Monday, November 15, 2010

[Milis_Iqra] PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH

PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB BERDASARKAN
RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH

Oleh: Muhammad Shiddiq Al-Jawi*

Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan
satu ru'yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi'i menganut
ru'yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru'yat masing-masing negeri.
Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru'yat global,
yakni mengamalkan ru'yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya,
jika ru'yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru'yat itu
berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri
tidak dapat meru'yat.

Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha.
Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru'yat yang sama untuk Idul Adha.
Ru'yat yang dimaksud, adalah ru'yatul hilal (pengamatan bulan sabit)
untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk
Makkah. Ru'yat ini berlaku untuk seluruh dunia.

Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada
hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang
banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian,
dilanjutkan pada masa Khulafa' ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin,
Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.

Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma'luumun minad diini
bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral
ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa
sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di
Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara di muka bumi
yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. Sebab, Idul Adha di
Indonesia sering kali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq
(tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada Yaumun-nahr atau hari
penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).


Kewajiban kaum Muslim untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari
yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara'. Di
antaranya adalah sebagai berikut :

Hadits A'isyah RA, dia berkata "Rasulullah SAW telah bersabda :
"Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum Muslim) berbuka. Dan Idul
Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban." (HR. At-Tirmidzi dan
dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar,
[Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu
Hurairah RA dengan lafal :
"Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri
adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih
kurban." (HR.Tirmidzi) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut :
Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
Imam At-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul 'ilmi (ulama) menafsirkan
hadits ini dengan menyatakan :
"Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan
bersama jama'ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam]
dan sebahagian besar orang." (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar,
[Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
Sementara itu Imam Badrudin Al-'Aini dalam kitabnya Umdatul Qari
berkata, "Orang-orang (kaum Muslim) senantiasa wajib mengikuti Imam
(Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam
berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka."

Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan,
beridul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal
hadits: an-Naas), yaitu maksudnya bersama kaum Muslim pada umumnya,
baik tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti
dulu, maupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam kurungan negara-
kebangsaan seperti saat ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun
1924.

Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian,
atau berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian).
Yang benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama
kaum Muslim pada umumnya.

(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata:
"Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
"Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik
haji berdasarkan ru'yat. Jika kami tidak berhasil meru'yat tetapi ada
dua saksi adil yang berhasil meru'yat, maka kami melaksanakan manasik
haji berdasarkan kesaksian keduanya." (HR Abu Dawud [hadits no 2338]
dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,'Ini
isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.' Lihat Imam Syaukani,
Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no
1629)

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan
hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat
adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan
perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari
dimulainya manasik haji berdasarkan ru'yat.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan
manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di
Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru'yat
penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru'yat penduduk Madinah,
penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam
kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik
haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari
kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut
syara'. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib
beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu
tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka
pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama
dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :

"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di
Arafah" (HR. Abu Dawud, An Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya,
Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000],
hal. 875, hadits no 1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi'i berkata, "Disunnahkan
berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang
bukan jamaah haji."

Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai
kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib 'ain
atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari'atkan puasa bagi selain
jamaah haji pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di
Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih
dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.
Karena itu, atas dasar apa kaum Muslim di Indonesia justru berpuasa
Arafah pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang
sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah
berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar
apa pula mereka Shalat Idul Adha di luar waktunya dan malahan shalat
Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari
Tasyriq)?

Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid'ah yang munkar
(bid'ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang
masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!

Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan
hadits:
"Berpuasalah kalian karena telah meru'yat hilal (mengamati adanya
bulan sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah
meru'yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka
perkirakanlah !"
Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan
perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam
dan untuk membolehkan pengalaman ilmu hisab, adalah istidlal yang
keliru. Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :

Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak
menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak
langsung. Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha.
Maka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk
membolehkan perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/
tempat peredaran) bulan dan perbedaan mathla' (tempat/waktu terbit)
hilal, di antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla' hilal itu
sendiri faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab, bulan lahir di langit
pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku
untuk bumi seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu
pengamatan, ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih
terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.

Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul
Fitri berdasarkan ru'yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada
hadits tersebut tak terdapat sedikit pun "dalalah" (pemahaman) yang
membolehkan pengalaman ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan
dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi: "(……
jika pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu!"
maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan
menyempurnakan bilangan Sya'ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila
kesulitan melakukan ru'yat
.
Ketiga, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk
Idul Adha dengan jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak boleh ada dalam
perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah– maka hadits
tersebut justru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits
Al-Jadali RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji.
Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah memberikan kewenangan kepada
Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru'yat bagi bulan Dzulhijjah dan
untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru'yat penduduk Makkah
(bukan ru'yat kaum Muslim yang lain di berbagai negeri Islam).
Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda sendiri
dari negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya
Islam. Indonesia tidak boleh menentang ijma' (kesepakatan) seluruh
kaum Muslim di seantero pelosok dunia, karena seluruh negara
menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan ru'yat
penduduk Hijaz. Sungguh, tak ada yang menyalahi ijma' kaum Muslim itu,
selain Indonesia !

Lagi pula, atas dasar apa hanya Indonesia sendiri yang menentang ijma'
tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum
Muslim? Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara pertama yang
mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi'ah) sehingga para
umaro' dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosanya dan dosa dari
orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti?

Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini
sesungguhnya terpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan
Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih
negara kebangsaan yang direkayasa oleh kaum kafir penjajah.

Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan
kesatuan Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bahwa naungan
Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum
Muslim di seluruh dunia, serta akan memimpin kaum Muslim untuk
menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak
lama lagi !

Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !

*)Dosen STEI Hamfara Yogyakarta; Ketua Lajnah Tsaqofiyah HTI Propinsi
DIY; Anggota Komisi Fatwa MUI Propinsi DIY.

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment