From: wirawan <wirawan.smg@gmail.com>
Date: Sun, 6 Feb 2011 09:58:35 +0700
Subject: [Tauziyah] Mengungkap Fitnah AS Dalam Menumbangkan Mesir:
ElBaradei, Demokratisasi, dan Pelajaran dari Kematian Sayyid Quthb
To: Tauziyah <Tauziyah@yahoogroups.com>
Mengungkap Fitnah AS Dalam Menumbangkan Mesir: ElBaradei, Demokratisasi,
dan Pelajaran dari Kematian Sayyid Quthb
Jadi rupanya tema kita sekarang sudah beralih. Dari revolusi menjadi sekedar
reformasi. Dari penegakkan syariatisasi menuju demokrasi. Kesimpulan ini
saya ambil dari himbauan Hillary Clinton yang menyatakan sekutu Amerika itu
hendaknya segera melakukan transisi ke pemerintahan yang menghamba antara
satu manusia ke manusia lainnya. "Amerika tentunya ingin melihat orang-orang
yang berkomitmen terhadap demokrasi. Tanpa bermaksud menentang ideologi
orang Mesir," paparnya.
*Fitnah Demokrasi Di Mesir*
Jauh sebelum isu demokrasi Mesir digulirkan Gedung Putih, Amerika sudah
cukup massif menggalang pemikiran jika suatu ketika rezim diktatorisme Hosni
Mubarak segera diakhiri. *Setting*-an kehancuran Mesir bukan dipersiapkan
satu-dua hari ini. Amerika sudah mengalokasikan waktu cukup lama dalam
memuluskan misinya. Mereka menilai Rezim Mubarak sudah tidak lagi kondusif
untuk memegang tampuk kebonekaan.
Amerika sebenarnya sudah demikian cantik menyusun agenda ini dalam rangka
merubah wajah Mesir menjadi negara demokrasi. Salah satu lembaga yang aktif
menyebarkan isu-isu demokrasi di Mesir adalah Freedom House. Freedom House
sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba terkemuka dalam sejarah Amerika. Ia
berpusat di Washington, D.C. dengan daftar kantor cabang membentang dari
Eropa, Afrika, hingga Asia. Sejarah Freedom House berawal ketika Wendell
Willkie, Eleanor Roosevelt, George Field, Dorothy Thompson, Herbert Bayard
Swope bersatu untuk menentang paham Nazi. Pada tahun 1940-an, Freedom House
kemudian mendukung Marshall Plan dan pendirian NATO yang kini tercatat
sebagai salah satu keuatan kuat zionis dalam mencengkaram dunia. Sejarah
kemudian terus bergulir hingga pada durasi 1950-1960-an mereka terlibat
akfif dalam mendukung gerakan hak asasi manusia di AS.
Kini Freedom House dibiayai oleh berbagai yayasan. Di antara nama-nama itu
terselip sederetan lembaga seperti Lynde and Harry Bradley Foundation, Sarah
Scaife Foundation, dan Soros Foundation. Selain itu mereka juga mendapat
uang dari pemerintah AS melalui berbagai lini pemerintahan seperti USAID dan
State Department.
Selain nama Freedom House, nama lain yang menjadi penggerak demokratisasi di
Mesir adalah National Endowment For Democracy (NED). NED sendiri adalah
sebuah yayasan swasta nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. NED
berfungsi untuk memberikan hibah dalam rangka mendukung proyek-proyek LSM di
seluruh dunia untuk pertumbuhan dan penguatan lembaga-lembaga demokratis.
Yayasan ini didirikan pada tahun 1983 dan menyediakan lebih dari 1000 dana
bantuan per tahun untuk LSM dalam rangka mempromosikan demokrasi di lebih
dari 90 negara. Tidak hanya itu, NED juga tercatat aktif dalam menawarkan
beasiswa dan melakukan penelitian dan pertukaran internasional bagi para
aktivis demokrasi, hak asasi manusia advokat, jurnalis, dosen dan peneliti.
NED Mesir terkenal sangat massif dalam menggelontorkan dana untuk memperkuat
pemahaman pemuda parlemen Mesir dan meningkatkan penggunaan aktivis regional
dengan berbagai teknologi baru sebagai alat akuntabilitas. Melalui lembaga
kecilnya, Andalus Institute for Tolerance and Anti-Violence Studies (AITAS),
mereka melakukan serangkaian lokakarya bagi 300 mahasiswa untuk meningkatkan
kesadaran terhadap fungsi parlemen dan melibatkan mereka dalam pemantauan
komite parlemen. AITAS juga menjadi tuan rumah magang selama delapan bulan
yang diperuntukan aktivis pemuda dari berbagai belahan Timur Tengah dan
Afrika Utara. Para pemuda ini dirangsang mempromosikan Demokrasi Mesir
dengan menggunakan teknologi berbasis web dalam melancarkan misi Amerika.
Hal ini kemudian teretas dengan kucuran dana bagi para blogger di berbagai
Negara muslim, khususnya Timur Tengah.
Sedangkan untuk meningkatkan kesadaran hukum di kalangan wartawan tentang
kebebasan berekspresi di bawah hukum Mesir dan mendorong lebih besar
peliputan media informasi isu-isu hak asasi manusia, NED Mesir melalui Arab
Society for Human Rights (ASHR) tercatat banyak melakukan serangkaian
lokakarya hukum media dan hak-hak profesional media. Kegiatan ini mensasar
sekitar 80 jurnalis dari berbagai kalangan diantaranya governorates of Giza,
Port Said, Sohag, Ismailiya, Al-Sharkiya, Kafr Al Syaikh, dan Marsa Matrouh.
*Kenapa Amerika Ingin Menjatuhkan Sekutunya Sendiri?*
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Amerika yang notabene selama ini
mendukung rezim Mubarak justru ingin menjatuhkan kawannya sendiri? Lalu
mengapa pula Amerika sangat *keukeuh* menjadikan Mesir sebagai basis
kekuatan penting di wilayah Afrika dan dunia Islam pada khususnya? Ada
beberapa hal yang bisa kita petakan melihat bagaimana peran Amerika Serikat
dalam meredakan konflik di Mesir dan prosesi kelanjutan intervensinya.
Pertama, kepentingan ekonomi dan deideologi faksi-faksi Islam. Saat ditanya
Associated Press apakah langkah-langkah yang diambil Presiden Hosni Mubarak
sudah benar, Menlu AS Hillary Clinton menyatakan bahwa tidak penting saat
ini siapa yang berkuasa di Mesir. Menurut istri Bill Clinton ini, yang lebih
penting dibutuhkan saat ini adalah bagaimana tuntutan dan kebutuhan rakyat
Mesir bisa dipenuhi dan menuju satu tahapan lebih baik. "Jelas, tahapan yang
diikuti saat ini belum menciptakan masa depan yang demokratis, kesempatan
ekonomi yang dituntut para pemrotes," ujarnya.
Pemerintah Amerika Serikat berharap transisi politik dengan memberi ruang
bagi demokrasi di Mesir bisa berjalan mulus. Hal ini didasarkan pada gejolak
di negara tersebut akan mengancam stabilitas di wilayah Timur Tengah yang
tengah diupayakan terus oleh Presiden Barack Obama menjadi bagian dari
demokratisasi Amerika. Kenapa Mesir yang dipilih tidak lain karena Negara di
utara Afrika ini dinilai sebagai negara yang penting di Timur Tengah dimana
ia berbatasan langsung dengan Palestina sekaligus pusat intelektual Islam di
wilayah Timur Tengan. Dua domain inilah yang menjadi keladi bagaimana
Amerika harus membiayai Mubarok selama ini agar jalannya penguasaan ekonomi
dan deideologisasi Timur tengah berjalan sesuai harapan.
Kedua, Amerika memang benci dengan kekuasaan yang terlalu gemuk walau ia
tidak mampu memungkiri bahwa diktatorisme memang tujuan dari segalanya.
Kesenjangan sosial yang terjadi di Mesir akan membahayakan stabilitas misi
mereka. Bagaimanapun *landing*-nya pesawat tidak boleh terganggu. Dan
Amerika sudah tahu inilah batas kesabaran mereka melihat bonekanya tidak
dapat memenuhi keinginan tuannya. Zaynur Ridwan, penulis beberapa novel
zionisme memberikan alasan tentang mengapa Amerika sangat membenci
pemerintahan yang korup? Tentu saja berbeda motif dengan apa yang kita
pahami. Amerika beranggapan Korupsi akan memperkuat kekuatan Islam di akar
rumput karena efek kesenjangan sosial, dan ini menurut Robert Heffner,
peneliti Islam Amerika, akan membangkitkan semangat persaudaraan Islam yang
akan berorientasi pada jihad global. Karena itu pemerintah yang korup harus
dijatuhkan khususnya di daerah strategis Timur Tengah karena rencana
demokratisasi Timur Tengah adalah salah satu program yang dijanjikan
pemerintahan Obama saat berkampanye.
Ketiga, yang mesti menjadi perhatian kita adalah kita harus ingat bahwa
Amerika akan terus bergerak di manapun level oposisi bermain. Amerika dan
Paman-nya Israel akan selalu berupaya mendekati kekuatan baru. Pada intinya
ini dilakukan agar disparitas kepentingan antara calon wayang dan calon
dalang tidak terlalu jauh.Ini penting karena kekuasaan adalah gestur. Tidak
ada kata musuh abadi.
Seperti diberitakan arabnews.com, bahwa Duta Besar Amerika Serikat untuk
Mesir, Margaret Scobey, telah berbincang dengan Mohamed El Baradei. Baradei
sendiri digadang-gadangkan akan menjadi sebuah kekuatan baru dalam menerima
mandat Amerika Serikat selanjutnya setelah Hosni Mubarak akan turun dalam
tempo tidak lama lagi. Padahal kita tahu sendiri bahwa El Baradei bukanlah
nama baru dalam dunia perbonekaan Amerika Serikat. Ilmuwan berkepala plontos
ini banyak bergelut dalam dunia energi di PBB.
*Skenario Al Baradei dan Konstruk Zionis*
Oleh karena itu kita harus jeli melihat perkembangan politik di Mesir. Kita
sekarang sedang berhadapan dengan musuh dalam arti sebenarnya, dan bukan
metafor. Kita berada dalam kotak pandora dimana media menyuguhkan bahwa
tumbangnya Mesir adalah keniscayaan bagi perkembangan demokrasi di Negeri
Nabi Musa ini. Kita sekarang sudah beralih dengan lebih sering memakai lema
tuntutan rakyat ketimbang tuntunan Allah. Kita akhirnya terjebak pada
keringat yang ingin segera kering lalu kemudian akan merubuhkan kembali
istana pasir yang kita bangun dalam tempo satu-dua malam itu (baca:
singkat). Artinya demokratisasi akan menjadi alternatif pasca keruntuhan
rezim Mubarok
El Baradei, nama itu. Nama itu menjadi lengkap jika kita mengenalnya sebagai
Mohamed El Baradei calon pengganti Hosni Mubarok (tanpa harus menyinggung
keinginan Omar Sulaiman yang memiliki niat yang mutlak serupa). Menariknya
nama El Baradei selama ini tidak begitu dikenal oleh warga Mesir sendiri.
Time.com pada 20 Februari 2010 menulis warga Mesir tidak peduli dengan El
Baradei. Mohamed Abbas (25), seorang sopir taksi di Mesir mengaku tidak
kenal El Baradei. Bagi Abbas, El Baradei hanyalah seorang calon presiden
seperti halnya Muhamad Gamal Mubarak, anak Hosni Mubarak dan Ketua Liga Arab
Amr Musa. "Kebanyakan dari mereka, bagaimana pun, adalah penjahat," kata
Mohamed Abbas.
Alhasil berbagai kalangan menyatakan bahwa Nama ini amat mungkin mencuat
sebagaimana media-media Mesir, Eropa, dan Amerika mengkonstruk El Baradei
sebagai Sang Penyelamat hanya karena ia mendapat sebuah nobel perdamaian dan
berduyun-duyun bersama rakyat berteriak, "Kami anti Mubarak."
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seorang El Baradei bisa muncul
dengan legitimasi kepahlawanan yang begitu kuat. Baiklah kita faham ia
memang anti Bush. Namun kita belum faham apakah ia juga anti syariat Islam.
Apakah kita faham apakah ia anti jihad, mengingat "dasi dan bajunya"
dibelikan oleh George Soros. Saya hanya ingin khawatir tidak lebih ketika
melihat El Baradei menduduki posisi di International Crisis Group, sebuah
lembaga think-thank perdamaian dunia (baca: versi humanisme) yang kental
berafiliasi dengan George Soros. Lalu bagaimana mungkin seorang yang
jelas-jelas tidak memiliki visi Islam yang kuat begitu disokong oleh
organisasi muslim terbesar di Mesir. Mengingat selama aktivitasnya di ICG,
El Baradei banyak berkecimpung dalam pereduksian ideologi Islam di Negara
timur tengah.
*Belajar dari Kematian Sayyid Quthb*
Akhirnya penulis melihat bahwa transisi politik Mesir menuju demokrasi akan
menciptakan Irak baru, Pakistan Baru, dan Afghanistan baru di Mesir. Kita
memang setuju dan sangat mendukung jatuhnya Rezim Mubarak. Namun kita jangan
sampai lupa bahwa kita berada pada fase yang bisa jadi membuat Mesir berubah
menjadi lautan merah setelah Irak, Somalia, Afghanistan dan Sudan hancur
bukan main.
Inilah yang terjadi ketika Presiden Gamal Abdul Nasser menjadi pemimpin baru
setelah Rezim Raja Fuad tumbang. Sejarah ini tidak bisa kita lupakan
bagaimana ribuan mujahid dibumihanguskan secara tidak berperikemanusaain.
Mereka digantung dengan tuduhan tidak jelas. Padahal sebelum Rezim Fuad
jatuh, ada janji manis dari sang calon pengganti tentang perkembangan Islam
di Mesir oleh sang presiden.
Adalah Sayyid Quthb dan beberapa akttivis ikhwan yang amat baik telah
memberikan pelajaran bagi kita bahwa stratergi kaum kufar mengahalangi
tegaknya Islam adalah tantang dakwah tersendiri. Beberapa hari setelah
revolusi itu Sayyid Quthb dipersilahkan untuk memberikan pidato di tengah
masa. Sayyid Quthb dengan lantang berkata, "Sekarang revolusi betul-betul
telah dimulai. Akan tetapi, kita tidak boleh menyanjung-nyanjungnya, sebab
dia belum memberikan sesuatu yang berarti. Diturunkannya Raja Fuad bukanlah
tujuan revolusi ini. Akan tetapi tujuannya adalah mengembalikkan negeri ini
kepada Islam."
Saat itu Gammal Abdul Nasser membalas, "Wahai Saudaraku Sayyid Quthb demi
Allah mereka tidak akan bisa mengganggumu kecuali harus melewati mayat kami.
Kami berikan janji kami dengan nama Allah. Bahkan kami ulangi janji kami,
bahwa kami akan menjadi pembela-belamu hingga kahir hayat kami".
Lalu apa yang terjadi setelah itu? Janji tinggal janji, Nasser yang begitu
tergila-gila dengan sosialisme dan sangat takut pada penerapan Islam secara
kaffah malah menuduh Sayyid Quthb akan membahayakan keamanan Mesir dan
membunuh dirinya.
Sayyid Quthub kemudian diadili oleh Pengadilan Militer pada tanggal 12 April
1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan tulisannya, *Ma'alim fi
ath-thariq*, di mana isinya dianggap berupaya menumbangkan pemerintahan
Mesir dengan kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus 1966 Sayyid Quthub bersama
Abdul Fattah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah dan
dihukum mati. Ia dihukum gantung bersama 2 orang temannya pada 29 Agustus
1966. Pemerintah Mesir tidak menghiraukan protes dari Amnesti Internasional
yang memandang proses peradilan militer terhadap Sayyid Quthub sama sekali
bertentangan dengan rasa keadilan. Sejak saat itu ia dikenal sebagai Syahid
bagi kebangkitan Islam, yang rela mengorbankan nyawanya di tiang gantungan.
Pidato dan kisah kematian Sayyid Quthb di atas adalah sebuah otokritik dalam
diri bahwa transisi politik dari sebuah rezim bukanlah kata akhir
perjuangan. Transisi politik bisa berubah dalam meretaskan idiom bahwa kawan
menjadi lawan, namun belum tentu sebaliknya. Tentu penulis bukan dalam
kapasitas melunturkan semangat kita, bagaimanapun perjuangan terus kita
lakukan. Tapi kita harus hati-hati untuk mengerti betul dalam menjawab satu
pertanyaan saja, yakni siapakah yang akan berkuasa di Mesir setelah Mubarok
jatuh, dan tak lama kemudian ideologi yang membuat Afghanistan, Pakistan,
dan Sudan hancur (baca: demokrasi) naik?
*"Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum
kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya
mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti akan mengikuti mereka."
Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu. Yahudi dan Nasrani?"
Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka?"* (HR. Muslim, No. 4822)
*Allahua'lam.*
*Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi*
Aktif di Kajian Zionisme Internasional (KaZI)
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment