2010/8/4 whe - en <whe.en9999@gmail.com>
Redenominasi rupiah adalah pengurangan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukar rupiah. Misalnya rupiah di Redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nolnya, maka artinya uang Rp 100.000,- kemudian di 'potong'/tercatat secara nominal menjadi Rp 100. Begitupula tabungan rupiah yang ada di bank akan bernilai tukar tetap walaupun 'pencatatannya' berubah, misal tabungan sebanyak Rp 1.000.000 sebelum Redenominasi rupiah kemudian hanya akan tercatat menjadi Rp 1.000. Tetapi untuk transaksi dan sebagainya uang bernilai Rp 1.000 (baru) memiliki nilai tukar sama dengan Rp 1.00.000 (sebelum Redenominasi rupiah).
Sedangkan Sanering rupiah adalah pemotongan nilai tukar rupiah. Jika ada Sanering rupiah Rp 100.000 menjadi Rp 100 artinya nilai tukar rupiah senyatanya memang hanya menjadi Rp 100. Jika tadinya tabungan di bank sebanyak Rp 1.000.000 maka dengan Sanering rupiah sebanyak tiga nol, maka nilai tukar rupiah di tabungannya tinggal Rp 1.000. Dengan bahasa yang mudah dipahami adanya Sanering akan berdampak pada 'pemiskinan' atau penurunan daya beli dan penurunan kekayaan masyarakat.
Kemungkinan terjadi masyarakat yang menganggap Redenominasi rupiah sama dengan Sanering rupiah karena masih teringat dan trauma dengan Sanering rupiah jaman Orde Lama yang dikenal juga dengan Gunting Syafrudin. Sanering rupiah jaman Orde lama terjadi tiga kali yaitu Sanering I (19 Maret 1950); Sanering II (25 Agustus 1959) dan Sanering III (13 Desember 1965).
Adapun beberapa manfaat Redenominasi rupiah di antaranya adalah
mungkin ada yang bisa menerangkan kepada saya?Baru saja saya sedikit diskusi dengan salah satu rekan,beliau mengalami sanering ketika waktu kecil,dan menurut beliau ada dampaknya,semoga memang berbeda antara redenominasi dan sanering
Redenominasi, bukan Sanering
Oleh: Nur Feriyanto
PERNYATAAN Darmin Nasution tentang Redenominasi rupiah kini menjadi isu hangat di masyarakat. Meskipun bukan orang yang pertama menggulirkan isu Redenominasi rupiah tersebut di negeri ini tetapi karena kini ia menjadi Gubernur Bank Sentral RI (Bank Indonesia) yang baru maka pernyataannya menjadi besar dampaknya. Berbagai kalangan kemudian menjadikannya seperti bola liar yang menggelinding kesana-kemari dan menjadi diskusi/pembicaraan yang hangat baik forum resmi sampai di warung kopi.
PERNYATAAN Darmin Nasution tentang Redenominasi rupiah kini menjadi isu hangat di masyarakat. Meskipun bukan orang yang pertama menggulirkan isu Redenominasi rupiah tersebut di negeri ini tetapi karena kini ia menjadi Gubernur Bank Sentral RI (Bank Indonesia) yang baru maka pernyataannya menjadi besar dampaknya. Berbagai kalangan kemudian menjadikannya seperti bola liar yang menggelinding kesana-kemari dan menjadi diskusi/pembicaraan yang hangat baik forum resmi sampai di warung kopi.
Redenominasi rupiah adalah pengurangan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukar rupiah. Misalnya rupiah di Redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nolnya, maka artinya uang Rp 100.000,- kemudian di 'potong'/tercatat secara nominal menjadi Rp 100. Begitupula tabungan rupiah yang ada di bank akan bernilai tukar tetap walaupun 'pencatatannya' berubah, misal tabungan sebanyak Rp 1.000.000 sebelum Redenominasi rupiah kemudian hanya akan tercatat menjadi Rp 1.000. Tetapi untuk transaksi dan sebagainya uang bernilai Rp 1.000 (baru) memiliki nilai tukar sama dengan Rp 1.00.000 (sebelum Redenominasi rupiah).
Sedangkan Sanering rupiah adalah pemotongan nilai tukar rupiah. Jika ada Sanering rupiah Rp 100.000 menjadi Rp 100 artinya nilai tukar rupiah senyatanya memang hanya menjadi Rp 100. Jika tadinya tabungan di bank sebanyak Rp 1.000.000 maka dengan Sanering rupiah sebanyak tiga nol, maka nilai tukar rupiah di tabungannya tinggal Rp 1.000. Dengan bahasa yang mudah dipahami adanya Sanering akan berdampak pada 'pemiskinan' atau penurunan daya beli dan penurunan kekayaan masyarakat.
Kemungkinan terjadi masyarakat yang menganggap Redenominasi rupiah sama dengan Sanering rupiah karena masih teringat dan trauma dengan Sanering rupiah jaman Orde Lama yang dikenal juga dengan Gunting Syafrudin. Sanering rupiah jaman Orde lama terjadi tiga kali yaitu Sanering I (19 Maret 1950); Sanering II (25 Agustus 1959) dan Sanering III (13 Desember 1965).
Bahkan pada Sanering rupiah I bukan hanya nilai tukar rupiah yang dipotong tetapi secara fisikpun uang kertas dipotong menjadi 2 bagian, kiri dan kanan. Uang bagian kiri menjadi alat pembayaran yang sah dengan nilai tukar setengah dari nilai semula, sedangkan uang bagian kanan ditukar dengan obligasi negara, Obligasi Pinjaman Darurat 1950 yang akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% p.a. Alasan adanya Sanering I adalah untuk menanggulangi defisit Anggaran Belanja Negara dan II-III adalah untuk mengatasi inflasi yang tinggi.
Adapun beberapa manfaat Redenominasi rupiah di antaranya adalah
(1) Menyederhanakan pencatatan transaksi dan keuangan; (2) Membantu menjaga tingkat inflasi rendah dan stabil; (3) Membantu menstabilkan nilai kurs; (4) Meringankan masyarakat dalam membawa uang untuk transaksi; (5) Memunculkan nilai satuan uang rupiah yang kecil, misalnya sen; dan (6) Memberikan kebanggan 'semu', karena seakan nilai tukar rupiah menguat.
Sedangkan beberapa kerugian Redenominasi rupiah di antaranya adalah (1) Bisa mendorong terjadinya hyperinflation, karena ketidaksiapan kondisi ekonomi, sosial dan politik, psikologis dan pengetahuan masyarakat, aturan, dan pelaksana; (2) Dapat dipolitisasi sehingga menjadi ajang dan subyek adu kekuatan dan tawar menawar dari partai politik. (3) Harus mengubah seluruh aturan; pencatatan; dan lainnya yang tekait dengan Redenominasi rupiah yang akan menelan biaya, waktu dan tenaga yang besar; (4) Mengalihkan isu-isu penting lainnya yang lebih mendesak seperti penurunan tingkat pengangguran dan pembukaan kesempatan kerja; penanggulangan kemiskinan; peningkatan kesejahteraan masyarakat; pertumbuhan ekonomi, penegakan hukum, peningkatan daya saing, peningkatan tingkat kesehatan serta pendidikan yang murah dan merata.
Pelaksanaan Redenominasi rupiah dimungkinkan akan berhasil bilamana setidaknya memenuhi syarat
(1) Adanya kestabilan ekonomi, sosial dan politik; (2) Adanya kesiapan masyarakat; (3) Adanya tingkat inflasi yang rendah dan stabil; (4) Adanya persetujuan DPR; dan (5) Adanya kedisiplinan masyarakat, pebisnis, perbankan, pemerintah dan bank sentral dalam melaksanakan Redenominasi. Untuk saat ini Redenominasi rupiah belum mungkin untuk diterapkan. Kini yang lebih dibutuhkan masyarakat kita bukan pernyataan-pernyataan yang bombastis, wacana yang sulit diterima masyarakat dan membuat resah, tetapi tindakan-tindakan nyata yang bermanfaat besar bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan, rasa aman dan nyaman dalam hidupnya.
______________
______________
Nur Feriyanto adalah staf pengajar Pascasarjana Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta/Kedaulatan Rakyat 4/8/2010
-- -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment