http://www.pedomannews.com/nasional/...ang-konstitusi
PERNYATAAN salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Ridwan, yang mengharamkan hormat kepada bendera merah putih mendapat kecaman keras dari berbagai pihak, salah satunya dari Pakar filsafat politik Universitas Indonesia, Rocky Gerung.
Menurut Rocky Gerung tidak pantas ada seorang ketua lembaga, yang mana lembaga tersebut di biayai oleh uang negara mengatakan hal tersebut di ranah publik dan apalagi menggunakan idiom-idiom agama bukan idiom-idiom negara.
“Kan dia pake istilah haram, bukan melanggar hukum. Justru itu sebuah lembaga negera memakai idiom-idiom non negara, yaitu idiom agama. Jadi itu pendapat pripadi di susupkan melalui lembaga negara lalu menjadi pendapat publik, nah itu bodohnya di situ,” ujarnya kepada PedomanNEWS.com melalui sambungan telepon, Jumat (25/03/2011).
Rocky menduga bahwa ketua MUI tersebut tidak memahami prinsip-prinsip kewarganegaraan, bahwasanya orang dalam sebuah negara itu terikat pada konstitusi dan bukan pada doktrin-doktrin teologis.
“Dia tidak mengerti prinsip-prinsip kewarganegaraan, bahwa orang di dalam negara itu terikat pada konstitusi, pada hukum bukan pada doktrin-doktrin teologis. Sebagai orang beragama dia terikat pada dokrin itu (agama) , jadi kalau dia sebagai warga negara dia mesti lepaskan doktrin itu,” katanya.
Sebelumnya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Ridwan menyampaikan hal tersebut setidaknya karena berpatokan pada fatwa sejumlah ulama Saudi Arabia yang bernaung dalam Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Riset Fatwa (Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta) yang telah mengeluarkan fatwa dengan judul “Hukum Menyanyikan Lagu Kebangsaan dan Hormat Bendera”, tertanggal 26 Desember 2003.
Yang mana fatwa tersebut isinya “tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan”.
Kembali lagi pada pendapat Rocky. Menurutnya yang menjadi titik persoalannya bukan pada wilayah haram atau halal menghormat bendera, tapi yang menjadi persoalannya ialah soal media penyampaiannya. Mengapa disampaikan dalam ruang publik? Mengapa tidak hanya di sampaikan dalam ruang privat, seperti Masjid atau sebagainya.
“Kalau dia mau ucapkan itu di gereja, masjid, atau pura ya silakan saja. Tapi jangan di ucapkan menjadi pendapat publik, sebab sesuatu yang bersifat pikiran religi personal tidak boleh di edarkan mejadi pendapat publik. Apa lagi oleh sebuah lembaga yang di biayai oleh dana publik yaitu pajak. Jadi gampangnya MUI itu buta huruf tentang konstitusi. Jadi dia mesti ucapkan pandangan publik dan bukan pandangan privat didalam urusan negara,” tegas Rocky. []
Regards
F a i z a L
No comments:
Post a Comment