benar dalam mengikuti ketetapan Nabi
Muhammad Saw mengenai hal ini. Dari sini kita bisa pula mengoreksi
tentang sikap kita yang mengaminkan atau juga melakukan pembangkangan
pada keputusan pemerintah (serta ulama-ulama yang menyarankan untuk
mengikutinya).

Dari Umar, ia berkata : Orang-orang pada melihat bulan, lalu aku
memberitahu Rasulullah Saw bahwa akupun melihatnya. Lalu ia berpuasa
dan menyuruh orang-orang supaya berpuasa. (HR. Abu Daud dan
Daraquthni. Tetapi Daraquthni berkata : Marwan bin Muhammad menyendiri
dengan hadis ini dari Abu Wahab, sedang dia adalah kepercayaan).

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata : Ada seorang Badui datang
ketempat Nabi Saw, lalu ia mengatakan : Sungguh aku melihat bulan.
Kemudian Nabi bertanya : "Apakah engkau percaya bahwa Tiada Tuhan
selain Allah ?" Ia menjawab : "Ya". Lalu Nabi bertanya lagi : "Apakah
engkau juga percaya, bahwa sesungguhnya Muhammad utusan Allah ?" Ia
menjawab : "Ya". Lalu Nabi menyuruh Bilal : "Hai Bilal, beritahukanlah
kepada manusia, supaya mereka besok berpuasa". (HR. Imam yang lima,
kecuali Ahmad).

Dan Abu Daud meriwayatkan juga dari hadis Hammad bin Salamah dari
Simaak dari Ikrimah secara mursal (tanpa menyebut nama sahabat),
semakna dengan itu, dan ia berkata : Lalu Nabi menyuruh Bilal,
kemudian Bilal menyeru pada manusia : "Hendaklah mereka sholat tarawih
dan berpuasa"

Dari Rib'I bin Hirasy, dari seorang laki-laki dari sahabat Nabi, ia
berkata : Orang-orang berselisih tentang akhir Ramadhan, lalu
datanglah dua orang Badui kemudian mereka bersumpah dihadapan Nabi Saw
bahwa bulan Syawal telah nampak kemarin sore, lalu Rasulullah Saw
menyuruh orang-orang agar berhari raya fithri. (HR. Ahmad dan Abu
Daud)

Dari Abdurrahman bin Zaid bin Khattab, sesungguhnya dia berkhutbah
pada hari yang ia ragu-ragu padanya sebagai berikut : Ketahuilah,
bahwa aku adalah berkawan dengan sahabat-sahabat Rasulullah Saw dan
pernah bertanya kepada mereka, lalu merekapun menceritakan kepadaku
bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda sebagai berikut : "Berpuasalah
kalian karena melihat bulan dan berhari rayalah kalian karena melihat
bulan, dan beribadahlah kalian karena melihat bulan. Kemudian jika
bulan itu terdinding awan maka genapkanlah tiga puluh hari. Tetapi
jika ada dua saksi muslim yang melihatnya maka berpuasalah kalian dan
berhari rayalah". (HR. Ahmad dan Nasa'i, tetapi Nasa'I tidak
menyebutkan kata-kata "muslim" pada teks "dua saksi").

Dari Amir Mekkah, Al-Harits bin Hathib, ia berkata : Rasulullah Saw
memerintahkan kita supaya beribadah karena melihat bulan. Tetapi jika
kita tidak melihatnya sedang ada dua orang saksi adil yang menyaksikan
bulan tersebut, maka kita pun beribadah lantaran kesaksian dua saksi
tersebut. (HR. Abu Daud dan Daraquthni, Daraquthni berkata sanadnya
bersambung dan shahih).

Syarah dari kitab Nailul Authar menjelaskan bahwa dua hadis yang
menyebutkan "manusia melihat bulan" menunjukkan kesaksian seseorang
atas datangnya hilal Ramadhan bisa diterima. Inilah pendapatnya Ibnu
Mubarak, Ahmad bin Hambal serta Imam Syafe'I dalam salah satu dari dua
pendapatnya. Imam Nawawi sendiri berkata : "Itulah pendapat yang lebih
benar." Akan halnya pendapat dari Imam Malik serta sejumlah Imam sunan
lainnya bahwa kesaksian seseorang tidak dapat diterima kecuali dua
orang adalah mengandung pengertian tidak diterimanya seorang saksi
karena semata-mata paham dari apa yang tersirat, sedang yang tersurat
dalam hadis tersebut adalah diterimanya seorang saksi.

Sekali lagi bila kita mengabaikan perselisihan tentang jumlah satu
atau dua orang saksi yang melihat hilal dimalam dua puluh sembilan,
maka adanya kesaksian untuk itu secara nash keagamaan sudah memenuhi
syarat untuk menentukan awal bulan yang baru. Bila kemudian pemerintah
mengabaikan kesaksian tersebut dan bersikukuh dengan pendapatnya bahwa
umat baru boleh berhari raya pada lusa harinya, berarti pemerintah
sudah berseberangan dengan nash-nash hukum keagamaan. Sebagai seorang
muslim, maka kita juga sudah memiliki tuntunan dari Rasul yang
sebelumnya dijadikan hujjah dari kelompok pertama, "Kewajiban seorang
muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai
ataupun yang tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan
maksiat. Bila dia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada
kewajiban untuk mendengar serta taat" (HR. Muslim)

Maksiat yang kita coba kaitkan disini adalah mengajak kepada jalan
selain jalan Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh
Imam Ali bin Abi Thalib, "Tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk
yang dapat dibenarkan jika hal itu berupa perbuatan maksiat terhadap
al-Khaliq" . Persatuan umat bukan menjadi alasan untuk mengabaikan
nash-nash agama yang telah pasti kecuali bila memang untuk
melakukannya dibatasi oleh situasi dan kondisi (misalnya seperti dalam
masa Orde Baru). Adapun makna dari Ulil Amri pada surah an-Nisa ayat
59, memang oleh mayoritas ulama dinyatakan sebagai pemerintah yang
berkuasa. Ahli Mufassir terkemuka bernama Imam Fakhruddin Razi yang
menulis kitab "Mafatihul Gaib" (w. 1228 M) mengartikan Ulil Amri
sebagai Ahli Ijmak (orang-orang yang kesepakatannya menjadi hukum yang
harus ditaati). Imam Naisaburi serta Muhammad Abduh memahaminya
sebagai Ahli Halli wal'aqdi (orang-orang yang mempunyai hak kekuasaan
untuk membuka dan mengikat yang setiap keputusannya mengikat seluruh
negara dan wajib ditaati oleh seluruh umat) .

Apapun defenisi yang diberikan untuk istilah Ulil Amri tersebut,
penulis disini ingin menekankan bila cara kerja Ulil Amri yang
terdapat dalam surah An-Nisa ayat 59 harusnya juga mengacu pada
lanjutan ayat tersebut, "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama dan lebih baik
akibatnya". Sabda Nabi Saw pula, "Hendaklah kamu mengikuti dengan
sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk dimasa
setelah aku". (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Jadi kita tetap punya parameter yang tegas bahwa kepatuhan pada
penguasa adalah selama mereka juga mengembalikan pengaturan hak
rakyatnya yang muslim kepada tuntunan Allah dan Rasul. Al-Qur'an
disisi lain memberikan petunjuk bila jumlah orang tidaklah menentukan
nilai kebenaran yang mereka serukan (suara mayoritas tidak selalu
berarti suara kebenaran) :

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih
mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-An'am
(6) :116)

Adapun makna Al-Jama'ah dimana menurut Imam Ahmad bin Hanbal dengan
perkataannya "Tangan Allah Swt bersama Al-Jama'ah", secara lughat
berarti kumpulan, himpunan atau persatuan. Salah seorang sahabat Nabi
bernama Ibnu Mas'ud diriwayatkan pernah berkata kepada Amr bin Maimun
: "Al-Jama'ah adalah apa-apa yang bersesuaian dengan kebenaran
walaupun engkau sendirian". Dikesempatan lain, beliau juga berkata,
"Jama'ah itu adalah apa-apa yang bersesuaian dengan ketaatan pada
Allah Azza Wajalla" . Imam Alipun diriwayatkan berkata, "Jama'ah itu,
demi Allah, adalah kumpulan orang-orang ahli kebenaran walaupun mereka
itu sedikit" .

Jadi al-Jama'ah itu bisa dimaknai sebagai kebersatuan dengan
nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini adalah kumpulan satu atau lebih
orang yang taat pada Allah. Sesuai firman Allah :

Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkanmu pada satu hal,
yaitu supaya kamu menghadap Allah berdua-dua atau sendiri-sendiri".
(QS. Saba (34) :46)

Nabi Muhammad Saw disinyalir telah bersabda dalam satu hadis dengan
status dhaif (lemah), "Sesungguhnya umatku tidak berkumpul diatas
kesesatan. Maka dari itu bila kamu melihat perselisihan maka hendaklah
kamu Sawadul-A'zham". (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik, kedhaifan
hadis ini disebabkan salah satu perawinya bernama Hazim bin 'Atha yang
dianggap lemah oleh sebagian ahli hadis, sebagaimana kata Imam
Al-Iraqy). Istilah Sawadul-A'zham pada hadis diatas sering dinisbatkan
pada al-Jama'ah, sebagaimana ini dilakukan oleh ahli hadis dan fiqih
terkenal bernama Imam Sofyan ats-Tsauri (w. 161 H) serta Imam Ishaq
bin Rahawaih. Penafsiran tersebut tidak menyalahi lahiriah hadis
tersebut yang intinya adalah untuk selalu memegang pihak yang benar,
walaupun jumlahnya sedikit.


--
Salamun 'ala manittaba al Huda

ARMANSYAH

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

No comments:

Post a Comment