Tuesday, June 14, 2011

[Milis_Iqra] Siapa yang Lebih Membahayakan NKRI?

[hidayatullah.com]DALAM sebuah wawancara dengan situs Kristen
Reformata berujudul, "Tujuan Mereka Adalah Negara Islam!" (di Posting
07 Juni 2011), Kepala BNPT Ansyaad Mbai untuk kesekian kalinya mencoba
menjelaskan cara pandangnya terhadap persoalan radikalisme dan
terorisme di Indonesia.

Di kota Makasar-Sulsel, BNPT juga pernah menggelar seminar nasional
bertajuk "Ayo Lawan Terorisme", di Balai Prajurit M Yusuf, Makassar,
Rabu (25 Mei 2011). Saat itu, tampil sebagai pemateri, Kepala BNPT
Ansyaad Mbai, Perwakilan Kedutaan Australia Andrew Barner, Gubernur
Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Perwakilan Kadin Indonesia Wibawanto
Nugroho, Ketua Komisi I DPR RI Luthfi Hasan Ishak dan dipandu Guru
Besar UIN, Prof Dr Hamdan Juhannis.

Mbai dihadapan ratusan remaja dan mahasiswa juga mengulang penjelasan
yang sama seperti diberbagai forum sebelumnya. Penulis melihatnya hal
ini wajar. Beliau harus bicara di mana-mana dengan konten seperti itu
karena posisinya di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Tapi yang menjadi tidak wajar jika kita menguji pemikiran (doktrin)
Mbai terkait persoalan terorisme dan akar masalahnya. Dalam
wawancaranya dengan situs Reformata minimal ada beberapa poin yang
bisa kita uji kesahihannya.

Pertama; ia mengatakan, ciri-ciri radikalisme (mengutip pandangan Gus
Dur dalam buku Ilusi Negara Islam), antara lain bahwa kelompok itu
suka mengkafirkan orang. "Jangankan yang berbeda agama, yang berbeda
saja, dalam tata ibadah misalnya, itu sudah dianggapnya kafir."

Kedua, beliau juga mengatakan, ciri-ciri mereka selalu mengatasnamakan
Tuhan untuk menghukum yang lain. "Tujuan gerakan mereka adalah ingin
mengubah negara bangsa menjadi negara agama. Ganti ideologi Pancasila
dengan Islam versi mereka, mengganti NKRI dengan khilafah. Ini ancaman
bagi NKRI, karena itu Presiden selalu mengatakan, negara tidak boleh
kalah, bagitu katanya.
Ketiga, Mbai juga mengatakan begini; "jelas tujuan mereka adalah
Negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam."

Ada banyak hal yang perlu ditanggapi masalah ini. Pertama, cara main
kutip tanpa memperhatikan kredibilitas buku adalah sangat berbahaya.
Lebih-lebih referensinya buku "Ilusi Negara Islam" terbitan LibForAll
Foundation (kerjasama The Wahid Institut dengan Ma'arif Institut dan
Gerakan Bhineka Tunggal Ika yang diluncurkan 16 Mei 2009) ini telah
banyak menuai kritikan.

Empat peniliti asal Yogyakarta, Zuli Qodir, Adur Rozaki, Laode Arham,
Nur khalik Ridwan, memprotes isi buku "Ilusi Negara Islam" tersebut.
Buku itu dinilai tidak sesuai dengan yang diteliti dan isinya "mengadu
domba" umat Islam. Aneh bukan?

Buku yang memuat hasil penelitian mereka (4 orang di atas), tapi
justru ketika jadi buku isinya jauh dari apa yang ditelitinya. Isi
dari buku telah menyimpang dari yang mereka teliti selain mereka juga
tidak dilibatkan dalam proses penerbitan. Dan tujuan penerbitan di
nilai telah bergeser dari riset yang semula bertujuan akademik kepada
kepentingan politis. Dan ini diperkuat hampir semua peneliti daerah
yang namanya tercantum dalam buku tersebut tidak pernah diajak untuk
berdialog menganalisis temuannya dalam kerangka laporan hasil
penelitian yang utuh. Di catutnya para peneliti daerah hanya untuk
melegitimasi kepentingan politis pihak asing. Sebagaimana dilakukan
Holland Taylor dari Lib For All, Amerika Serikat yang begitu dominan
bekerja dalam kepentingan riset dan penerbitan buku itu. Jika malu
mengatakan buku ini ilmiah. Dari sini saja sudah bermasalah, kenapa
hasilnya juga dipaksakan seolah itu pendapat shahih? Apalagi yang
disimpulkan itu masalah penting, menyangkut syariat Islam.

Serasa lebih aneh lagi dengan buku tersebut ketika mencantumkan Gus
Dur menjadi editornya. Padahal, pada saat itu Gus Dur terganggu
penglihatannya sehingga tidak mungkin Gus Dur bisa mengeditnya, aneh
bukan?

Penulis pernah menjadi salah satu penanggap dalam diskusi terbatas
yang di lakukan Litbang Depag Pusat (Tahun 2010), membahas buku "Ilusi
Negara Islam" dengan menghadirkan salah satu narasumbernya adalah
Direktur The Wahid Institute. Banyak perserta diskusi mengkritisi dan
tidak puas bahkan meragukan kredibilitas dan intelektualistas orang-
orang The Wahid Institute jika mengacu kepada produk buku "Ilusi
Negara Islam". Sebuah buku yang substansinya sarat adu domba dan tidak
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buku yang cacat secara
ilmiah. Namun tetap saja, buku ini tak pernah direvisi dan tidak
pernah ditarik. Bagaimana mungkin sebuah istitusi riset masih saja
mengeluarkan buku bermasalah? Ada apa ini?

Rupanya, buku semacam inilah yang dijadikan referensi Ansyaad Mbai
untuk menjelaskan doktrin-doktrinya siapakah yang dianggap radikal
atau yang bukan radikal. Apalagi itu dilakukan dengan sebuah parameter
yang gegabah dan sarat dengan cara pandang yang tendensius.

Dengan tetap memaksakan menggunakan buku "Ilusi Negara Islam", Mbai,
kata orang Jawa, ingin "nggepuk, nyilih tangan" (memukul dengan
meminjam tangan orang, red).

Bagi Mbai --seperti yang pernah ia ungkapkan juga di Loka Karya Sespim
27 Oktober 2009-- pada umumnya jika seorang mempunyai persepsi
(mindset) tentang adanya kondisi yang menindas secara terus menerus
oleh Barat pimpinan AS terhadap Islam. Dan kemudian menganggap bahwa
kondisi tersebut adalah ketidakadilan yang harus diubah maka cukup
seorang bisa di labeli Radikal bahkan teroris. Nah, jika itu alasanya,
akan banyak para intelektual dan para pengamat politik yang masuk
kategori "radikal" dan "teroris". Apalagi jika dikaitkan dengan
kewajiban dalam Islam "amar makruf nahi munkar", berapa juta orang
yang akan masuk radikal jika mereka dengan beraninya mengkritisi
setiap kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa atau oleh negara
imperialis semacam Amerika?

Sungguh naïf sekali jika pendapatnya untuk mengidentifikasi seorang
itu radikal atau tidak dengan ciri-ciri sangat sederhana. Bahkan
terlihat lebay memberikan label radikal jika ada seorang mengkafirkan
orang lain karena berbeda dalam masalah ibadahnya. Betulkah demikian?
Apakah ada di ormas Islam NU, Muhamadiyah, AL Wasilah, Al Irsyad atau
DDII saling mengkafirkan karena perbedaan dalam wilayah ibadah
(furu'iyah)? Umat Islam tak sebego itu melakukannya. Mereka memang
berbeda pendapat, namun mengkafirkan orang itu bukan masalah main-
main. Hukumannya sangat berat. Jadi di mana ada ormas atau kelompok
Islam saling mengkafirkan? Dari mana dapat data itu? Mengapa hal
seperti ini diungkapkan di publik tanpa data akurat?

Umat Islam "sudah melek akidah dan fiqh", tak akan mengkafirkan atau
memurtad kan orang" hanya untuk urusan furu'iyah(cabang-cabang
ibadah).

Kedua, lebih setia mana kelompok Islam dan pesantren dengan kelompok
yang mengusung semangat etno-nasionalism atau separatism seperti OPM
(organisasi Papua Merdeka) dan Republik Maluku Selatan (RMS)? Ribuan
pesantren di Indonesia hadir justru untuk membantu pemerintah
mengatasi kemiskinan dan tingkat buta huruf. Harusnya beruntung
pemerintah pada mereka yang ingin mendirikan sekolah-sekolah gratis
dan menyelanggarakan pendidikan tanpa bantuan pemerintah. Betapa
pusingnya pemerintah jika semua harus ditanggung. Sedang mengurusi
Century dan operasinya Malinda Dee saja sudah pusing.

Banyak mahasiswa aktif di masjid-masjid kampus. Mereka rajin shalat
dan rajin belajar. Karena sifat berislam itu, jika ia makin beriman,
maka ia majin rajin dan ingin berprestasi. Maka tak sedikit aktivis
kampus itu menjadi peneliti, doktor dan profesor dan akhirnya menjadi
cendekiawan yang akhirnya membantu dan menjadi mitra pemerintah juga.

Mereka kuliah sembari belajar agama, supaya mereka tidak menjadi
ilmuwan, politisi atau teknokrat yang koruptor. Sudah beruntung
pemerintah tidak mengeluarkan biaya training mereka selama kuliah. Lha
kok para aktivis Islam ini justru "diburu?" dan dimasuk-masukkan
kategori "radikal" dan "teroris". Mengapa bukan para bandar narkoba
yang merusak mental jutaan remaja kita?

Kenapa pula BNPT dengan Densus 88 tidak bekerja keras menangkap OPM,
RMS dan bandar narkoba dan para koruptor selama 7 kali 24 jam?
Sementara hingga saat ini lebih dari 600 orang aktifis Islam dalam bui
rezim karena dikaitkan dengan "terorisme".

Di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing.
Di antaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%,
Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico
Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas,
2009).

Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Porsi operator
minyak dan gas, 75 % dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset
perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing
60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan
diperdagangkan di bursa efek. Dari semua BUMN yang telah
diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Begitu pula
telekomunikasi dan industri sawit pun juga lebih banyak dikuasai asing
(lihat, Kompas, 22/5).

Lantas siapa sebenarnya yang membahayakan NKRI? Jika kita telisik
banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan kedaulatan
NKRI hanya menjadi mimpi di siang bolong.

Ketiga, Mbai mencontohkan Malasyia dan Singapura tentang perangkat
hukum. Menurutnya, Malaysia sangat keras terhadap kelompok Islam.
Menurutnya, di sana, radikalis tidak memiliki ruang gerak. Ia
mencontohkan Mahathir, mantan perdana menteri Malaysia yang dianggap
tegas. Sebbab semua ceramah, dakwah atau apa pun yang ditengarai
menyebarkan permusuhan dan kebencian, itu ditangkap dan dimonitor.
Sungguh aneh, apa yang dilakukan Mahatir (yang sebenarnya ingin meniru
Pak Harto) dianggap mundur. Sebab di hari akhir, pak Harto merevisi
kebijakannya semasa Orde Baru. Lha kok pak Mbai ingin kita seperti
Orde Baru lagi?

Atau mungkinkah pemerintah ingin menerapkan kembali masa Orde Baru,
sebagaimana kini diterapkan di Malaysia? Di mana semua masjid akan
diberi kamera? Aktivis Islam ditangkapi dan dipenjara? Mengapa tak
berkaca pada jatuhnya Soeharto, Revolusi di Mesir, Aljazair dan
beberapa Negara Timur Tengah?
Sebagai bagian dari umat, rasanya ingin sekali penulis berdiskusi
secara gayeng dengan Mbai. Sayang, di banyak kesempatan beliau jarang
membuka ruang dialog secara fair dan gayeng. Dalam banyak diskusi yang
saya temui, beliau datang, lantas pergi.

Telah banyak darah umat Islam tumpah untuk negeri ini. Banyak darah
syuhada, ulama para santri menjadi saksi hingga negeri ini berdiri
sampai kini. Jadi, mengapa masih saja umat Islam dianggap membahayakan
NKRI dan dipertanyakan kesetiannya?

Penulis Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI

Foto: Sebuah halaqoh deradikalisasi

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment