Friday, May 20, 2011

Re: [Milis_Iqra] “Menjernihkan Tafsir Pancasila”

Sekedar untuk menjernihkan diri kita sendiri :

Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum
kamu pun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat
yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari
kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan
(juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang
diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan
Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar
dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang
patut diutamakan.

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang
telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu
kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka
melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka
menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang
mereka terima.

Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji
terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka
bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.

[Ali Imran 184-189]

On 5/19/11, Armansyah <armansyah.skom@gmail.com> wrote:
> "Menjernihkan Tafsir Pancasila"
> Sumber :
> http://hidayatullah.com/read/17026/16/05/2011/%E2%80%9Cmenjernihkan-tafsir-pancasila%E2%80%9D.html
>
>
> Dr. Adian Husaini
>
> HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan berita berjudul: "Kembalikan
> Pancasila dalam Kurikulum". Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum
> Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan
> Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak
> boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan
> kewarganegaraan.
>
> "Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi
> bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus
> diajarkan secara tersendiri," kata Aburizal Bakrie.
>
> Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah
> upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah
> pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong,
> budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.
>
> Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh
> Ketua Umumnya. Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak
> tentang Pancasila. Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar,
> diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali "nasib
> Pancasila" yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang
> sangat rajin mengucapkan Pancasila.
>
> Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila,
> seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan
> sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan
> tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif
> sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic
> worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian
> dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.
>
> Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh
> konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar
> dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru.
> Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden
> Soeharto merumuskan Pancasila sebagai "Ideologi Negara Kesatuan Republik
> Indonesia". Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo
> merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk
> pindah agama. "Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah
> agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara,
> maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa
> saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja."
>
> Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga
> merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral
> agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah
> ini:
>
> "Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa
> Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah
> banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula
> jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi
> kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada
> hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila." (J.B. Soedarmanta,
> Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).
>
> Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang
> Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus
> S.Hn., dalam bukunya, "Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila", (1968),
> menulis: "Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan
> tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan,
> yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu
> agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma
> agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang
> ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan."
>
> Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, "Ketuhanan di Indonesia"
> (Semarang, 1968), menulis: "Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang
> ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang
> percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu." (Dikutip
> dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang:
> Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).
>
> Padahal, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
> ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan,
> dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung
> Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan
> tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak
> lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo,
> menegaskan: "Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik
> tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai
> betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam." (Lihat, Hidup Itu
> Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal.
> 123-125.)
>
> Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah,
> yang akhirnya bersedia menerima penghapusan "tujuh kata" setelah diyakinkan
> bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan
> oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta
> untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma,
> (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
>
> Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot
> dalam mempertahankan rumusan "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
> syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan
> susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam
> lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia,
> misalnya, setuju agar kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapuskan. Tapi,
> karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan
> Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di
> dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya
> tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan
> tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa,
> bukan sekedar "Ketuhanan", sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato
> tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk
> akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).
>
> Dalam bukunya, "Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
> Terpimpin" (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad
> Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya
> sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang
> menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya,
> dan setuju mengganti "tujuh kata" dengan "Yang Maha Esa". Syafii Maarif
> selanjutnya menulis: "Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut
> Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau
> delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid
> (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam." Namun tidak
> berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan
> sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hal. 31).
>
> Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan
> oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul
> "Hubungan Agama dan Pancasila" yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam
> Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta
> 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:
>
> "Kata "Yang Maha Esa" pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan
> imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula.
> Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata "Yang Maha Esa"
> merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan "Ketuhanan Yang
> Maha Esa" itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut
> akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat
> menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa." (Dikutip dari buku Kajian
> Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama
> 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama,
> 1991-1992).
>
> Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan
> Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan
> sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang
> tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya
> disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid
> maknanya, men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan
> sifat-sifat-Nya. Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam,
> yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan
> Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya.
>
> Kata "Allah" juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: "Atas berkat
> rahmat Allah….". Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan
> konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah
> sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan,
> bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi
> Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa
> dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut.
>
> Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa
> Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah "Deklarasi
> tentang Hubungan Pancasila dengan Islam", yang antara lain menegaskan: (1)
> Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah
> agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk
> menggantikan kedudukan agama. (2) Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai
> dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar
> (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
> pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah
> akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan
> hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan
> perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat
> agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban
> mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang
> murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa
> Bisri berjudul "Pancasila Kembali" untuk buku As'ad Said Ali, Negara
> Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
>
> Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan
> untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat
> Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia
> dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat
> Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak
> terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam
> akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada
> Proklamasi. "Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama
> sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi," kata Natsir. Lebih jauh
> Natsir menyampaikan, "Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus
> menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam
> dalam kehidupan bangsa dan negara kita"
>
> Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan
> ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak
> berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa
> Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2).
>
> Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek
> indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
> Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi,
> lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi
> wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Di
> Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP,
> Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul "Gejala Perongrongan Agama".
> Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof.
> Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.
>
> "Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir
> tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji
> menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah.
> Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu
> uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan
> sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya
> ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup
> Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi
> Pancasila."
>
> Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 –
> termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil
> dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan
> adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting.
> Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya
> Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah
> dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.
>
> Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah
> SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi
> kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak
> beradab.
>
> Jadi, jika Golkar atau siapa pun bersungguh-sungguh menegakkan Pancasila di
> Indonesia, siapkah Golkar menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia?
> Wallahu a'lam bil-sahawab.*
>
> Paparan lebih lengkap tentang Pancasila bisa dilihat dalam buku: Adian
> Husaini, "Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam"
> (Jakarta: GIP, 2010).
>
> Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107
> FM
>
> Red: Cholis Akbar
>
> --
> Salamun 'ala manittaba al Huda
>
>
>
> ARMANSYAH
>
> --
> -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
> Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
> dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
>
> Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang
> berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
>
> Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
> Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
> Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
> Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
> -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment