media mainstream adalah sedemikian brutalnya Qaddafi, sampai-sampai
negara-negara NATO harus mengirimkan pasukannya ke Libya. Negara-
negara Barat beramai-ramai membekukan aset Qaddafi, seolah-olah sedang
'menyelamatkan' harta Qaddafi demi rakyat Libya. Padahal nanti, ketika
Qaddafi turun, pemerintah baru Libya harus menempuh proses pengadilan
yang sangat mahal dan berbelit-belit untuk mengklaim harta itu. Jarang
yang mempertanyakan, siapa yang memanfaatkan aset-aset itu sampai
kelak pemerintahan baru Libya berhasil mengklaimnya?
Dunia pun kini sedang digiring untuk 'mengizinkan' AS dan kroni-
kroninya melakukan 'humanitarian intervention' demi membantu rakyat
Libya. Bahkan sebagian media memberitakan, justru pejuang Libya
sendiri yang 'mengundang' AS agar mengirim pasukan. Pemimpin negara-
negara dunia pun mulai bersuara keras, menuntut agar segera diambil
tindakan 'nyata' menghentikan kebrutalan Qaddafi.
Suara yang jernih, menurut saya, terdengar dari Iran. Presiden
Ahmadinejad mengecam Qaddafi karena tega membunuhi rakyatnya sendiri,
namun di saat yang sama, dia juga memperingatkan AS agar jangan coba-
coba melakukan intervensi militer di Libya. Ahmadinejad juga
mengingatkan bahwa senjata yang dipakai Qaddafi untuk membunuhi
rakyatnya justru berasal dari AS dan Uni Eropa.
Saya teringat pada suatu Jumat di bulan April tahun 2003. Saat itu
Saddam baru saja terguling dan saya berkesempatan mengikuti sholat
Jumat di Tehran University dengan khatib Ayatullah Khamenei. Saya
ingat sekali, dalam khutbahnya itu, Ayatullah Khamenei menyatakan
bahwa rakyat Iran dan Irak yang telah menjadi korban kekejaman Saddam
patut senang karena Saddam akhirnya tumbang. Namun bukan berarti
mereka harus menganggap AS adalah pahlawan. Menurut Ayatullah
Khamenei, AS datang di saat Saddam memang sudah lemah dan sudah hampir
tumbang oleh perjuangan rakyat Irak sendiri. Karena itu, AS seharusnya
angkat kaki dari Irak dan menyerahkan urusan Irak kepada rakyat Irak
sendiri. Situasi tahun 2003 itu mirip sekali dengan yang kini melanda
Libya.
Di tengah berbagai kesimpangsiuran berita dan analisis yang beredar di
media massa, sebagai pembanding saya ingin mengangkat suara dari Iran.
Melalui tulisan ini, saya berusaha memetakan konflik secara lebih
jelas, dengan menggunakan paradigma yang dikemukakan Ayatullah
Khamenei dalam khutbah Jumatnya (4/2). Ada poin utama yang beliau
ungkapkan dalam menganalisis kebangkitan di Timur Tengah, yaitu:
1. Ini adalah kebangkitan Islam
2. Akar masalah bukanlah ekonomi, melainkan rasa terhina kaum muslim
di Timur Tengah yang sudah mencapai titik kulminasi.
Sebagaimana banyak ditulis para analis politik, faktor ekonomi
dianggap sebagai penyebab bangkitnya rakyat Timur Tengah melawan
pemimpin mereka. Faktor ekonomi memang terlihat cocok digunakan untuk
menganalisis akar konflik di Mesir dan Tunisia yang rakyatnya miskin.
Namun terbukti, faktor ekonomi tidak cocok untuk Libya. Negara ini
memiliki pendapatan perkapita lebih dari US$12.000 atau enam kali
lipat pendapatan perkapita rakyat Mesir (bandingkan juga dengan
Indonesia yang hanya US$2150). Bahrain pun tetap bergolak, meski
Dinasti Al Khalifa memberi hadiah uang 3000 dollar untuk setiap
keluarga. Gelombang kebangkitan rakyat juga melanda Arab Saudi meski
Raja Saud menjanjikan hadiah 36 milyar dollar untuk dibagi-bagikan
kepada rakyatnya. Jadi, terbukti bahwa yang mendorong bangkitnya
rakyat Timur Tengah bukan sekedar ekonomi, tetapi ada hal lain yang
lebih mendasar, yaitu 'keterhinaan'. Nanti saya akan membahas lebih
jauh tentang hal ini.
Pemetaan Konflik
Menurut teori resolusi konflik, dalam menganalisis konflik perlu
diidentifikasi empat faktor penting berikut ini.
1. Pivotal Factor (Faktor Utama)
Harus diakui bahwa Timur Tengah adalah kawasan muslim. Rakyat Timur
Tengah memiliki keterikatan yang besar terhadap Islam. Peradaban Timur
Tengah yang gemilang pun dibangun oleh Islam, meskipun kemudian
dihancurkan oleh kekuatan imperialis Barat. Timur Tengah kini tidak
lagi gemilang, malah bisa dikatakan tertinggal dan terbelakang.
Setelah PD II, bangsa-bangsa Timur Tengah dipisahkan dalam sekat-sekat
negara, dan di masing-masing negara, kekuatan imperialis mendudukkan
pemimpin-pemimpin boneka. Rakyat Timur Tengah yang punya sejarah
gemilang kemudian selama bertahun-tahun dibodoh-bodohi, dimiskinkan,
direpresi oleh pemimpin-pemimpin boneka itu. Seperti dikatakan
Ayatullah Khamenei, "Perhatikanlah betapa ini adalah suatu hal yang
sangat berat bagi sebuah bangsa: ketika pemimpin bangsa itu-
presidennya-yang secara lahiriah menunjukkan diri sebagai seorang yang
sangat sombong kepada rakyatnya sendiri, tapi pada saat yang sama
adalah seorang budak resmi dari sebuah lembaga negara lain, yaitu AS."
Namun, hari ini terbukti bahwa setelah sekian lama ditekan oleh para
pemimpin boneka, kesadaran kaum muslimin Timur Tengah terhadap
jatidirinya semakin besar. Mereka bisa melihat bahwa Barat adalah
perampok kekayaan alam mereka. Mereka juga menyadari bahwa dalam
merampok, Barat bekerjasama dengan pemimpin-pemimpin di negara.
Kesadaran rakyat Timur Tengah tampak dalam berbagai polling yang
menunjukkan bahwa mereka benci kepada AS dan menganggapnya sebagai
musuh. Perilaku AS di Palestina dan Irak berperan penting pula dalam
membangkitkan solidaritas Islam dan menambah eskalasi kebencian
terhadap Barat (yang diwakili oleh AS).
John Pilger, jurnalis independen yang sering mengkritik kebijakan
kapitalis Barat, mengidentifikasi dengan baik faktor kebencian rakyat
muslim Timur Tengah terhadap Barat ini. Dia menulis, "Di Timur Tengah,
semua diktator dan raja dilanggengkan oleh AS. Dalam "Operation
Cyclone" CIA dan MI6 (Dinas Rahasia Inggris) secara rahasia membungkam
gerakan-gerakan Islam di sana. Korban dari terorisme yang dilakukan
Barat di berbagai penjuru dunia, mayoritasnya adalah muslim. Rakyat
pemberani yang ditembaki di Bahrain dan Libya pada hakikatnya
bergabung dengan anak-anak Gaza yang diledakkan oleh pesawat F16
buatan AS. Revolusi di Arab tidaklah sekedar melawan diktator lokal
namun melawan tirani ekonomi global yang didesain oleh AS dan
dijalankan oleh USAID, IMF, Bank Dunia; yang menyebabkan rakyat di
negeri yang kaya seperti Mesir harus hidup dengan 2 dollar sehari."
Tentu saja, meski menangkap adanya solidaritas muslim, Pilger masih
memfokuskan diri pada faktor ekonomi. Sementara Ayatullah Khamenei
mengidentifikasi faktor lain yang lebih mendasar: keterhinaan kaum
muslimin. Keterhinaan yang ditimpakan kepada rakyat Timur Tengah oleh
imperialis Barat, melalui boneka-bonekanya, sudah tak bisa lagi
ditanggung oleh manusia yang secara fitrah memiliki harga diri dan
kehormatan. Dan inilah yang menjadi pendorong utama kebangkitan rakyat
Timur Tengah.
2. Triggering Factor (Faktor Pemicu)
Karakteristik konflik adalah cenderung 'menular' di satu kawasan dan
inilah faktor pemicu kebangkitan rakyat di Libya. Kebangkitan rakyat
negara-negara Arab dan keberhasilan rakyat Mesir dan Tunisia (dua
negara yang bertetangga langsung dengan Libya), bisa diakui sebagai
faktor pemicu meletusnya perjuangan revolusi di Libya.
3. Mobilizing Factor (faktor yang menjadi pendorong termobilisasinya
massa)
Menurut saya, mobilizing factor masih sulit dianalisis karena minimnya
informasi. Sebagai perbandingan, mobilizing factor dalam revolusi Iran
adalah adanya tokoh fenomenal Ayatullah Khomeini yang didukung oleh
hampir semua elemen rakyat, tidak hanya yang muslim-Syiah, tetapi juga
yang Sunni, Kristen, sosialis, bahkan sekuler. Di Mesir, gerakan
Ikhwanul Muslimin yang sudah lama tumbuh dan berkembang bisa disebut
sebagai mobilizing factor. Di Libya, belum tampil tokoh oposisi yang
fenomenal itu. Kalaupun ada tokoh yang muncul di pemberitaan, biasanya
adalah tokoh-tokoh rezim lama. Mereka tidak muncul dari tengah rakyat.
Motivasi mereka sangat diragukan, dan sangat mungkin mereka bergabung
bersama rakyat hanya untuk menyelamatkan karir di masa depan.
Namun, bila kembali pada asumsi bahwa kebangkitan rakyat Timur Tengah
adalah kebangkitan Islam, sangat mungkin mobilizing factor di Libya
memang ulama-ulama yang selama puluhan tahun menanamkan kesadaran
Islam kepada rakyat. Ulama-ulama itu masih belum terungkap namanya,
sekali lagi, karena minimnya informasi.
4. Aggravating Factor (faktor eksternal yang mendorong eskalasi
konflik).
Saya melihat, ada dua pihak yang bisa disebut sebagai aggravating
factor, pertama Iran, kedua AS dan sekutu-sekutunya.
-Faktor Iran
Iran tidak melakukan intervensi terhadap Libya. Bahkan bisa dibilang
hubungan Iran-Libya cenderung dingin. Apalagi, Qaddafi berperan besar
dalam melenyapkan Imam Musa Sadr (ulama asal Iran yang berdakwah di
Lebanon, kemudian tiba-tiba lenyap saat berkunjung ke Libya. Tidak ada
pengakuan resmi dari Libya mengenai keberadaan Imam Musa Sadr,
meskipun kemungkinan besar beliau sudah dibunuh. Kasus Imam Musa Sadr
merupakan salah satu bukti bahwa Qaddafi sebenarnya adalah kroni
Zionis karena keberadaan Imam Musa Sadr di Lebanon dianggap
membahayakan Israel yang saat itu menjajah Lebanon selatan).
Tapi seperti dikatakan Ayatullah Khamenei dalam khutbahnya,
keberhasilan Iran menggulingkan rezim Shah yang merupakan boneka AS,
dan bertahan menjadi negara yang independen hingga hari ini, telah
menjadi inspirasi bagi kaum muslimin di Timur Tengah. Iran berhasil
mencapai kemajuan ekonomi, ilmu, dan teknologi meskipun diperangi oleh
Barat selama delapan tahun (melalui tangan Saddam), diembargo selama
puluhan tahun, dan terus-menerus diserang oleh propaganda hitam.
Kemajuan Iran, tak pelak lagi, membangun rasa bangga dan percaya diri
rakyat Timur Tengah pada umumnya. Hal ini terbukti antara lain dari
hasil polling bulan Agustus 2010 yang menunjukkan bahwa mayoritas
rakyat Arab justru mendukung program nuklir Iran.
Inilah yang dimaksud oleh Ayatullah Khamenei bahwa "Revolusi kami bisa
menjadi pemberi ilham dan teladan karena kami kukuh, konsisten, dan
berpegang teguh pada landasan dasar revolusi ini, yaitu Islam."
Iran berdiri tegak bagaikan sebuah menara tinggi dan memancarkan
gelombang energi bernama independensi dan harga diri di tengah rakyat
Timur Tengah yang sedang dalam keadaan terpuruk dan terhina. Gelombang
energi inilah yang menjadi aggravating factor bagi rakyat muslim Libya
(dan negara-negara Timur Tengah lainnya).
-Faktor AS dan sekutunya
Fakta menunjukkan bahwa lembaga-lembaga think tank AS-Zionis, seperti
Freedom House, National Democrat Institute, Open Society, sudah lama
'bekerja' di Libya (dan negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya) untuk
menyebarkan ide-ide demokrasi dan kebebasan. Tentu saja, tujuannya
bukanlah tujuan yang ikhlas, namun agar rakyat Timur Tengah lebih pro-
Barat, menjauhkan diri dari nilai-nilai Islam (karena Barat sangat
khawatir ada Iran kedua).
Menariknya, ide-ide demokrasi dan kebebasan ini sepertinya justru
menjadi pisau bermata dua yang sangat mungkin menikam Barat sendiri.
Rakyat Timur Tengah justru bangkit menumbangkan rezim-rezim boneka
Barat. Khusus untuk Libya, kasusnya lain: Barat memang berkepentingan
agar Qaddafi mundur (karena faktor minyak, sebagaimana saya tuliskan
di artikel sebelumnya). Melalui isu-isu demokrasi dan kebebasan,
mereka berusaha mengontrol agar pemerintahan pengganti tidak berhaluan
Islam.
Di sisi lain, justru AS dan Uni Eropa pula yang selama ini menjual
fasilitas militer canggih kepada Qaddafi. Sejak awal AS dan UE tahu
bahwa Qaddafi adalah diktator, namun mereka tetap menjual senjata
kepadanya. Dari AS-lah kini Qaddafi punya F-16, Apache, dan berbagai
jenis kendaraan militer. Libya bahkan adalah pasar utama bagi senjata
produksi Inggris.
Dan kini, ketika rakyat Libya bangkit melawan Qaddafi, AS dan UE
memberikan 'bantuan' kepada gerilyawan dengan harapan agar pasca
Qaddafi mereka bisa mengontrol rezim baru. AS dan UE mensuplai senjata-
senjata melalui perbatasan selatan Libya. Bagi AS dan UE, kekacauan di
Libya akan memberi peluang bagi mereka untuk semakin bercokol di Libya
dan negara-negara Afrika, menyingkirkan Rusia dan China yang
sebelumnya lebih dominan di sana.
Jadi, inilah yang kini terjadi di Libya: 'political leveraging'. Di
satu sisi AS dan UE berkepentingan (dan membantu) penggulingan
Qaddafi; di sisi lain justru AS dan UE pula yang selama ini menyuplai
senjata kepada Qaddafi.
Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian yang cukup panjang di atas adalah ada dua
kekuatan besar yang tengah bertarung di Timur Tengah: kebangkitan
Islam dan upaya Barat untuk menyiramkan minyak ke dalam api yang
memang sudah menyala. Barat tentu akan berusaha semaksimal mungkin
menggiring konflik yang sudah meletus demi kepentingannya sendiri.
Hasil akhirnya sangat bergantung kepada kesadaran rakyat Libya (dan
Timur Tengah pada umumnya). Bila mereka mampu stay on the right track,
mudah-mudahan hasilnya akan seperti Iran: menjadi negara yang
independen dan maju. Namun bila tidak, dan masih tetap mau dibodoh-
bodohi Barat, maka hasilnya adalah 'meet the new boss, same as the old
boss.' ©Dina Y. Sulaeman.
SUMBER: http://syamsuri149.wordpress.com/
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment