Thursday, May 19, 2011

[Milis_Iqra] Re: “Menjernihkan Tafsir Pancasila”

setuju

On May 19, 2:13 pm, "aendan...@yahoo.co.id" <aendan...@yahoo.co.id>
wrote:
> Sudahlah pancasila jangan dtafsiri lagi. Wong buatan manusia. Kecuali dikembalikan ke format aslinya sesuai dgn piagam jakarta, " ketuhanan dgn kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk pemeluknya"
> Selain itu hanya akan jadi sekuler dan hanya dijadikan alat politik,bahkan mungkin akan menjadikan kita fasik,musrik ,atau kafir karena mengganti hukum Allah yaitu Alquran dan Sunnah dgn sumber hukum lain.
> Wallahu'alam
>
> Salam
>
> Sent from BlackBerry® on 3
>
>
>
>
>
>
>
> -----Original Message-----
> From: Armansyah <armansyah.s...@gmail.com>
>
> Sender: milis_iqra@googlegroups.com
> Date: Thu, 19 May 2011 13:49:38
> To: Milis_Iqra@googlegroups.com<milis_iqra@googlegroups.com>
> Reply-To: milis_iqra@googlegroups.com
> Subject: [Milis_Iqra] "Menjernihkan Tafsir Pancasila"
>
> "Menjernihkan Tafsir Pancasila"
> Sumber :http://hidayatullah.com/read/17026/16/05/2011/%E2%80%9Cmenjernihkan-t...
>
> Dr. Adian Husaini
>
> HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan  berita berjudul:  "Kembalikan
> Pancasila dalam Kurikulum".  Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum
> Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan
> Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak
> boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan
> kewarganegaraan.
>
> "Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi
> bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus
> diajarkan secara tersendiri," kata Aburizal Bakrie.
>
> Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah
> upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah
> pintu gerbang  masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong,
> budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.
>
> Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh
> Ketua Umumnya.  Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak
> tentang Pancasila.  Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar,
> diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali "nasib
> Pancasila" yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang
> sangat rajin mengucapkan Pancasila.
>
> Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila,
> seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan
> sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan
> tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif
> sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic
> worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian
> dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.
>
> Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh
> konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar
> dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru.
> Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden
> Soeharto merumuskan Pancasila sebagai "Ideologi Negara Kesatuan Republik
> Indonesia". Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo
> merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk
> pindah agama.  "Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah
> agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara,
> maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa
> saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja."
>
> Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga
> merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral
> agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah
> ini:
>
> "Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa
> Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah
> banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula
> jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi
> kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada
> hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila." (J.B. Soedarmanta,
> Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).
>
> Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang
> Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus
> S.Hn.,  dalam bukunya, "Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila",  (1968),
> menulis: "Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan
> tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan,
> yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu
> agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma
> agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang
> ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan."
>
> Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, "Ketuhanan di Indonesia"
> (Semarang, 1968), menulis: "Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang
> ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang
> percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu." (Dikutip
> dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang:
> Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).
>
> Padahal, jika dicermati dengan jujur,  rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
> ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan,
> dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung
> Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan
> tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak
> lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo,
> menegaskan: "Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik
> tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai
> betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam." (Lihat, Hidup Itu
> Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal.
> 123-125.)
>
> Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah,
> yang akhirnya bersedia menerima penghapusan "tujuh kata" setelah diyakinkan
> bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan
> oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta
> untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma,
> (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
>
> Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot
> dalam mempertahankan rumusan "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
> syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan
> susah payah.  Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam
> lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia,
> misalnya, setuju agar kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapuskan.  Tapi,
> karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan
> Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di
> dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya
> tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan
> tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa,
> bukan sekedar "Ketuhanan", sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato
> tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk
> akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).
>
> Dalam bukunya, "Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
> Terpimpin" (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad
> Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya
> sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang
> menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya,
> dan setuju mengganti "tujuh kata" dengan "Yang Maha Esa".  Syafii Maarif
> selanjutnya menulis: "Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut
> Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau
> delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid
> (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam."  Namun tidak
> berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan
> sila pertama menurut agama mereka masing-masing.  (hal. 31).
>
> Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan
> oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul
> "Hubungan Agama dan Pancasila" yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam
> Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta
> 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:
>
> "Kata "Yang Maha Esa" pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan
> imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula.
> Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata "Yang Maha Esa"
> merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan "Ketuhanan Yang
> Maha Esa" itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut
> akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat
> menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa." (Dikutip dari buku Kajian
> Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama
> 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama,
> 1991-1992).
>
> Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan
> Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan
> sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang
> tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya
> disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid
> maknanya, men-SATU-kan
>
> ...
>
> read more »

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment