Friday, December 3, 2010

[Milis_Iqra] Di Mana Monarki Itu?

artikel asli
http://cetak.kompas.com/read/2010/12/03/03131964/di.mana.monarki.itu

Di Mana Monarki Itu?
Jumat, 3 Desember 2010 | 03:13 WIB
Radhar Panca Dahana

Keistimewaan Yogyakarta adalah fakta dan keniscayaan yang terbukti sejak
ratusan tahun sebelum republik ini berdiri.

Wilayah itu diakui sebagai kerajaan vassal (dependent state) atau
negara-bagian dengan otonomi tersendiri sejak masa VOC, Hindia Perancis,
Hindia Belanda, hingga pemerintahan tentara pendudukan Jepang. Dekrit yang
dikeluarkan Hamengku Buwono (HB) IX dan Paku Alam (PA) VIII lewat amanat 5
September 1945, yang mengintegrasikan kerajaan mereka di bawah kepemimpinan
republik baru-yang mereka sendiri tak begitu mengenal tokoh- tokohnya-adalah
sebuah keistimewaan sejarah yang tanpa preseden dan memiliki risiko politik
serta militer tak remeh kala itu.
Dekrit itu seperti sebuah pembalikan sejarah dari kesultanan sendiri, yang
200 tahun sebelumnya justru memisahkan diri dari induknya, Mataram Solo.
Maka, mungkin lebih dari sebuah kepantasan jika kemudian pemerintah nasional
baru menempatkan keistimewaan wilayah itu dalam UU No 12/1948 yang pasal
5-nya menegaskan, "Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari
keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik
Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat
kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di
daerah itu".

Lalu UU No 3/1950 menebalkan posisi itu dengan pernyataan konstitusional
tentang DIY bukanlah sebuah monarki (konstitusional) dan ia adalah sebuah
daerah istimewa setingkat provinsi, bukan provinsi, di mana hukum dan
politiknya berbeda terutama dalam hal kepala daerah serta wakil kepala
daerah.
Keistimewaan demokratis

Yang lebih penting dari fakta historik-politik adalah kenyataan sikap dan
integritas pemimpin kesultanan Yogyakarta sendiri yang sejak dini dengan
sadar menempatkan diri dalam sebuah aturan ketatanegaraan baru (modern).
Bukankah inisiatif dari HB IX sendiri yang menyerahkan kekuatan
legislatifnya kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogya,
29 Oktober 1945? Bukankah atas inisiatif Sultan-karena kekacauan dan tumpang
tindih birokrasi pemerintahannya kala itu-yang mereduksi kekuasaan eksekutif
mutlaknya ke dalam lembaga collegial bestuur yang terdiri atas banyak
komponen kepemimpinan?

Kenegarawanan yang demokratis Sultan saat itu telah membiarkan dirinya
berdiri dan duduk setara tak hanya dengan kepala keresidenan (PA VIII),
tetapi juga dengan pejabat kiriman pemerintah pusat, bahkan dengan tiga
bupati yang tidak lain adalah bagian dari kawulanya.

Tentu terasa menggelikan-dan tentu menghibur pikiran karikatural kita-jika
ada pemimpin baru yang menafikan keistimewaan jiwa besar di balik sikap
demokratis ini.
Keistimewaan yang bukan hanya memberi keanggunan dan respek tersendiri dalam
sejarah politik (demokrasi) di negeri ini, tetapi juga dalam banyak hal
menentukan berlangsung atau berdiri tidaknya republik ini sejak
kemerdekaannya diproklamasikan.

Seperti Aceh yang begitu istimewa karena sumbangan jiwa dan material, emas
rakyat yang antara lain dipakai untuk membeli pesawat negara Seulawah, Yogya
pun tidak hanya memfasilitasi seluruh kebutuhan ibu kota pengasingan dari
republik yang terusir, mengambil risiko tinggi keamanan rakyatnya,
mengeluarkan tak kurang 5 juta gulden dari simpanan keraton.
Saat Mohammad Hatta bertanya apakah republik harus membayar utang itu,
Sultan tak berkata apa-apa dan tak menagihnya, hingga ia tutup mata, hingga
kekuasaan diwarisi anaknya. Politik nasional yang kemudian berkembang bukan
hanya jadi reduksi atau penggerogotan sistematik dari keluhuran dan kearifan
politik di atas, tetapi juga jadi semacam kealpaan historik yang membuat
politik nasional tamak dan bebal dalam apresiasi batinnya.

Ia terasa sistematik lantaran hal itu terjadi berulang kali, sejak Soeharto
mendirikan tetenger (tanda) dari Serangan Oemoem 1 Maret 1949, di mana ia
menempatkan diri sebagai tokoh utama, menafikan peran Sultan yang justru
jadi penggagas, pemberi perintah dan fasilitator dari serangan bersejarah
itu.
Kenegarawanan lokalnya terasa melampaui kepemimpinan nasional saat ia tak
mencegah pendirian tetenger itu, dan hanya menukas pendek, "Biarlah jika ia
menginginkan begitu", saat Arifin C Noer, sutradara film Janur Kuning,
memintanya mau menerima adegan di mana Soeharto duduk di kursi berlengan dua
bersamanya. Faktanya, hanya Sultan yang duduk di kursi berlengan dua, dan
Soeharto di bangku tanpa lengan.

Mananya yang monarkis dari kepemimpinan yang ditunjukkan HB IX yang rela
menghentikan mobilnya bagi seorang wanita pedagang beras pasar Kranggan,
membantunya menaikturunkan barang dagangan, mengantarnya, dan dimarahi sang
pedagang karena dianggap minta bayaran lebih dari satu perak ketika Sultan
menolak pemberian itu?
Mana yang monarkis dari Sultan yang biasa mengendarai sendiri mobilnya,
tanpa pengawal, hingga ia ditilang polisi di Cirebon dalam perjalanan
Yogya-Jakarta, hanya karena ia bertelanjang dada akibat udara panas?
Pemimpin dengan singgasana sesungguhnya tidak di kemegahan istana, tapi di
kerendahan jiwa publik yang mendukung dan harus ia bela. Dengan semua yang
dimilikinya.
Radhar Panca Dahana Budayawan

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment