---------- Forwarded message ----------
From: Abu Abdillah <abdullah_abu@hotmail.com>
Date: 2010/4/30
Subject: [assunnah] >>Adab Berhutang<<
To: assunnah assunnah <assunnah@yahoogroups.com>
ADAB BERHUTANG
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc
http://www.almanhaj.or.id/content/2716/slash/0
"Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?" ucap
salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka
beliau menjawab : "Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?"
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah
persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali
seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah
ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga diapun
terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ;
shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang
mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan
jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan, agar
sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam
mu'amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka seyogyanya juga
harus muslim juga dalam mu'amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)" [Al-Baqarah : 208]
Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak
dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian
lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam
mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau
sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan
yang terlarang dan yang tercela.
Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan
bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang
merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu'amalat. Di
dalam Al-Qur'an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat
yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat
Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini,
dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan
seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.
HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu
; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" [Al-Baqarah : 282]
Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya
menyatakan : "Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu'amalah yang
menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini
menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut
cabang (fikih)" [1]
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk
hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu'amalah dengan transaksi non
tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan
lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah mengingatkan salah satu ayat : "Hal itu lebih adil di sisi Allah
dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan" [2]
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Maka tulislah …" maksudnya adalah
tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu
pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara
transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi
kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk
ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang
lainnya. Oleh karena itu, disyari'atkan untuk melakukan pembukuan
hutang dan mendatangkan saksi" [3]
"Maka tulislah…", secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya
dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila
suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]
BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain
merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari'at,dan merupakan
salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam : "Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan
dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan melapangkan untuknya
kedukaan akhirat"
Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan
keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih
utama?
Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari'at, akan tetapi
dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang
selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia
berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah,
karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti
membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat
itu membutuhkannya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa
beliau berkata kepada Jibril : "Kenapa hutang lebih utama dari
sedekah?" Jibril menjawab, "Karena peminta, ketika dia meminta dia
masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang,
kecuali karena suatu kebutuhan". Akan tetapi hadits ini dhaif, karena
adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]
Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika
dilakukan sesuai tuntunan syari'at. Yang pantas disesalkan, saat
sekarang ini orang-orang tidak lagi wara' terhadap yang halal dan yang
haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak
oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang
menjajikan.
Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang
baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang.
Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ;
ketika wafat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih berhutang
kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk.
Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan
yang tidak baik.
ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : "Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka
hukumnya riba". Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau
menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan
tabi'at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang
yang mengerti membalas budi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : "Hendaklah diketahui,
tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan
yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan "saya beri
anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan
sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda
hadiahkan kepadaku sesuatu". Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan
tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah
yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan
sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang
ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.
[6]
2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tertera dalam surat
Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia
telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya
dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal
seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara
keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang
sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut,
saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata.
كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ
مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا
سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ
فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
"Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan
usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata,
"Berikan kepadanya" kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya,
akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari
untanya. Nabi (pun) berkata : "Berikan kepadanya", Dia pun menjawab,
"Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala membalas dengan setimpal". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik
dalam pengembalian" [7]
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu ia berkata.
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي
"Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di masjid, sedangkan
beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam
menambahkannya" [8]
3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk
membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan
tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya,
maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membinasakannya" [9]
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang,
karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa
banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya,
sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya,
ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh
dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah
Subhanahu wa Ta'ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak
kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang
tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan
akhirat yang baqa (kekal)?
4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena
ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang
meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke
dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan
dengan harga lebih mahal dari biasanya.
5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya
memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di
pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan
membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً
" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [An-Nisa : 58]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, telah bersabda
Rasulullah : "Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku
tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku
sisihkan untuk pembayaran hutang" [HR Bukhari no. 2390]
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.
a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata. :
أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ
فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا
فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ
قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ
قَضَاءً
"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat
hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam berkata,
"Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan
untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya". Mereka (para sahabat)
berkata : "Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari
untanya". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Belikan
untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian
ialah yang paling baik dalam pembayaran" [11]
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang
yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no.
20
b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم
"Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman" [12]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. :
لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه
"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya".
Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan
'engkau telah menunda pebayaran' dan menghukum dengan memenjarakannya"
[13]
c.Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ
"Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut,
maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya" [14]
d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh
hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi
apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, "Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli" [15]
Bahkan Dawud berkata, "Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia
tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu
dilakukan, maka dikembalikan" [16]
Kemungkinan –wallahu a'lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.
6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah
orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan
pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang
menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud
kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.
8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
"Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya" [17]
9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan
kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus
menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ
"Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman.
Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka
hendaklah dia menurutinya. [18]
10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas
hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa'at) untuk
memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : (Ayahku)
Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka
aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah
hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka.
(Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata, "Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid
satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu
datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka
sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]
BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan
dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian
pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu
pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat
baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang
berhutang.
Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.
1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut,
dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan
pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah
di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya
dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih
ringan bebannya.
2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran
waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi
hutangnya.
Dari Hudzaifah Radhyallahu 'anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Suatu hari ada seseorang
meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang
engkau perbuat? Dia menjawab. :
كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ
"Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang
mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam
kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala)". [20]
3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara
membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi
pinjamannya.
Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih.
Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi
jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya
atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua
kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.
Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli onta
dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di
Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran
dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.
Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu
dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman.
Thalhah berkata, "Uangmu telah cukup, maka ambillah!". Namun Utsman
menjawab : "Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga
muruah (martabat)mu".
Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu 'anhu merasa bahwa
saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya :
"Mereka malu dengan hutangnya kepadamu", dia (Qais) pun menjawab,
"Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk
saudaranya!", Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan :
"Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas".
Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang
menjenguk. [21]
Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan
kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan
mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam
permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan
menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta'ala yang dititipkan kepadanya
kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir,
hendaklah hidup dengan qana'ah dan ridha dengan apa yang telah
ditentukan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuknya.
Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang,
dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang
halal dan baik.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl.
Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Ahkamul Qur'an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma'rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur'an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami' Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud,
kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal
Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin
Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263
------------------------------------
Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscribe@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
assunnah-digest@yahoogroups.com
assunnah-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
assunnah-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
From: Abu Abdillah <abdullah_abu@hotmail.com>
Date: 2010/4/30
Subject: [assunnah] >>Adab Berhutang<<
To: assunnah assunnah <assunnah@yahoogroups.com>
ADAB BERHUTANG
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc
http://www.almanhaj.or.id/content/2716/slash/0
"Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?" ucap
salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka
beliau menjawab : "Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?"
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah
persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali
seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah
ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga diapun
terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ;
shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang
mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan
jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan, agar
sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam
mu'amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka seyogyanya juga
harus muslim juga dalam mu'amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)" [Al-Baqarah : 208]
Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak
dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian
lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam
mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau
sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan
yang terlarang dan yang tercela.
Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan
bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang
merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu'amalat. Di
dalam Al-Qur'an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat
yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat
Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini,
dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan
seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.
HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu
; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" [Al-Baqarah : 282]
Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya
menyatakan : "Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu'amalah yang
menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini
menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut
cabang (fikih)" [1]
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk
hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu'amalah dengan transaksi non
tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan
lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah mengingatkan salah satu ayat : "Hal itu lebih adil di sisi Allah
dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan" [2]
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Maka tulislah …" maksudnya adalah
tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu
pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara
transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi
kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk
ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang
lainnya. Oleh karena itu, disyari'atkan untuk melakukan pembukuan
hutang dan mendatangkan saksi" [3]
"Maka tulislah…", secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya
dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila
suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]
BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain
merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari'at,dan merupakan
salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam : "Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan
dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan melapangkan untuknya
kedukaan akhirat"
Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan
keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih
utama?
Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari'at, akan tetapi
dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang
selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia
berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah,
karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti
membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat
itu membutuhkannya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa
beliau berkata kepada Jibril : "Kenapa hutang lebih utama dari
sedekah?" Jibril menjawab, "Karena peminta, ketika dia meminta dia
masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang,
kecuali karena suatu kebutuhan". Akan tetapi hadits ini dhaif, karena
adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]
Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika
dilakukan sesuai tuntunan syari'at. Yang pantas disesalkan, saat
sekarang ini orang-orang tidak lagi wara' terhadap yang halal dan yang
haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak
oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang
menjajikan.
Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang
baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang.
Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ;
ketika wafat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih berhutang
kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk.
Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan
yang tidak baik.
ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : "Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka
hukumnya riba". Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau
menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan
tabi'at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang
yang mengerti membalas budi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : "Hendaklah diketahui,
tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan
yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan "saya beri
anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan
sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda
hadiahkan kepadaku sesuatu". Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan
tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah
yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan
sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang
ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.
[6]
2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tertera dalam surat
Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia
telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya
dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal
seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara
keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang
sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut,
saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata.
كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ
مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا
سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ
فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
"Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan
usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata,
"Berikan kepadanya" kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya,
akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari
untanya. Nabi (pun) berkata : "Berikan kepadanya", Dia pun menjawab,
"Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala membalas dengan setimpal". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik
dalam pengembalian" [7]
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu ia berkata.
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي
"Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di masjid, sedangkan
beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam
menambahkannya" [8]
3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk
membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan
tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya,
maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membinasakannya" [9]
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang,
karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa
banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya,
sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya,
ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh
dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah
Subhanahu wa Ta'ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak
kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang
tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan
akhirat yang baqa (kekal)?
4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena
ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang
meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke
dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan
dengan harga lebih mahal dari biasanya.
5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya
memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di
pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan
membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً
" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [An-Nisa : 58]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, telah bersabda
Rasulullah : "Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku
tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku
sisihkan untuk pembayaran hutang" [HR Bukhari no. 2390]
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.
a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata. :
أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ
فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا
فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ
قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ
قَضَاءً
"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat
hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam berkata,
"Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan
untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya". Mereka (para sahabat)
berkata : "Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari
untanya". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Belikan
untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian
ialah yang paling baik dalam pembayaran" [11]
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang
yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no.
20
b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم
"Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman" [12]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. :
لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه
"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya".
Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan
'engkau telah menunda pebayaran' dan menghukum dengan memenjarakannya"
[13]
c.Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ
"Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut,
maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya" [14]
d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh
hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi
apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, "Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli" [15]
Bahkan Dawud berkata, "Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia
tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu
dilakukan, maka dikembalikan" [16]
Kemungkinan –wallahu a'lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.
6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah
orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan
pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang
menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud
kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.
8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
"Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya" [17]
9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan
kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus
menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ
"Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman.
Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka
hendaklah dia menurutinya. [18]
10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas
hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa'at) untuk
memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : (Ayahku)
Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka
aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah
hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka.
(Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata, "Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid
satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu
datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka
sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]
BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan
dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian
pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu
pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat
baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang
berhutang.
Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.
1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut,
dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan
pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah
di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya
dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih
ringan bebannya.
2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran
waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi
hutangnya.
Dari Hudzaifah Radhyallahu 'anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Suatu hari ada seseorang
meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang
engkau perbuat? Dia menjawab. :
كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ
"Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang
mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam
kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala)". [20]
3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara
membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi
pinjamannya.
Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih.
Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi
jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya
atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua
kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.
Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli onta
dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di
Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran
dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.
Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu
dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman.
Thalhah berkata, "Uangmu telah cukup, maka ambillah!". Namun Utsman
menjawab : "Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga
muruah (martabat)mu".
Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu 'anhu merasa bahwa
saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya :
"Mereka malu dengan hutangnya kepadamu", dia (Qais) pun menjawab,
"Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk
saudaranya!", Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan :
"Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas".
Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang
menjenguk. [21]
Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan
kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan
mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam
permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan
menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta'ala yang dititipkan kepadanya
kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir,
hendaklah hidup dengan qana'ah dan ridha dengan apa yang telah
ditentukan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuknya.
Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang,
dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang
halal dan baik.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl.
Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Ahkamul Qur'an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma'rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur'an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami' Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud,
kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal
Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin
Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263
------------------------------------
Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscribe@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
assunnah-digest@yahoogroups.com
assunnah-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
assunnah-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment