Oleh: Gandung Ismanto
Pemerhati masalah sosial dan politik, mengajar di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UNTIRTA.
Citra Banten tidak banyak berubah hingga usianya yang ke-10 tahun lalu
(2010). Hampir semua orang yang Saya kenal pasti mengasosiasikan
Banten dengan stigma ketertinggalan, keterbelakangan, kebodohan,
kemiskinan, kekerasan, dan tentu saja yang terakhir adalah magic.
Keenam stigma itu memang bukan hanya identik dengan Banten, karena
tidak sedikit daerah lain di Indonesia yang memiliki karakteristik
yang sama. Namun, letak Banten yang hanya ± 90km dari Jakarta
membuatnya tampak luar biasa dramatis sehingga layak dijadikan ikon
deviasi pembangunan di Indonesia.
Bagi Saya sendiri, secara obyektif stigma itu tidaklah terlalu
berlebihan mengingat sejumlah fakta dan data yang merepresentasinya.
Bicara ketertinggalan misalnya, 253 atau sekitar 17% desa yang ada di
Provinsi Banten masih berstatus tertinggal. Termasuk juga adalah
kualitas infrastruktur jalan, jembatan, dan irigasi yang juga jauh
tertinggal dibandingkan provinsi lainnya. Menurut catatan BPS,
sejumlah indikator makro menggambarkan ketertinggalan yang juga nyata
di provinsi ini, misalnya: indeks pembangunan manusia (IPM) Banten
yang peringkat 23 nasional dengan skor 69,8; jauh tertinggal
dibandingkan dengan Provinsi Bangka Belitung yang kini bertengger di
peringkat 10 nasional dengan skor 72,19. Padahal saat Banten dan
Babel berdiri, IPM-nya berada pada peringkat 11 nasional dengan skor
66,6 sementara Bangka Belitung berada pada peringkat 20 nasional
dengan skor 65,4. Demikian juga fakta keterbelakangan, kemiskinan,
kebodohan, dan kekerasan yang masih melekat sebagai wajah Banten hari
ini.
Nah terkait stigma magic, tulisan ini dibuat untuk mengeksplorasinya
agak dalam. Namun tentu tidak dalam makna denotatifnya karena Saya
bukanlah ahlinya. Saya bukanlah ahli debus, tidak juga menguasai
kesaktian dan ilmu sulap apapun, apalagi seorang magician. Karenanya
tulisan ini hanya akan menyajikan cara pandang berbeda mengenai
sejumlah praktek dalam tata kelola pemerintahan daerah yang pada
konteks ini memiliki titik singgung yang sama dengan magic, aneh bin
ajaib. Semoga bisa memberi inspirasi dan pemahaman baru buat kita
semua.
'Magic City'
Seperti halnya sulap, magic identik dengan sifat-sifatnya yang penuh
dengan keajaiban dan keanehan, bahkan sulit diterima oleh akal sehat.
Nah berbicara mengenai keanehan dan keajaiban itu, sepertinya bukan
monopoli para tukang sulap karena praktek sulap menyulap ternyata
hampir menjadi sesuatu yang lazim dalam tata kelola pemerintahan kita,
di pusat maupun daerah. Di desa-desa misalnya, dalam sekejap kepala
desa dapat menyulap data penduduk miskin menjadi berlipat ganda
ketika mereka diminta mengumpulkan data mengenai penerima raskin,
BLT, dan bantuan-bantuan sosial lainnya. Namun dalam sekejap pula
jumlah penduduk miskin itu dapat berkurang drastis bila mereka diminta
laporan terkait dengan kinerja pemerintahan dan atau penilaian
terhadap desanya. Sulap menyulap yang sama juga sangat mudah kita
lihat akhir-akhir ini. Mengemukanya kasus century dan gayus hanyalah
puncak gunung es yang membuktikan begitu mudahnya praktek 'sim
salabim' dalam penegakan hukum kita, menyulap yang salah menjadi benar
atau sebaliknya, menyulap yang benar menjadi salah.
Di dunia pendidikan, praktek sulap pun kini bukan hal baru dan asing.
Saat-saat menjelang UN dan penerimaan siswa/mahasiswa baru biasanya
praktek ini marak terjadi. Demikian juga saat musim penerimaan CPNS di
pusat maupun daerah. Ada yang tidak ikut tes tapi lulus, ada yang
lulus di dua tempat sekaligus padahal tes-nya dilakukan pada waktu
yang sama, belum termasuk yang harusnya tidak lulus karena tidak
pernah dibukanya nilai hasil tes mereka. Para birokrat kita pun
terlatih melakukan sulap menyulap dalam praktek pembuatan SIM, KTP,
KK, dan surat menyurat lainnya.
Di Serang, Makodim yang jelas-jelas merupakan benda cagar budaya tiba-
tiba bisa disulap menjadi mall. Demikian juga sebuah SPBU yang tiba-
tiba bisa dibangun di pusat kota Serang di bilangan perempatan sumur
pecung yang sebenarnya terlarang. Sebelumnya, jalan di sekitar Palima
awalnya turun agak curam 'tiba-tiba' bisa rata dan sejajar setelah
dibangun SPBU di sebelahnya. Sebelumnya lagi kita pun pernah terkaget-
kaget ketika tiba-tiba muncul proyek pembebasan lahan dan pembangunan
sport centre dan bandar udara banten selatan, padahal tidak ada sama
sekali dalam rencana kerja pada tahun berjalan. Peristiwa ini juga
mengingatkan kita pada sejumlah praktek serupa beberapa tahun
sebelumnya seperti : pembangunan SMA CMBBS yang dilakukan hanya
bermodalkan hasil diskusi dalam 'satu malam'. Termasuk juga adalah
praktek sulap pada sejumlah proyek bermasalah sejak tahun 2004 hingga
kini, antara lain : pengadaan scanner tiga dimensi di RS Tangerang,
dan rontgen ortopedi di RS malingping, pembangunan gedung Badan
Diklat, pembangunan jalan Rangkasbitung – Tigaraksa hanya dalam waktu
6 bulan sudah berubah menjadi kubangan lumpur, proyek sabut kelapa dan
Virgin Coconut Oil (VCO,), pembangunan Pos Kesehatan Desa, pengadaan
alat-alat kesehatan senilai 5,3 milyar, pengadaan lahan terminal
terpadu di Merak senilai 1,8 milyar, kasus dana perda dan non perda
senilai 1,5 milyar, pembebasan lahan KP3B senilai 30 milyar, dana
perumahan bagi anggota DPRD, bantuan bahan bangunan rumah (BBBR) untuk
korban banjir di Lebak, pengadaan lahan simpang susun (interchange),
dan lain-lain.
Sayangnya, sebagai penonton kita selalu terbuai dengan 'keajaiban'
yang dipertontonkan itu, terpesona dan terkesima tanpa berusaha
memahami fakta sesungguhnya dibalik 'keajaiban' itu. Bahkan tak ada
keberanian sedikitpun untuk menggugat dan mempertanyakannya, apakah
ini nyata atau sekedar ilusi. Akibatnya praktek sulap menyulap yang
dipertontonkan itu seolah dianggap sebagai kelaziman. Lebih parah lagi
sebagian orang bahkan menganggapnya sebagai hiburan, 'bukan Banten
kalau tidak aneh bin ajaib' begitu kata mereka.
Tahun demi tahun praktek sulap menyulap itu dipertontonkan secara
rutin dan didokumentasikan sebagai laporan. LKPJ misalnya, adalah
dokumen tahunan yang berisi Laporan Keajaiban Pesulap berJas, yang
mampu menyihir rasionalitas kita untuk mempercayai kegagalan sebagai
sebuah keberhasilan, dan korupsi sebagai kesalahan administrasi bahkan
prestasi. Demikian juga APBD yang disahkan setiap tahunnya, yang lebih
merupakan hasil kompromi para pesulap yang disahkan melalui sidang
paripurna Dewan Pesulap Rakyat Daerah yang sebelumnya juga berhasil
menyulap perubahan RPJMD guna mengakomodasi kegagalan pemerintah dalam
menunaikan janji-janjinya.
Peristiwa terkini yang menyeret mantan kepala biro perlengkapan
provinsi adalah bukti praktek sulap yang dilakukan berulang-ulang
dengan modus yang sama selama ini, perampokan uang rakyat melalui
manipulasi harga tanah yang berkisar antara Rp.5000-Rp.15.000/m namun
dibayar oleh Pemerintah dengan harga Rp.365.000/m. Pertanyaannya, bila
modus ini sering dilakukan, mengapa hanya ini yang terungkap ?
Jawabnya sederhana, mungkin benar kata pepatah yang masyhur di
kalangan para pesulap, bahwa 'sepandai-pandainya para pesulap, sekali-
kali khilaf jua', juga pesan lain yang sering diucapkan para pesulap
saat beraksi di televisi, 'Don't try this at home, cause it will hurt
you'.
Penutup
Media tampaknya juga berperan dalam mensosialisasikan berbagai
'keajaiban' di muka. Advertorial pesanan yang membanjiri media
menjelang Pemilukada, menjadi ruang yang efektif untuk memanipulasi
informasi kepada rakyat. Fakta keterbelakangan yang sebenarnya sulit
dinafikkan dari eksistensi Banten hari ini, dimanipulasi sebagai
keberhasilan dengan menyajikan informasi yang tidak komprehensif.
Banten yang nyata-nyata gagal mewujudkan visi Banten Sehat 2010,
dimanipulasi dengan informasi terbatas mengenai sejumlah capaian di
bidang kesehatan, dengan menafikkan sejumlah realitas yang sangat
memprihatinkan, misalnya: Banten sebagai peringkat tertinggi kejadian
Tetanus Neonatorum pada bayi di Indonesia; juga peringkat tertinggi
persalinan oleh dukun beranak; provinsi dengan kasus Campak terbanyak
ke-2 di Indonesia; peringkat 5 kejadian gizi buruk di Indonesia dengan
jumlah lebih dari 179 ribu kejadian gizi buruk, serta provinsi
tertinggi prevalensi kecacingan secara nasional.
Demikian juga dengan fakta kegagalan Banten mencapai visi Banten
Cerdas 2008 yang gagal total lebih dahulu. Demikian juga fakta
kemiskinan dan kebodohan yang masih menjadi stigma Banten. Dengan
total pagu raskin mencapai 113.227 ton maka berarti ada sekitar
629.318 KK miskin yang berhak menerima raskin. Sementara masyarakat
selalu disuguhi data kemiskinan versi BPS yang jumlahnya hanya sebesar
750ribuan jiwa atau sekitar 7% saja dari jumlah penduduk Banten yang
kini mencapai 10,2 juta jiwa. Juga angka pengangguran yang tercatat
sebagai angka tertinggi secara nasional (14,67%), yang dimanipulasi
menjadi hanya sekitar 6,5% dengan menggunakan metode yang tidak lazim
guna memanipulasi kegagalan ini.
Terlepas dari konteks itu semua, kemampuan elit lokal untuk menyulap
sistem politik dan demokrasi kita nampaknya patut diacungi jempol
sebagai menjadi catatan pamungkas artikel ini. Demokrasi yang
sejatinya menjamin sirkulasi kepemimpinan dari, oleh, dan untuk rakyat
pada kenyataannya disulap sehingga melahirkan aristokrasi dan
oligarki. Kepemimpinan politik yang dipilih melalui sistem yang
demokratis, namun justru menghasilkan aristokrasi baru sebagai output-
nya yang kemudian menghegemoni kekuasaan dan seluruh sumberdaya daerah
sehingga membentuk rejim otoritarian yang berbaju demokrasi. Yang
paling parah adalah bahwa demokrasi kita mampu menyulap seorang
'bandit' menjadi politisi yang sangat dicintai rakyatnya. Ini tentu
magic tingkat tinggi yang sulit dicari bandingannya di belahan bumi
manapun. Dan mungkin karena keajaiban ini, suatu saat Banten akan
menjadi kiblat para pesulap dari seluruh dunia. Dan kalau Baghdad
dikenal sebagai negeri seribu satu malam, maka mungkin tepat bila
Banten digelari dengan 'negeri seribu satu magic'.
Dan pertanyaan akhir yang tersisa adalah, mengapa ini bisa terjadi ?
Jawabnya sangat sederhana, ternyata tanpa disadari kita telah memilih
para pesulap sebagai pemimpin kita, di pusat maupun daerah. Akibatnya,
simsalabim abrakadabra, kapanpun dibutuhkan mereka dapat menyulap
hidup rakyatnya menjadi seolah-olah makmur dan sejahtera, padahal
sesungguhnya hanya ilusi belaka.
Akhirnya, semua penggunaan kata 'pesulap' dalam artikel ini tentu
tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan profesi para pesulap yang
sebenarnya. Justru dengan tulisan ini mungkin kita bisa berharap akan
ada semacam 'Dewan Kehormatan Pesulap' yang berani menghukum para
pesulap gadungan itu, yang telah mencemarkan nama baik dan kehormatan
pesulap karena telah mempraktekkan ilmu sulap tidak pada tempatnya.
Entahlah. Jangan-jangan, saya pun sedang menyulap opini anda untuk
tidak lagi percaya pada pesulap yang saat ini memimpin kita. Nah,
kalau yang terakhir ini tampaknya Saya berani meyakinkan anda bahwa
ini bukan sulap, karena hati dan pikiran kita pasti akan segera
membenarkan substansi yang saya tuliskan pada artikel ini. Semoga… [.]
Sumber: www.tabloiddbuz.com
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment